Seharusnya Sudah Ada Tersangka
Polisi Kantongi Hasil Audit SPPD Fiktif Pemkot
AMBON, Siwalimanews – Polresta Ambon dan Pulau-pulau Lease seharusnya sudah menetapkan tersangka dalam kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon tahun 2011.
Kasus yang diduga merugikan negara lebih dari Rp 700 juta ini, naik ke tahap penyidikan saat dilakukan gelar perkara di Kantor Ditreskrimsus Polda Maluku, Mangga Dua Ambon, pada Jumat 8 Juni 2018.
Gelar perkara dihadiri, Kasat Reskrim Polres Pulau Ambon, AKP Rifal Efendi Adikusuma, Kanit Tipikor Bripka M Akipay Lessy, tim penyidik dan Wakil Ditreskrimsus Polda Maluku., AKBP Harold Wilson Huwae.
Penyidik kemudian mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Kejari Ambon pada Agustus 2018. SPDP tertanggal 22 Juli 2018 itu, diteken oleh Kapolres AKBP Sutrisno Hadi Santoso.
Jika SPDP sudah dikirim, berarti penyidik sudah memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka. Apalagi sudah mengantongi hasil audit kerugian negara.
Baca Juga: Miliki Dua Paket Sabu, Warga Gudang Arang Dituntut 6 Tahun“Jadi ketika penyidik mengirimkan SPDP kepada kejaksaan, maka penyidik sudah harus mengantongi alat bukti yang cukup, karena memang SPDP hanya dapat dikirimkan apabila sudah ada dua alat bukti yang cukup,” kata Akademisi Hukum Unpatti, Reymon Supusepa, kepada Siwalima, Rabu (4/11).
Menurutnya, SPDP merupakan bagian dari proses hukum yang dilakukan oleh penyidik. Jika dalam kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon, penyidik belum menetapkan tersangka, sedangkan SPDP sudah dikirim kepada kejaksaan maka ada kesalahan dan pelanggaran prosedural yang dilakukan penyidik kepolisian.
“Kalau kasus ini belum menetapkan tersangka, sedangkan SPDP sudah dikirim ke kejaksaan berarti ada kesalahan dan pelanggaran prosedural dari pihak penyidik kepolisian sendiri,” tegasnya.
Kalau disimak secara baik, kata Supusepa, yang terlihat ialah penyidik memaksakan perkara dibuka, tetapi tidak ada solusi untuk perkara ini dilanjutkan ke pengadilan. “Hal ini merupakan masalah penyidik,” ujarnya.
Supusepa meminta pihak kepolisian transparan. Sebab publik juga ingin tahu sudah dua tahun lebih, kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon belum tuntas.
Soal alasan polisi belum menetapkan tersangka, karena harus memeriksa ahli BPK terkait hasil audit kerugian negara, Supusepa mengatakan, hasil audit menjadi salah satu bukti, dan perlu diperjelas oleh BPK.
“SPPD fiktif ini berkaitan dengan korupsi, berarti unsur yang paling kuat dari pasal 2 dan 3 UU korupsi adalah kerugian keuangan negara, sehingga kalau kerugian negara itu bisa diuji dan dibuktikan oleh BPK dalam membantu proses penyidikan maka dengan sendirinya sudah memenuhi kerugian keuangan negara sehingga harus segera diperiksa,” ujarnya.
Karena itu, kata Supusepa, keterangan dari BPK dapat dimintai untuk memperjelas hasil audit. Tetapi pertanyaannya, kenapa sudah dua tahun baru alasan itu dikemukan. Mestinya ahli BPK diperiksa pada saat SPDP diserahkan ke kejaksaan.
“Kalau ahli BPK belum diperiksa dijadikan alasan belum bisa penetapan tersangka maka ini masalah, karena sudah cukup lama,” tandasnya.
Praktisi Hukum Ronny Sianressy menilai, alasan polisi belum menetapkan tersangka karena belum memeriksa saksi ahli dari BPK, tidak masuk akal.
“Pemeriksaan ahli BPK ini untuk kepentingan apa? Kan sudah ada perhitungan kerugian negara,” tandas Sianressy.
Menurutnya, ahli hanyalah alat bukti yang tidak perlu diikuti oleh hakim. Pasalnya, pendapat ahli hanya berdasarkan kajian teoritis dan bukan alat bukti primer. “Dia hanya alat bukti tambahan atau sekunder. Jadi tidak terlalu begitu penting,” ujar Sianressy.
Dia meminta penyidik segera menetapkan tersangka, sehingga kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon sampai di pengadilan.
“Jangan sampai hukum itu cuma tajam ke bawah lalu tumpul ke atas, dan hanya berlaku untuk orang-orang yang tidak punya duit dan kekuasaan,” ujar Sianressy.
Sianressy meminta penyidik serius dan tidak main-main dalam menuntaskan kasus ini. Apalagi sudah mengantongi audit kerugian negara.
