MAHKAMAH Konstitusi mengabulkan gugatan tujuh kepala daerah terkait akhir masa jabatan mereka.

Tujuh kepala daerah yaitu, Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Tujuh kepala daerah ini mengajukan uji materiil Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada Nomor 10/2016 yang mengatur kepala daerah hasil pemilihan 2018 menjabat sampai 2023. Alasannya, meski dipilih lewat Pilkada 2018, para pemohon baru dilantik pada 2019.

Jika masa jabatan mereka mesti berakhir di 2023, maka periode kepemimpinan mereka tak utuh selama lima tahun.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan, pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Hakim MK dalam amar putusannya mengadili, Dalam Provisi, menyatakan permohonan provisi para pemohon tidak dapat diterima.

Dalam Pokok Permohonan, pertama, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

Kedua, menyatakan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang semula menyatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023″, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat  sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.

Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selengkapnya menjadi menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.

Tiga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Suhartoyo, selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, Anwar Usman, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal sebelas, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh tiga, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum Kamis, (21/12) pukul 16.54 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi yaitu Suhartoyo, selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur, masing masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Fransisca sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakil.

Tujuan hukum bukan saja terletak pada keadilan tetapi ada juga kepastian dan kemanfaatan yang mesinnya diperhatikan secara baik oleh hakim Mahkamah Konstitusi.Namun jika putusan yang telah dibacakan MK bersifat final dan mengingat serta wajib dilaksanakan semua pihak. (*)