AMBON, Siwalimanews – Mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, dituntut 8,6 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tuntutan itu dibacakan dalam persidangan yang digelar di Pe­ngadilan Tipikor, pada Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (17/1) malam.

Selain hukuman badan, KPK juga menuntut RL, sapaan akrabnya, membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.

Mantan Ketua DPRD Maluku ini juga dituntut membayar uang peng­ganti sebesar Rp8.045.000.000 de­ngan ketentuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Dalam persidangan yang diketuai majelis hakim Wilson Shiver itu, tim JPU KPK yang dipimpin Taufiq Ibnugroho menyatakan, perbuatan RL sapaan akrab Richard yang mela­kukan suap dan gratifikasi dalam ka­sus Persetujuan Izin Prinsip Pem­bangunan Alfamidi tahun 2020 di Kota Ambon, terbukti lewat sejum­lah bukti berupa keterangan saksi.

Baca Juga: Pengadilan Tinggi Perberat Hukuman Tagop

Selain itu, apa yang disampaikan RL tidak pernah dilaporkan ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima gratifikasi sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi sebaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang peru­bahan atas UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pembe­rantasan Tindak Pidana Korupsi.

Karena itu, lanjut KPK, seluruh penerimaan uang tersebut merupa­kan gratifikasi yang diterima terdak­wa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum.

“Meminta majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menja­tuhkan hukuman 8,6 Tahun penjara kepada terdakwa Richard Louhena­pe­ssy dan denda sebesar Rp.500 juta subsider 1 tahun penjara,” pinta JPU.

Selain RL, anak buahnya yakni Andre Erin Hehanusa juga tak luput dari tuntutan jaksa.

Orang kepercayaan RL yang turut terlibat menjadi jembatan aliran suap masuk ke RL ini dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta sub­sider 3 bulan penjara. Sidang kemu­dian ditunda majelis hakim pada Jumat (27/1) depan dengan agenda pembelaan/pledoi terdakwa.

Terima Aliran Dana 

Seperti diberitakan sebelumnya, RL menjalani sidang perdana du­gaan korupsi dan gratifikasi di Peng­adilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) siang.

RL didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil negara dan sejumlah pengusaha.

Sidang dengan agenda pemba­caan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Gedung KPK di Jakarta.

Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, pe­nerbitan izin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gra­tifikasi.

Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Tim JPU KPK yang diketuai Tau­fiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong man­tan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada ta­hun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta mela­kukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga meru­pakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa me­ne­rima gratifikasi yaitu, selaku wa­likota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11. 259.960.000 yang berhubungan de­ngan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fan­tastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang lang­sung berjumlah Rp8.222.250.000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian me­nerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrico Matitaputy se­besar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy sebe­sar Rp240.000.000, Kepala Badan Pengeluaran dan Aset Daerah, Ro­berth Silooy Rp50.200.000, Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubu­ngan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Wali­kota Ambon, terdakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhu­bungan kota Ambon, Robert Sapu­lette Rp8.000.000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian  menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari  Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Ti­mur Anthoni Liando Rp740.000. 000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Ma­ria Chandra Pical Rp250. 000.000, Kon­traktor Yusac Harianto Lenggono Rp. 50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000. 000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.000. 000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung ter­dak­wa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466. 250.000 dan rekanan sebesar Rp1. 216.250.000.

Terdakwa juga menerima dari Karen Dias Rp811.460.000, kemudian melalui Hervianto Rp75.000.000 dan Imanuel Arnold Noya Rp150.000. 000. “Atas penerimaan uang terse­but terdakwa tidak pernah melapor ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima, sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2)UU nomor 31 tahun1999 tentang pemberan­tasan tindak pidana korupsi seba­gai­mana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun1999 ten­tang pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga seluruh peneri­maan uang tersebut merupakan gratifikasi yang diterima terdakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum,” pungkas JPU.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini, RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia  bermak­sud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai  atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangu­nannya diperlukan beberapa periji­nan diantarannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan perijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.000. 000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan de­ngan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses pener­bitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nan­dang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permo­ho­nan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal persetu­juan prinsip pembangunan gerai Alfa­midi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL menerbitkan persetu­juan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, terdak­wa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui ter­dakwa Andrew Erin. (S-10)