Saksi Ngaku WFC Dikuasai Orang Dekat Sahran
AMBON, Siwalimanews – Pengadilan Tipikor Ambon kembali menggelar sidang kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Water Front City (WFC) Kota Namlea, Kabupaten Buru tahun anggaran 2015-2016, Kamis (19/9).
Dalam persidangan itu, JPU Kejati Maluku Berthi Tanate, Ridho Sampe dan Prasetya Djati Negara menghadirkan, Muhammad Duwila alias Memet dan konsultan pengawas Ridwan Pattilouw sebagai saksi mahkota untuk terdakwa Sahran Umasugi.
Memet dalam kesaksiannya mengaku, sebagai kuasa direksi CV. Aego Pratama, namun dirinya jarang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan proyek WFC.
Proyek WFC, kata dia, lebih banyak dikuasai orang dekat terdakwa Sahran Umasugi, Munir Letsoin mulai dari pelaksanaan pekerjaan tahap I tahun 2015 sebesar Rp 5,5 miliar dan II tahun 2016 senilai Rp 3 miliar lebih.
“Saya memang sebagai kuasa direksi dari CV. Aego Pratama, tapi saya jarang terlibat karena lebih banyak dikuasai Munir Letsoin yang merupakan orang dekat Sahran Umasugi,” katanya menjawab pertanyaan JPU Berthi Tanate.
Baca Juga: Jaksa: Orno tak Miliki Peran di Korupsi PDAMMemet mengaku, dirinya bersama Munir Letsoin pernah ke Bank Maluku Cabang Namlea untuk mencairkan dana tahap I proyek WFC tahun 2015 sebesar Rp 5,5 miliar.
Tetapi setelah dicairkan, dana tersebut langsung diambil oleh Munir Letsoin, dengan dalih akan diberikan kepada terdakwa Sahran Umasugi. “Kalau proses pencairan saya ikut, namun penggunaan anggaran itu untuk apa saya tidak tahu,” ujarnya.
Sedangkan pembangunan WFC tahap II tahun 2016, lanjut Memet, dimonopoli oleh menantu Sahran Umasugi, Darma Tuankotta. “Karena proyek tahap II hanya pengadaan tiang pancang, makanya Darma Tuankotta lebih dipercayakan untuk mengurus proses pembelian 123 tiang pancang langsung ke Surabaya,” ungkap Memet.
Memet juga mengaku, ia pernah memberikan uang sekitar Rp 500 juta ke terdakwa Sahran Umasugi, di kediamannya di Jalan Baru Bandar Angin, Kota Namlea.
“Jadi waktu itu saya pernah memberikan uang ke terdakwa Sahran Umasugi, atas perintah Munir Letsoin. Uang itu langsung saya berikan ke terdakwa di kediamannya,” ujarnya.
Sementara Ridwan Pattilouw mengaku, dirinya tidak tahu siapa pemilik proyek WFC. Karena saat itu tugasnya hanya sebagai Site enggineer CV Inti Karya, sekaligus selaku konsultan pengawas. “Soal jumlah anggaran dan siapa pemilik proyek WFC saya tidak tahu,” jelasnya.
Milik Aego Pratama
Sementara pada sidang sebelumnya, Rabu (18/9, Sahran Umasugi yang dihadirkan sebagai saksi mahkota untuk terdakwa Muhammad Duila alias Memet, PPK Sri Jaurianty dan Muhammad Ridwan Pattilouw, mengaku, proyek pembangunan WFC bukan miliknya, tapi CV. Aego Pratama.
Perusahaan ini merupakan pemenang tender proyek WFC tahap I tahun 2015 sebesar Rp 5,5 miliar dan II tahun 2016 senilai Rp 3 miliar lebih.
“Setahu saya proyek WFC itu adalah milik CV. Aego Pratama, karena perusahaan itulah yang memenangkan tender proyek itu. Lagipula anggaran mulai tahap I dan II itu langsung ke rekening CV. Aego Pratama,” kata Sahran, menjawab pertanyaan JPU.
Mendengar pengakuan Sahran, ketua majelis hakim Christina Tetelepta mengingatkannya untuk berkata jujur. Sebab aksi-saksi yang telah diperiksa sebelumnya, mengaku kalau proyek WFC itu adalah milik Sahran Umasugi yang juga terdakwa di kasus ini.
“Tolong sudara saksi jujur, karena semua saksi sebelumnya sudah menjelaskan peran saksi di kasus ini. Kalau saksi terus berbohong maka resikonya ditanggung sendiri,” tandas Tetelepta.
Ketika ditanya JPU, siapa Dirut CV. Aego Pratama. Sahran menyebut nama Mulyadi. Itu pun diketahui, setelah proyek WFC bermasalah hukum dan diusut Kejati Maluku.
“Proyek itu bukan milik saya, tapi milik CV. Aego Pratama dengan Dirutnya, Mulyadi. Anggaran proyek WFC baik tahap I dan II semuanya masuk ke rekening perusahaan itu,” ungkap Sahran.
Ia mengaku menerima Rp 310 juta dari CV Aego Pratama, dan dipakainya untuk membayar hutang.
“Saya hanya menerima Rp 310 juta dari proses pengerjaan proyek itu, uang tersebut juga saya pakai untuk membayar hutang Rp 250 juta ke teman saya,” katanya.
Ditanya JPU Berthi Tanate, soal uang Rp 1 miliar lebih yang diterimanya dari Halija Somia, Sahran mengaku, tidak pernah menerima uang sepeser pun darinya. “Saya tidak pernah menerima uang dari saksi Halija Somia sepeser pun,” tandasnya.
Detika terkait uang Rp 1,5 miliar yang diberikan Munir Letsoin di rumahnya, lagi-lagi Sahran membantahnya.
JPU meminta Sahran untuk berkata jujur, sehingga tidak memberatkannya di kasus ini. Karena semua bukti terkait keterlibatannya sudah dibeberkan saksi-saksi sebelumnya.
“Saudara saksi apakah tetap pada keterangannya,” tanya JPU. Dengan tegas Sahran, mengatakan, tetap pada keterangannya.
Selain Sahran Umasugi, Kejati Maluku juga menyeret kuasa Direktur CV. Aego Pratama Muhammad Duila alias Memet, PPK Sri Jaurianty dan Muhammad Ridwan Pattilouw, sebagai Site enggineer CV Inti Karya sekaligus selaku konsultan pengawas ke pengadilan.
Menurut JPU, tindak pidana korupsi yang dilakukan para terdakwa terbukti merugikan keuangan negara mencapai Rp 6.638.791.370,26. Hal ini berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK terhadap pembangunan WFC Kota Namlea tahap I tahun 2015 dan tahap II tahun 2016 pada Dinas PUPR Kabupaten Buru.
Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana dirubah dengan UU No.20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) ke 1. (S-49)
Tinggalkan Balasan