AMBON, Siwalimanews – Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Maluku mem­berikan perhatian serius ter­hadap tindakan Polda Malu­ku yang melayangkan surat panggilan kepada Jurnalis Porostimur.com.

Pemanggilan untuk dimin­tai keterangan sebagai saksi terkait pemberitaan dugaan dana hibah Kwarda Maluku dinilai sebagai bentuk kri­minalisasi pers.

Demikian diungkapkan, Wakil Ketua Bidang Pembe­laan Wartawan PWI Maluku, ex Officio Ketua LBH Hukum, Ronny Samloy dalam rilisnya yang diterima Siwalima, Ju­mat (28/7).

Kata dia, pers sebagai sa­lah satu pilar dari empat pilar demokrasi tak dapat dikri­mi­nalisasi dalam bentuk apa­pun dan oleh cara apapun, sebab demokrasi akan mene­mukan ruh sejatinya jika pers dijamin dan dilindungi dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kon­trol sosial ( in casu Pasal 3 ayat 1 UU Pers).

Menurutnya, Kemerdekaan Pers di­jamin sebagai hak asasi warga ne­gara dan untuk menjamin kemer­de­ka­an pers di mana pers nasional mem­pu­nyai hak mencari, memper­oleh dan menyebarkan gagasan dan informasi untuk diinformasikan ke khalayak (publik), sebab pers adalah mata, hi­du­ng dan telinga masyarakat untuk me­nyuarakan kepentingan masya­rakat.

Baca Juga: Spot Air Bersih Haruku Terbengkalai, Bukti Korupsi Nyata

Selanjutnya, berita adalah karya jur­nalistik yang tidak dapat dipidana apa­lagi dengan aduan atau laporan pence­maran nama baik yang dila­kukan mas­ya­rakat atau orang yang merasa diru­gikan akibat pemberi­taan media massa.

Seharusnya, lanjut Samloy, nara­sumber yang merasa dirugikan akibat pemberitaan dapat menempuh upaya yang dijamin UU Pers sebagai lex specialist (aturan khusus) yakni melalui mekanisme hak jawab sebagaimana maksud dan amanat Pasal 5 UU Pers.

Dijelaskan, jika pemberitaan soal dugaan anggaran dana hibah Kwar­da Pramuka Maluku kemudian dija­dikan dasar laporan pengaduan pen­ce­maran nama baik oleh pihak yang merasa dirugikan, maka penyidik Polda Maluku seyogianya tetap mengguna­kan mekanisme sengketa pers melalui hak jawab sesuai mak­sud UU Pers.

Karena itu, menurut Samloy, polisi tidak dapat meminta pertanggung jawaban hukum jurnalis hanya merujuk pada pelanggaran Pasal 310 KUHP, sebab hak imunitas  jurnalis secara eksplisit sudah ditegaskan di dalam Pasal 8 UU Pers, Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008 khusus di frasa dengan sengaja dan tanpa hak dan ratio legis. Pasal 311 ayat (1) KUHP yang mengacu pada karya jurnalistik.

“Jika pihak penyidik Polda Ma­luku tetap bersikeras memanggil dan ingin mengintervensi kinerja dan tugas pers, maka  bagi kami hal itu merupakan tindakan yang dapat dikualifisir sebagai kriminalisasi ter­hadap pers, sebagaimana diancam Pasal 18 UU Pers,” ujarnya.

Jika pers ingin dikekang seperti itu, tambah dia, maka pers dapat meng­gunakan hak tolak untuk memberikan keterangan di depan penyidik polisi in casu Polda Maluku sebagaimana amanat Pasal 1 butir 10 juncto Pasal 4 ayat (4) UU Pers.

Selain itu, jika penyidik Polda Maluku tetap bersikeras mengun­dang dan/atau memanggil jurnalis Porostimur.Com untuk mengklarifi­kasi atau memberikan keterangan di depan penyidik, maka hal itu merupakan “pelecehan terhadap ke­merdekaan pers” dan pengingkaran terhadap Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Polri Nomor: 03/DP/MoU/III/2022 yang bertujuan, menegakkan kemerdekaan pers dalam melak­sanakan tugas jurnalistik.

Terakhir, pihaknya meyakini sung­guh Kapolda Maluku, Irjen Pol Lot­haria Latief adalah “Bhayang­kara Negara Sejati” yang tidak akan mem­biarkan demokrasi di NKRI Tercinta ini dinodai “tangan-tangan kekua­saan” yang ingin membung­kam ke­merdekaan pers dengan cara-cara keji dan tak profesional.  “Sebab bagi kami apapun ala­san­nya, negara kita ini akan berdiri tegak dan supremasi hukum akan dijunjung tinggi jika pers dilindungi dan kemer­dekaan pers adalah “mutiara demo­krasi” yang perlu dijaga,” ujarnya. (S-06)