MENJELANG Pemilu 2024, penyebaran hoaks dan kampanye hitam cenderung makin marak. Di triwulan pertama tahun 2022, jumlah hoaks yang ditemukan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) sebanyak 534 hoaks. Sementara itu, pada triwulan pertama tahun 2023 ditemukan paling tidak sebanyak 664 hoaks atau naik 24% dari tahun sebelumnya (Media Indonesia, 23 Mei 2023). Ketika mendekati tahun politik Pemilu 2024 nanti memang ada indikasi penyebaran hoaks dan bahkan kampanye hitam makin menjadi-jadi. Hoaks yang bermunculan itu umumnya bukan saja menyerang tokoh-tokoh politik yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2024 nanti, tapi juga menyerang kredibilitas partai politik, ketua partai, dan para pendukung partai politik yang menjadi motor kampanye kandidatnya. Berbagai hoaks yang ditebar para pendukung dan buzzer sepanjang 2023 ini tidak berbeda dengan kondisi pemilu sebelumnya, yakni berbagai kabar bohong seputar politik identitas dengan isu SARA dan tuduhan-tuduhan korupsi. Bahkan, hingga hoaks berupa konten manipulasi yang mengarah mesum atau pornografi.

Banyak pengamat telah mengingatkan bahwa hoaks tidak hanya berpotensi memengaruhi dan merusak akal sehat calon pemilih. Bukan tidak mungkin, hoaks juga berdampak mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu. Bahkan, yang lebih mencemaskan, penyebaran hoaks yang tidak terkendali akan mampu mengganggu ketente­raman masyarakat, yang ujung-ujungnya akan melahirkan disintegrasi atau konflik terbuka masyarakat.   Hoaks dan kampanye hitam Hoaks adalah informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya, dan bahkan sering kali palsu, tetapi dengan cepat menyebar dan kemudian diresirkulasikan melalui media sosial hingga sulit dibedakan mana informasi yang benar dan mana pula yang hoaks alias palsu. Adapun kampanye hitam merupakan sebuah upaya yang didesain secara sengaja untuk merusak atau memperta­nyakan reputasi seseorang. Penyebaran hoaks dan kampanye hitam jelas kontraproduktif bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air. Tindakan menjatuhkan lawan politik melalui berbagai propaganda negatif, selain tidak sehat, sering kali pula menyebabkan kredibilitas tokoh dan lembaga politik yang mendukungnya rusak. Selama ini, kampanye hitam kerap dilancarkan dengan penyebaran informasi yang berbasis data palsu dan rumor yang tidak jelas. Namun, karena disam­paikan berulang-ulang dan diresirkulasi terus-menerus, masyarakat tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Penyebaran hoaks dan kampanye hitam biasanya dikembangkan dengan masif melalui berbagai platform media sosial, seperti Youtube, Facebook, maupun Tiktok. Bagi masyarakat yang tidak kritis, penyebaran hoaks dan kampanye hitam yang begitu meluas dan intensif memang akan memakan korban. Masyarakat menjadi goyah dan terseret dalam konflik idologis yang tidak jelas, bahkan melahirkan tindakan yang radikal. Di era perkembangan masyarakat digital, hoaks umumnya tumbuh makin subur. Kehadiran internet dan penggunaan teknologi informasi yang makin pervasive menjadi habitus yang memungkinkan akselerasi kemunculan hoaks menjadi lebih mungkin.

Kemunculan hoaks dan kampanye hitam adalah bagian dari risiko yang tidak terhindarkan. Kemunculan information superhighway, yakni infrastruktur telekomunikasi baru yang didasarkan pada penggabungan teknologi yang terpisah-pisah, dan arus informasi berkecepatan tinggi, bukan hanya menjadi basis teknis dan ekonomis baru bagi kemajuan dan kelahiran masyarakat kontemporer yang produktif (Abercrombie et al., 2010:279), tetapi juga melahirkan paradoks kemajuan yang merisiko merugikan masyarakat. Dikatakan merugikan, karena kecepatan akse­lerasi penyebaran informasi, ketika tidak didukung oleh kemampuan literasi kritis masyarakat akan informasi, maka kemungkinan yang terjadi ialah masyarakat justru berpotensi menjadi korban dari informasi yang berlebih. Masyarakat menjadi tidak kritis karena tidak bisa memilah mana informasi yang objektif dan mana informasi yang hoaks.

