Rahawarin Buka Pelatihan Penanggulangan Stunting di Pekanbaru
AMBON, Siwalimanews – Dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur untuk penurunan angka stunting di kawasan perbatasan, maka Kedeputian III melalui Keasdepan Infrastruktur Ekokesra menggelar pelatihan penanggulangan stunting dan gerakan masyarakat sehat
Kegiatan yang dipusatkan di The Bono Hotel, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau 21-23 Juni 2022 ini dibuka oleh Deputi III Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Perbatasan Letnan Jenderal TNI (Purn) Jeffry Apoly Rahawarin itu, diikuti oleh Biro Pemerintahan dan Otda, OPD Kesehatan, Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), dan Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Riau.
“Narasumber yang dihadirkan yakni, tenaga ahli KSP Brian Sri Prahastuti, Kassubdit Kesehatan Direktorat SUPD3 Arifin Hutagalung, Ditjen Bina Bangda Kemendagri Dwi Listyawardani, Penyuluh KB Ahli Utama BKKBN Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, praktisi/akademisi public financial Management Rohidin Sudarno, Koordinator Program Manajer Perwakilan BKKBN Provinsi Riau, Satgas Percepatan Penurunan Stunting, Fachrurozi,” tulis Humas BNPP dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Kamis (23/6).
Pelatihan ini dilakasanakan dalam rangka pengembangan kapasitas (capacity building) bagi aparatur kecamatan dan stakeholder terkait di pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam mendukung percepatan penurunan stunting, khususnya di kawasan perbatasan.
Kegiatan pelatihan menggunakan metode pembelajaran orang dewasa yang mengkombinasikan peserta dari Dinas Kesehatan provinsi/kabupaten/kota, para camat, BPPD, dimana peserta diberi pembekalan cara pendataan di lapangan dan menyusun rencana sesuai 8 aksi konvergensi, sosialisasi beberapa norma/kebijakan terkait, serta berbagai simulasi penanganan di lapangan.
Baca Juga: Maharaja Beberkan Fakta Tentang Aplikasi SimdesaBeberapa pokok materi yang disampaikan dalam kegiatan itu antara lain, penanganan stunting sangat penting dan termasuk kedalam prioritas nasional, penanganan stunting menjadi sangat penting, karena stunting dapat menghambat peningkatan SDM, menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
“Berdasarkan hasil penelitian International Food Policy Research Institute (2016), stunting dan masalah gizi diperkirakan menurunkan produk domestik bruto (PDB) sekitar 3% per tahun,” ungkap pihak humas.
Prevalensi balita stunting nasional tahun 2021 sebesar 24,4% (atau 5,33 Juta Balita), masih di atas target 21,1%, walaupun dalam 8 tahun terakhir trend stunting turun secara konsisten. Perlu percepatan penurunan 10,4% dalam 3 tahun (atau 3,5% per tahun) untuk mencapai target RPJMN (14% di Tahun 2024).
Berdasarkan hasil studi status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting Provinsi Riau sebesar 22,3 %, berada dibawah capaian nasional, 24,4 % dan berada pada urutan ke-10 terbawah secara nasional, namun masih berada diatas standar WHO.
Program pelatihan percepatan penanganan stunting merupakan program pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Untuk itu pemerintah telah mengalokasikan anggaran melalui APBN/APBD. Untuk alokasi APBN tahun 2022 mencapai sebesar Rp34.151.146.079,000,- sedangkan APBD se-Provinsi Riau tahun 2022 adalah Rp1.162.910.000.000.
“Dengan anggaran yang cukup besar, maka diharapkan penanganan stunting dapat dioptimalkan khususnya di Provinsi Riau,” tulis humas.
Lokus prioritas percepatan penurunan stunting tahun 2022 mencakup 514 kab/kota, dan ditetapkan 12 provinsi prioritas (7 provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi dan 5 provinsi dengan jumlah balita stunting tertinggi). Dari 12 provinsi prioritas tersebut, 4 merupakan provinsi perbatasan yaitu, NTT, Aceh, Kalbar, dan Sumut.
Selanjutnya lokus intervensi stunting terintegrasi tahun 2022 di Provinsi Riau berada di 12 kabupaten/kota, 213 desa/kelurahan. Lokus kabupaten/kota harus dapat melaksanakan 29 indikator cakupan layanan esensial dan 35 indikator cakupan layanan suplay. Selain itu juga perlu mendorong peran PKK dalam upaya percepatan penurunan stunting, dengan dukungan anggaran pemerintah pusat dan pemda.
Dukungan kebijakan Kemendagri dalam penanganan stunting, meliputi, Permendagri Nomor 59 tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal, Permendagri Nomor 90 tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 17 tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah tahun 2022, Permendagri Nomor 27 tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun Anggaran 2022 dan Kesepakatan bersama antara Mendagri, Menkes, Kepala BKKBN serta Kepala BPKP tentang Percepatan Penurunan Stunting di Daerah.
“Renaksi nasional percepatan penurunan angka stunting Indonesia tahun 2021-2024 meliputi, penyediaan data keluarga beresiko stunting, pendampingan keluarga beresiko stunting, pendampingan semua calon pengantin/calon PUS, Surveilans keluarga beresiko stunting, audit kasus stunting, perencanaan dan penganggaran, pengawasan dan pembinaan akuntabilitas serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan,” jelas pihak humas.
Sementara beberapa isu substansial yang berkembang dalam kegiatan itu antara lain, Diharapkan Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kemendagri mengawal anggaran stunting di Riau dan khususnya kawasan perbatasan dalam penyusunan RKPD tahun 2023.
