“Oh kawan, dengar lagu ini, Hidup di bui menyiksa diri, Jangan sampai kawan mengalami Badan hidup terasa mati”

Sepenggal lirik lagu dari grup musik D’Lloyd atau bahkan keseluruhan liriknya menggambarkan betapa suramnya kehidupan penjara zaman itu dimana kekerasan dan penyiksaan dianggap sebagai solusi untuk membuat para narapidana menjadi jera dengan tujuan mengurangi tingkat kejahatan di masyarakat. Sistem pemidanaan saat itu masih berorientasi pada teori absolut/retributif yang menitikberatkan pada pembalasan dengan salah satu pemikiran bahwa kejahatan (dosa) hanya dapat ditebus dengan jalan penderitaan. Pada saat itu seseorang yang baru keluar dari penjara, di lingkungan masyarakat sangat ditakuti dan tidak sedikit yang menjadi preman baik yang teroganisir maupun secara mandiri di lingkungan masyarakat. Tentunya dengan keadaan demikian membuat masyarakat merasa resah dengan kehadiran mantan narapidana tersebut dan keadaan inilah yang menjadikan citra dari mantan narapidana menjadi buruk di masyarakat, bahkan cara pandang tersebut terbawa-bawa hingga saat ini. Keadaan penjara saat itupun membuat para pelaku tindak pidana ketakutan karena membayangkan pada saat hari pertama masuk di dalam penjara akan melekat pada dirinya istilah “anak baru”. Dengan statusnya tersebut, yang bersangkutan pastinya akan menjadi bulan-bulanan narapidana yang lainnya. Tradisi ini akan terus berulang dan tidak akan ada habisnya, bahkan beberapa memilih untuk mengakhiri hidupnya karena membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya apabila tiba di dalam penjara.

Pada tanggal 5 Juli 1963 Menteri Kehakiman saat itu Bapak Sahardjo, S.H. dalam pidatonya yang berjudul “Pohon Beringin Pengayoman” dalam rangka pemberian anugerah gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia, pertama kalinya menyebut istilah “Pemasyarakataan”. Beliau berkata “Di samping itu menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan yang lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah tersesat, diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna”. Pada pidato tersebut secara tersirat disampaikan oleh Sahardjo bahwa pemasyarakatan merupakan tujuan dari pidana penjara dan menggantikan pidana hilang kemerdekaan. Konsep pemasyarakatan itu kemudian dibawa untuk dirumuskan pada Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang, Bandung yang dilaksanakan pada tanggal 27 April s.d. 7 Mei 1964 (tanggal 27 April diperingati sebagai Hari Bhakti Pemasyarakatan). Dalam konferensi tersebut Bahrudin Suryobroto yang merupakan Wakil Kepala Direkorat Pemasyarakatan menjelaskan lebih jauh bahwa pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana dan masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah reintegrasi sosial.

Sejak diberlakukannya sistem pemasyarakatan menggantikan sistem kepenjaraan maka perlakuan terhadap narapidana mengalami pergeseran dikarenakan sistem pemasyarakatan memperlakukan narapidana layaknya manusia pada umumnya. Pola penghukuman yang menekankan pada kekerasan dan penyiksaan yang bertujuan memberi efek jera dirasakan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pelaku tindak pidana, belum lagi kecaman yang diberikan oleh lembaga, organisasi atau badan yang bergerak memperjuangkan hak asasi manusia baik yang berskala nasional maupun internasional. Pola penyiksaan mungkin memberikan ketakutan terhadap seorang narapidana tetapi dirasakan tidak memberikan manfaat kepada yang bersangkutan yang tentunya bisa saja menjadi “racun” apabila dirinya kembali menjalani kehidupan di lingkungan masyarakat. Pada sistem pemasyarakatan, narapidana dibentuk dengan diberikan program-program pembinaan guna meningkatkan kualitasnya baik kualitas kepribadian maupun kualitas kemandirian. Meningkatkan kualitas kepribadian narapidana bertujuan untuk membuat narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sedangkan kualitas kemandirian bertujuan untuk memberikan rasa tanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungan masyarakat, serta turut mengambil peran dalam pembangunan nasional. Bentuk pembinaan yang berkaitan dengan kualitas kepribadian diantaranya adalah :  ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran berbangsa dan bernegara, intelektual, kesehatan jasmani dan rohani, kesadaran hukum, dll. Sedangkan untuk pembinaan yang berkaitan dengan kualitas kemandirian adalah keterampilan kerja, latihan kerja dan produksi, dan pembinaan kemandirian lainnya sesuai minat dan bakat narapidana.

Sistem pemasyarakatan jika dikaitkan dengan sistem peradilan pidana maka sistem pemasyarakatan merupakan hilir dari sistem peradilan pidana sehingga sistem pemasyarakatan juga mengambil peran yang penting dalam sistem pengendalian kejahatan. Peran dari sistem pemasyarakatan dalam pengendalian kejahatan adalah mencegah terjadinya pengulangan kejahatan oleh narapidana. Hal ini juga berkaitan erat dengan tujuan memberikan rasa aman kepada masyarakat apabila si narapidana tersebut kembali ke lingkungan masyarakat atau dapat dikatakan bahwa upaya pencegahan kejahatan yang diemban oleh pemasyarakatan merupakan salah satu usaha pengamanan masyarakat (social defense). Social defense dulunya diartikan sempit yaitu merupakan usaha secara sah untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari gangguan kejahatan dengan cara memberikan hukuman terhadap pelanggar hukum (penal policy), namun seiring berjalannya waktu maka paradigma tentang social defense berubah dan memiliki cakupan yang lebih luas yang juga memberikan perhatian pada pencegahan terjadinya residivisme melalui peran para pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana atau dikenal dengan pencegahan tertier (Brantingham dan Faust, Graham, 1990).

Baca Juga: 9 Pencegahan Covid-19

Penulis sendiri berpendapat bahwa sistem pemasyarakatan memiliki tujuan yang mulia dan lebih beradab dalam memperlakukan para pelaku tindak pidana dan tentunya tetap berorientasi pada tujuan dari sistem peradilan pidana (pencegahan kejahatan). Sistem pemasyarakatan yang merupakan bagian hilir dari sistem peradilan pidana tentunya tetap membutuhkan dukungan dari komponen sistem peradilan pidana yang lain (Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan). Selain itu yang juga tidak kalah pentingnya adalah dukungan dari para pengambil kebijakan berkaitan dengan politik hukum dalam menentukan kategori pelaku tindak pidana yang dapat dijebloskan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), sehingga tidak semua pelaku tindak pidana harus dikirim ke LAPAS yang membuat keadaan LAPAS menjadi sesak. Politik hukum ini menjadi penting guna memaksimalkan penerapan sistem pemasyarakatan secara menyeluruh yang akan berorientasi pada tujuan mulia dari sistem pemasyarakatan itu sendiri. Adapun kritik dari beberapa kalangan terhadap sistem pemasyarakatan sudah seharusnya dilihat sebagai bentuk dukungan agar pemasyarakatan terus berbenah ke arah yang lebih baik.( La Ode Rinaldi Muchlis, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II Ambon ­)