“Jadi tidak ada alasan hukum apapun ketika sebuah kasus sudah naik di tingkat penyidikan, lalu didiamkan. Kalau beralasan tidak cukup atau kurang bukti, itu berarti tidak perlu kasusnya ditingkatkan ke penyidikan,” tandasnya.
Praktisi Hukum Fileo Pistos Noija mengatakan, apabila penyidik telah mengantongi hasil audit, mestinya segera menetapkan tersangka. Sebab ini, menyangkut kepastian hukum.
“Polisi dalam mengungkapkan kasus itu kan pertama mencari tahu dulu siapa tersangkanya, lalu bagaimana kepastian hukumnya,” kata Noija.
Ia menilai, polisi tidak bekerja secara profesional. Pasalnya, sudah ada kerugian negara namun belum juga menetapkan tersangka.
“Anehnya sudah ada kerugiannya, tapi juga belum menetapkan tersangka. Penyidik harus bekerja secara profesional untuk menangani kasus,” tandas Noija.
Sementara Kapolresta Ambon, Kombes Leo Surya Nugraha Simatupang dan Kasat Reskrim AKP Mido J Manik yang dihubungi, seperti biasanya enggan merepons.
Kasubag Humas Polresta Ambon, Ipda Izaac Leatemia yang juga mengkonfirmasikan perkembangan penanganan kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon, namun tak direspons Kasat Reskrim.
SPDP Dikirim ke Jaksa
SPDP kasus dugaan korupsi SPPD fiktif Pemkot Ambon tahun 2011 sudah di tangan Kejari Ambon sejak Agustus 2018. Lalu siapa saja yang ada dalam dokumen itu?.
Nama yang tertera dalam SPDP kasus yang merugikan negara lebih dari Rp 700 juta itu selama ini menjadi misteri.
Sumber Siwalima di Polres Pulau Ambon saat itu mengungkapkan, ada tiga nama yang disebutkan dalam SPDP tersebut, yaitu Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, Sekretaris Kota Ambon, Anthony Gustaf Latuheru serta mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Pemkot Ambon, Josias Aulele.
SPDP tertanggal 22 Juli 2018 itu, diteken oleh Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, AKBP Sutrisno Hadi Santoso.
“Jadi ada tiga SPDP, terpisah. SPDP walikota sendiri, sekot punya sendiri dan mantan bendahara juga sendiri,” kata sumber itu.
Sumber itu mengatakan, status ketiga pejabat Pemkot Ambon dalam SPDP tersebut, sebagai terduga. “Ketiga SPDP itu hanya bersifat umum, dalam kronologis kasus mereka sebagai terduga,” ungkapnya.
Sementara Kepala Kejari Ambon saat itu, Robert Ilat yang dihubungi Siwalima, melalui telepon selulernya, Sabtu (8/12) 2018, mengaku telah menerima SPDP kasus korupsi SPPD fiktif pemkot dari penyidik Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, beberapa waktu lalu. Namun SPDP itu hanya bersifat umum.
“Benar, kita sudah menerima SPDP terkait kasus dugaan korupsi SPPD fiktif tahun 2011 namun SPDP tersebut masih bersifat umum dan belum disebutkan calon tersangkanya,” ujar Ilat.
Ilat enggan berkomentar banyak terkait kasus ini, karena bukan kewenangannya. Kejari Ambon hanya menunggu pelimpahan berkas dari penyidik. “Prinsipnya, kita menunggu saja berkasnya dari penyidik untuk kita teliti,” katanya.
Dua Tahun Jaksa Tunggu
Sudah dua tahun lebih SPDP dikirim, namun berkas kasus ini belum juga dilimpahkan ke jaksa.
Kepala Kejari Ambon, Benny Santoso yang dihubungi Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (2/11), mengatakan, kejaksaan sifatnya menunggu pelimpahan berkas dari penyidik Satreskrim Polres Ambon.
“Prinsipnya kami hanya menunggu. Kejaksaan siap apabila berkas perkara sudah ada,” ujarnya.
Sesuai aturan, lanjut Santoso, setelah SPDP dikirim penyidik, harus ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkaranya ke kejaksaan untuk dilakukan telaah atas kelengkapan formil dan materil terhadap perkara.
“Berkas perkara itu kan bagian dari perkara yang diawali dengan penyelidikan-penyelidikan. Jadi kami kapasitasnya sebagai penyidik akan menyusun formil perkaranya,” jelasnya.
Santoso mengaku tidak bisa banyak berkomentar banyak, karena berkas kasus SPPD fiktif masih di penyidik. “Berkasnya masih di penyidik, jadi tolong cek di penyidik saja,” tandasnya.
Bantah Terlibat
Walikota Ambon, Richard Louhenapessy membantah terlibat kasus SPPD fiktif tahun 2011.
Louhenapessy kepada wartawan di Balai Kota, Selasa (3/11) menegaskan, kasus SPPD fiktif terjadi tahun 2011. Saat itu dirinya baru menjabat walikota empat bulan. Karena itu, tak mungkin dirinya terlibat.