Cakupan intervensi yang belum maksimal, karena kendala akurasi data stunting, seperti pendataan, metodologi, pengolahan, dan interpretasi data yang masih beragam di tingkat pelaksana di daerah, serta secara keilmuan dimungkinkan seseorang dapat lebih tinggi dari kedua orang tuanya, artinya faktor keturunan hanya sekitar 3%, sedangkan 97% adalah karena faktor eksternal.
Pendidikan ibu dan status keluarga sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting, Pemerintah Provinsi Riau diharapkan berkoordinasi dengan ITERA untuk mendukung program penanganan stunting, serta perlu sosialisasi ditingkat kabupaten/kota/kecamatan/kelurahan terhadap perubahan perilaku dengan memanfaatkan potensi yang ada di wilayah masing-masing untuk menyelesaikan masalah stunting di Provinsi Riau.
“Perlu keterlibatan seluruh stakeholder (lintas sektor) dan melibatkan non pemerintah dalam penanganan stunting sehingga intervensi spesifik maupun sensitif dapat dilakukan tepat sasaran dan perlu penguatan peran camat dalam menjembatani program kabupaten/kota dengan desa/kelurahan,” papar humas.
Sedangkan terkait keakurasian data stunting, diperlukan kesepakatan “satu data” yang sama, terutama dilihat dari aspek metodologi pengambilan data dan aspek lain didalamnya, yaitu mulai dari penentuan target sasaran, data pemantauan capaian, sampai data hasil evaluasi.
Bappenas akan melakukan konversi data dari status gizi Indonesia menjadi e-PPBGM (Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) untuk meminimalisir perbedaan data. Namun demikian data SGI selama ini sudah dapat dipergunakan untuk mengukur stunting secara nasional dengan memperhatikan proses dan variabel yang diatur dalam Perpres.
Untuk penguatan peran kecamatan dalam percepatan penurunan stunting diarahkan terutama pada, penyediaan data penyelenggaraan percepatan penurunan stunting di tingkat kecamatan, menggerakan dan pendampingan lapangan di tingkat kecamatan, pendampingan dan pengawasan perencanaan, pemanfaatan dana desa dan alokasi dana desa, monitoring dan evaluasi stunting di tingkat kecamatan, mengoordinasikan peningkatan kerja sama dan kemitraan dengan pemangku kepentingan, mengoordinasikan mekanisme penghargaan bagi kader, melaksanakan minilokarya di tingkat kecamatan, minimal 1 kali dalam 1 bulan, melaksanakan rembuk stunting di tingkat kecamatan minimal 1 kali dalam 1 tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan, serta melaporkan penyelenggaraan Percepatan penurunan stunting kepada tim pengarah 1 kali dalam 1 bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Peran BKKBN melalui intervensi gizi dalam program dapur sehat atasi stunting (DAHSAT) yakni meningkatkan kualitas gizi masyarakat, terutama bagi keluarga beresiko stunting melalui optimalisasi berbagai sumber daya di tingkat desa/kelurahan perlu didukung.
Hal-hal yang perlu diperkuat dalam penurunan stunting yakni, sasaran dan/atau penerima manfaat kegiatan diprioritaskan untuk rumah tangga 1.000 HPK, pendampingan khusus dan sistematik pada provinsi prioritas, menjamin kualitas pelaksanaan kegiatan, penajaman muatan/desain intervensi penurunan stunting dlm kegiatan KL, penguatan integrasi pendanaan antara belanja KL dan dana transfer, pendanaan APBD, pemantauan dan evaluasi terintegrasi, perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha, masyarakat umum, dan lainnya.
Langkah-langkah teknis yang perlu dilakukan dalam percepatan penurunan stunting, peningkatan kepatuhan kementerian/lembaga dalam pelaporan dan tagging anggaran, peningkatan kepatuhan intervensi yang ditujukan pada kelompok sasaran prioritas, yaitu remaja putri, calon pengantin, ibu hamil, anak bawah dua tahun (baduta), ibu menyusui, dan balita, serta fokus pada evidence based berdaya ungkit tinggi.
Selain itu, pemetaan dan penajaman kegiatan yang jelas serta memiliki daya ungkit tinggi dalam mendukung Penurunan Stunting, baik intervensi spesifik maupun sensitif, memperhatikan indikator dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2021 dan mempercepat penyediaan pedoman/instrumen Rembuk Stunting di tingkat kecamatan, mekanisme dan kriteria yang jelas dalam pemetaan kegiatan, termasuk lokasi dan target penerima manfaat, pengembangan monitoring, pengendalian, dan evaluasi, pendanaan sebagai instrumen yang kuat dalam koordinasi lintas sektor untuk menurunkan stunting.
“Tindak lanjut dari kegiatan ini untuk pemerintah pusat, perlu ditingkatkan koordinasi, kolaborasi dari semua stakeholder baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun non pemerintah dalam upaya penurunan stunting dan perlu adanya penyediaan data yang valid/akurat sehingga intervensi spesifik (menyasar penyebab langsung stunting) maupun intervensi sensitif (menyasar penyebab tidak langsung Stunting) dapat dilakukan tepat sasaran,” beber humas
Untuk pemerintah daerah perlu sosialisasi ditingkat kabupaten/kota/kecamatan/kelurahan terhadap perubahan perilaku dengan memanfaat potensi yang ada di wilayah masing-masing untuk menyelesaikan masalah stunting di Provinsi Riau, perlu keterlibatan seluruh stakeholder pemda (lintas sektor) dengan melibatkan non pemerintah dalam penanganan stunting sehingga intervensi spesifik maupun sensitif yang dilakukan tepat sasaran, serta perlu adanya penataan sistem manajemen terkait stunting di daerah. (S-06)
Tinggalkan Balasan