Polemik soal status lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) di Dusun Toisapu, Desa Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon mulai terjadi. Polemik berawal ketika pemilik lahan, Enne Kailuhu menutup akses jalan ke TPA dan IPST pada Kamis 8 Oktober 2020 lalu.

Langkah yang dilakukan karena Pemkot Ambon ingkar janji alias wanprestasi. Somasi yang dilayangkan pemilik lahan juga diabaikan.

Puluhan truk sampah berjejeran. Para sopir tak bisa masuk untuk membuang sampah. Pemkot Ambon kaget dan buru-buru mengundang pemilik lahan untuk melakukan pertemuan.

Usai pertemuan, Walikota Ambon Richard Louhenapessy justru mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia memastikan kalau areal TPA dan IPST milik Enne Kailuhu adalah kawasan hutan lindung.

Awalnya, Pemkot Ambon berniat membayar lahan Kailuhu itu sekitar 10 Ha. Sebagai bukti keseriusan, Pemkot Ambon  membayar down payment sebesar Rp. 660 juta. Namun dalam perjalanan, menurut Louhenapessy, pada tahun 2014, Kementerian Kehutanan  melakukan perubahan pada status lahan tersebut, menjadi hutan lindung.

Baca Juga: Evaluasi Kadinkes Maluku

Karena itu, Pemkot Ambon akan menyurati Kementerian Kehutanan agar bisa mendapatkan izin pakai atas lahan itu. Alternatif kedua, merubah status dari hutan lindung menjadi hutan lindung pemanfaatan lain.

Klaim Walikota  bahwa lahan TPA dan IPST adalah kawasan hutan lindung ditepis Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie. Sadli memastikan, lahan kawasan itu merupakan Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga tidak ada urusannya dengan Kementerian Kehutanan.

Menurut Sadli, perluasan lahan TPA yang dibeli Pemkot Ambon jaraknya tidak jauh dari kawasan hutan lindung. Tapi dalam peta 854 tentang kawasan perairan Provinsi Maluku lokasi yang dibeli pemkot bukan merupakan kawasan hutan lindung.

Pihak pemilik lahan Enne Kailuhu, menuding Walikota Ambon melakukan pembohongan publik. Mengeluarkan pernyataan asal bunyi, tanpa data. Namun sikap Walikota tak berubah. Ia tetap pada pendapatnya kalau lahan TPA dan IPST adalah kawasan hutan lindung. Ia malah menyarankan Sadli bertanya ke Kemenhut agar tidak menjadi polemik berkepanjangan.

Pemilik lahan akan menutup kembali TPA dan IPST. Deadline satu minggu yang diberikan untuk menjalankan Akta Perdamaian 269 tak dihiraukan Pemkot Ambon. Kalau penutupan dilakukan, Pemkot Ambon tak bisa berbuat apa-apa. Klaim walikota bahwa kawasan TPA dan IPST adalah hutan lindung, mana buktinya? Ngomong harus punya bukti dan data biar tak dinilai asal bunyi.

Pemkot Ambon harus punya solusi kalau pemilik lahan benar-benar menutup TPA dan IPST. Jangan sibuk membangun opini. Ditutup beberapa jam saja, sudah membuat pusing tujuh keliling, apalagi dalam waktu yang lama.

Pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Maluku sudah tentu bukan tanpa dasar. Dinas Kehutanan Maluku memang punya kewenangan untuk memastikan suatu areal termasuk hutan lindung atau bukan. Karena itu, sebaiknya Walikota stop mengklaim tanpa dasar yang justru memicu polemik, yang akan berdampak pada penanganan sampah di Kota Ambon. (*)