“Nggak ada, nggak ada sama sekali. You catat e, itu kasus SPPD itu tahun 2011 ya saya baru jadi walikota itu empat bulan, catat itu ya kalau orang sebut soal SPPD fiktif, saya jadi walikota itu baru empat bulan, oke. Jelas to,” tegas Louhenapessy dengan nada tinggi.
Louhenapessy mengatakan, kalau ada walikota yang baru menjabat empat bulan, dan terlibat korupsi, maka itu walikota yang paling goblok.
“Itu walikota yang paling goblok di dunia, itu kalau baru empat bulan jadi walikota sudah korupsi, mengerti ngga,” tandasnya dengan nada yang masih tinggi.
Ia menilai, pemberitaan soal kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon tidak objektif, dan terkesan menyudutkannya.
“Jadi tulis itu objektif sedikitlah. Saya baru jadi walikota empat bulan, masa su pigi dengan SPPD fiktif bagaimana lai? tulis itu dengn hati,” tegasnya sambil meninggalkan wartawan.
Kendati membantah. Namun faktanya, walikota dipanggil dan diperiksa penyidik Satreskrim Polres Ambon. Ia diperiksa karena namanya masuk dalam daftar SPPD fiktif. Tak hanya itu, istrinya, Ny. Leberina Louhenapessy juga turut dicecar.
Walikota dan Istri Diperiksa
Penyidik Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon Pulau-pulau Lease, memeriksa Walikota Ambon, Richard Louhenapessy selama dua hari berturut-turut pada medio Mei 2018 lalu.
Walikota dicecar dengan 61 pertanyaan, terkait dugaan korupsi SPPD tahun 2011 di Pemkot Ambon senilai Rp 742 juta lebih.
Hari pertama, Senin (28/5), walikota tiba sekitar pukul 10.10 WIT, dengan mobil dinas Toyota Fortuner DE 1. Walikota tak datang sendiri. Ia dikawal ajudan serta lima pengawal pribadi berseragam safari.
Saat tiba, walikota yang mengenakan safari berwarna coklat langsung menemui Kapolres, AKBP Sutrisno Hady Santoso.
Sekitar 20 menit di ruang kapolres, ia lalu diarahkan ke ruang Unit IV Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.
Kasat Reskrim AKP Rival Efendi Adikusuma yang langsung memeriksa walikota, bersama Kanit Tipikor Bripka M Akipay Lessy.
Walikota dua periode ini diperiksa hingga pukul 14.00 WIT dengan 25 pertanyaan. Ia lalu meminta waktu untuk istirahat makan siang.
Sesuai agenda, pemeriksaan akan dilanjutkan usai makan siang. Namun ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga walikota meminta pemeriksaannya dilanjutkan pada Selasa (29/5).
Di hari kedua, Selasa (29/5), walikota datang lebih awal. Ia tiba sekitar pukul 09.00 WIT. Seperti hari pertama, ia dikawal oleh sejumlah pengawal pribadi.
Walikota yang mengenakan safari biru tua lengan pendek dicecar oleh Kasat Reskrim AKP Rival Efendi Adikusuma dan Kanit Tipikor Bripka M.Akipay Lessy hingga pukul 12.45 WIT, dengan 36 pertanyaan.
Saat dicegat wartawan, usai diperiksa walikota enggan berkomentar banyak. Ia hanya mengaku, dimintai keterangan soal dugaan SPPD fiktif.
“Cuma klarifikasi terhadap informasi soal perjalanan dinas tahun 2011,” katanya singkat.
Saat ditanya lagi soal pernyataannya, bahwa tidak ada SPPD fiktif tahun 2011, walikota tidak mau berkomentar. Ia langsung berjalan menuju mobil dinasnya, dan meninggalkan halaman Mapolres Ambon.
Istri Walikota Ambon Ny. Leberina Louhenapessy juga diperiksa penyidik Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon. Ia diperiksa Kamis (27/9), dan dicecar selama 3,5 jam.
Ny. Debby, sapaan akrabnya, juga terdaftar dalam perjalanan dinas saat itu bersama rombongan walikota.
Sebelumnya, Debby sudah dua kali tak memenuhi panggilan penyidik, dengan alasan nama yang ditulis dalam surat panggilan salah.
Sekot Dicecar 8 Jam
Sekot AG Latuheru dicecar tim penyidik Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, Rabu (16/5) selama delapan jam lebih.
Latuheru diperiksa terkait kasus dugaan perjalanan dinas fiktif di Pemkot Ambon tahun 2011, yang diduga merugikan negara Rp 700 juta lebih.
Mantan Kepala Inspektorat Kota Ambon itu, mendatangi Mapolres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease dengan mobil dinas kijang innova hitam pukul 09.30 WIT, dan langsung menuju ke ruang penyidik.
Pemeriksaan mulai dilakukan pukul 10.00, dan baru selesai 18.30 WIT. Latuheru dicecar 23 pertanyaan. (S-50/S-49)
Tinggalkan Balasan