Saksi Ngaku Teken Kwitansi Kosong di Proyek ADD Porto
AMBON, Siwalimanews – Empat saksi dihadirkan dalam sidang kasus korupsi dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD), Rabu (4/11) di Pengadilan Negeri Ambon dengan terdakwa Raja Negeri Porto, Kecamatan Saparua, Kabupaten Malteng, Marthen Nanlohy.
Sidang lanjutan digelar setelah majelis hakim menolak eksepsi terdakwa pekan lalu.
Para saksi yang dihadirkan jaksa adalah tukang yang mengerjakan beberapa proyek yang dibiayai DD dan ADD sebesar Rp 2 miliar.
Empat saksi itu diperiksa satu per satu. Masing-masing Herlin Latumahina, Christian Latupeirissa, Alexander Samalo, dan Elissa Pattilow.
Para saksi mengaku mengambil upah dengan menandatangani kwitansi kosong. Upah itu diambil di rumah sekretaris dan bendahara tanpa kehadiran Raja Porto.
Baca Juga: BPKP Beber Alasan Audit Kasus Korupsi TerhambatHerlin Latumahina, tukang yang mengerjakan instalasi pipa air bersih mengaku menerima upah Rp 900 ribu. Saat mengambil uang itu, tidak ada kwitansi sama sekali yang diberikan padanya. “Kami ditelepon langsung dikasih uang, yang lainnya juga dibayar,” ujarnya.
Herlin menjelaskan, hanya melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya. Saat dia mulai bekerja, semua material sudah disiapkan. Pekerjaan juga sudah berjalan 10 persen. Sehingga, ia hanya membutuhkan waktu tiga hari bersama lainnya mengerjakan instalasi itu. “Mungkin bendahara atau sekertaris yang sudah siapkan. Saya kerjakan instalasi air bersih. Sekretaris yang memanggil saya untuk mengambil upah, tapi bendahara yang berikan uang,” ungkapnya.
Saksi lainnya, Christian Latupeirissa yang mengerjakan posyandu bersama tiga orang lainnya mengaku dibayar Rp 15 juta. Uang itu dibagi empat menjadi masing-masing senilai Rp 3.750.000.
Namun anehnya, dalam kwitansi pembayaran upah pengerjaan posyandu seluas 4×5 meter itu tertulis Rp. 25.200.000.
“Upah yang kami dapatnya hanya Rp 15 juta. Saya tidak tanda tangan di kwitansi, tapi di buku,” ujarnya.
Sementara saksi Elissa Pattilow mengaku, mengerjakan tiga proyek yaitu, jalan setapak, merehabilitasi jalan setapak serta membangun satu ruangan tingkat dasar.
“Kami kerjakan sebulan, per sektor. Saat kami bekerja, sekretaris sudah beli bahan. Ada kwitansi dari bendahara saat menerima upah,” ucapnya.
Dia merincikan mendapat uang senilai Rp. 18 juta untuk dibagi dengan lainnya saat mengerjakan jalan setapak. Mereka juga dapat Rp 27 juta untuk membangun ruangan.
Namun jaksa penuntut umum tidak dapat menunjukan bukti-bukti, baik kwitansi maupun buku dalam persidangan. Majelis hakim meminta agar bukti itu bisa dilampirkan atau ditunjukan nantinya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Ardi membeberkan peran Nanlohy dalam melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pengelolaan keuangan Negeri Porto Tahun 2015 hingga 2017 secara tidak benar dan akuntabel.
Jaksa menyebut, modus yang digunakan Nanlohy adalah manipulasi volume maupun harga bahan, sehingga antara nilai harga riil yang dialokasikan secara nyata di lapangan tidak sama dalam laporan pertanggungjawaban.
Nanlohy diangkat menjadi raja tanggal 30 November 2017 bersama Salmon Noya selaku bendahara dan Hendrik Latuperissa.
Pada tahun 2015, 2016 dan 2017 Pemerintah Negeri Porto mendapat DD dan ADD sebesar Rp 2 miliar. Anggaran tersebut diperuntukan bagi pembangunan sejumlah item proyek, diantaranya, pembangunan jalan setapak, pembangunan jembatan penghubung dan proyek posyandu. Diduga raja, bendara dan sekretaris memperkaya sendiri, sehingga merugikan negara Rp 328 juta. (S-49)
Tinggalkan Balasan