Studi yang dilakukan Sugihartati (2017) menemukan sifat media konvergen yang spreadable memungkinkan siapa pun, terutama buzzer, menjadi produsen sekaligus sebagai distributor konten hoaks untuk mendukung kepentingan politiknya. Jenkins, Ford, dan Green (2013) dalam artikel mereka berjudul Spreadable Media, How Audiences Create Value and Meaning in a Networked Economy berpendapat, dewasa ini pertumbuhan alat komunikasi online telah meningkatkan kecepatan dan lingkup berbagi pesan media, yang kemudian memunculkan praktik dan nilai-nilai dari orang-orang yang berbagi konten dalam lingkungan media digital kontem­porer. Platform digital seperti Youtube, Twitter, Facebook dibangun sebagai ruang tempat praktik-praktik budaya partisipatif, yang memungkinkan para pengguna media sosial berbagi konten media dan berbagi makna.

Dengan sifat media yang spreadability ini, maka tersedia berbagai potensi, baik teknis maupun budaya bagi para netizen untuk berbagi konten. Media yang spreadability mendorong komunitas cyberspace terlibat secara mendalam, lewat pesan media yang dikonsumsinya dengan cara terlibat dalam sirkulasi pesan media secara online. Yang menjadi masalah ialah ketika kemudahan untuk berbagi konten ini kemudian dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks dan kampanye hitam.   Gene­rasi milenial Bagi generasi milenial yang telanjur mempergunakan gadget, tetapi di saat yang sama tidak diimbangi dengan kesiapan literasi media kritis untuk memilih dan menyikapi berita-berita yang objektif, risiko mereka terjerumus dalam provokasi dan informasi bohong tentu lebih besar.

Sebuah informasi hoaks yang diproduksi, disirkulasikan, dan kemudian diresirkulasikan melalui teknologi dan media yang konvergen, maka dalam tempo yang cepat tidak mustahil berubah menjadi ‘kebenaran’ karena penyebaran­nya yang masif. Untuk mencegah agar generasi milenial tidak termakan hoaks, salah satu kunci penting yang menjadi prasyarat ialah dukungan literasi kritis. Berbagai kajian telah membuktikan bahwa perkembangan internet serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang meluas saat ini memunculkan jenis literasi baru (Coiro, Knobel, Lankshear & Leu, 2008). Literasi baru yang disebut new literacy tersebut memasukkan unsur digital, visual, dan format multimodal (Yoon & Sharif, 2015). Di era perkembangan teknologi informasi dan booming informasi, yang terjadi kemudian ialah semakin banyaknya paparan teks-teks dalam lingkungan digital. Dengan begitu, mau tidak mau, dibutuhkan kepekaan dalam mengkritisi teks-teks yang bersifat multimodal, serta mengidentifikasi ideologi yang disajikan dalam teks, mengevaluasi unsur kekuasaan dan ketidaksetaraan di dalam teks (McLaughlin and De Voogd, 2004). Oleh karena itu, literasi yang dibutuhkan tidak sekadar ‘melek’ terhadap teks-teks multimodal, tetapi dibutuhkan pula literasi kritis untuk mengevaluasi teks-teks tersebut.

Pada generasi milenial yang memiliki dan didukung literasi kritis, terhadap setiap informasi apa pun yang masuk, niscaya akan disikapi dengan hati-hati dan tidak ditelan mentah-mentah begitu saja karena terlebih dahulu akan dicerna dan ditempatkan dalam konteks informasi lain yang dikuasai.Oleh:Rahma Sugihartati Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga. (*)