AMBON, Siwalimanews – Proyek yang dikerjakan de­ngan menggunakan ang­ga­ran pinjaman dana PT Sarana Multi Infrastruktur pada sejumlah kabupaten di Maluku diduga ber­masalah.

Aparat penegak hukum baik jaksa dan kepolisian diminta usut agar pin­jaman dana sebesar Rp700 miliar dari PT SMI untuk pemulihan ekonomi masyarakat Maluku bisa menjadi terang ben­derang.

Buktinya pembangunan talud di Kabupaten Buru yang bernilai be­lasan miliar rupiah hingga kini tak tuntas di kerjakan padahal angga­rannya sudah cair seratus persen.

Belum lagi proyek air bersih yang dibangun di Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah dan Ke­camatan Sirimau Kota Ambon. proyek sudah dikerjakan namun mubasir karena masyarakat tidak menikmati air bersih.

Menanggapi hal ini, praktisi hukum, Barbalina Matulessy men­desak, pihak kejaksaan dan kepo­li­sian untuk mengusut proyek SMI yang dibangun dibeberapa daerah di Maluku.

Baca Juga: Akademisi Apresiasi Bareskrim Usut Mafia Tanah di Maluku

Sekretaris DPD Partai Solidaritas Indonesia Kabupaten Buru itu menegaskan, terkait proyek di Buru maupun dibeberapa.lokasi lainnya, terdapat indikasi tindak pidana korupsi didalamnya.

Hal pertama, lanjut dia, soal pen­cairan anggaran SMI, sudah in pro­sedural, karena tanpa pemba­ha­san, apalagi persetujuan DPRD Pro­vinsi Maluku. Belum lagi de­ngan kesalahan-kesalahan lain­nya, sampai pada pengerjakan proyek yang menggunakan dana tersebut.

“Yang saya temukan, terjadi penyalahgunaan kewenangan, in procedural. Pertama,  soal pen­cai­ran dana yang tanpa persetujuan DPRD, itu sudah salah, sudah ada unsur Tipikor didalamnya, sehi­ngga sudah bisa diusut oleh ke­jaksaan maupun kepolisian,” ujar­nya kepada Siwalima di Ambon, Kamis (1/9).

Selanjutnya, proyek tersebut tidak sesuai dengan peruntuk­kan­nya. Artinya yang dibutuhkan ang­garan berapa sampai tingkatan pe­kerjaan sejauhmana, namun tidak selesai, itu sudah salah. Artinya ini kesalahan yang tidak dibutuhkan penafsiran lagi, sudah bisa diusut kejaksaan maupun kepolisian.

Jika tidak, sambungnya,  maka akan berimbas pada proyek yang ada di dinas-dinas lain, dan itu men­jadi contoh buruk. Apalagi  untuk PUPR, dimana banyak pe­kerjaan pada dinas itu yang fiktif dan tanpa prosedur.

“Sekarang Tipikor itu unsurnya sudah melebar, memperkaya diri sendiri, kelompk atau karena ja­batan, kemudian mempengaruhi seseorang agar menimbulkan satu kebijakan yang merugikan, atau pungli, pemerasan, itu semua Tipikor,” katanya.

Kaitannya dengan proyek Talud ini, lanjut dia, tidak ditentukan seperti itu, tapi dipaksakan untuk mencairkan, ada konteks peme­rasan disitu. Artinya konteks peme­rasan tidak bisa diartikan bahwa ketika memaksa untuk memberi­kan pada diri sendiri, tapi minta negara mengeluarkan uang untuk proyek, dan tidak dibangun. Hal ini masuk dalam delik pemerasan yang dimaksudkan oleh KPK.

Dengan itu, kata dia, fatal ketika tidak diusut. Mau berapa banyak lagi uang negara yang dihabiskan hanya untuk proyek proyek yang sebenarnya tidak diperuntukan. Dan ini dikategorikan fiktif, karena pekerjaan belum selesai, tetapi anggarannya telah dicairkan. Dilain sisi, setiap pekerjaan yang meng­gunakan uang negara, mestinya ada papan proyek, dan itu wajib, karena bagian dari transparansi penyelenggaraan pemerintahan dalam konteks pembangunan SMI.

“Pertanyaan lain, pihak ketiga dalam proyek ini apa alasannya tidak ada papan proyek, itu juga indi­kasi. Jika pekerjaan itu kon­traktor dari luar daerah, sehingga muncul istilah kancing bayar, memang itu terjadi, ini harus diusut jika tidak proyek lain pada dinas lain juga sama. Jangan salah ketika masyarakat kemudian apatis kepada pemerintah hanya untuk kepentingan formalitas uang negara dicairkan, hanya untuk pekerjaan fiktif karena tidak ada papan proyek,” tandasnya.

Sementara itu, Ali Rumauw, Ketua Yayasan Pusat Konsultasi dan Lembaga Bantuan Hukum Hu­nimua (YPK-LBH HUNIMUA) juga menegaskan, tujuan pinjaman dana SMI disaat Daerah meng­ala­mi covid-19, dengan tujuan untuk pemulihan ekonomi masyarakat.

“Namun fakta terbalik terkait dengan pinjaman dana SMI lebih cenderung untuk pekerjaan fisik, bukan pemulihan ekonomi mas­yarakat,” tuturnya.

Dengan itu, pihaknya meminta Kejaksaan Tinggi Maluku untuk menelusuri penggunaan pinjaman dana SMI terkait peruntukan dan kemanfaatan nya. Karena pinja­man dana SMI sangat cukup besar, dan itu menjadi beban daerah.

“Untuk itu harus mengembalikan pinjamannya, tetapi perlu diper­tanyakan sisi manfaat pinjaman dana SMI ke masyarakat itu seperti apa,”cetusnya.

Bermasalah

Dua proyek bernilai belasan miliar rupiah di Buru, hingga kini tak tuntas dikerjakan, padahal anggarannya sudah cair seratus persen.

Proyek yang dibiayai dari pinja­man dana PT Sarana Multi Infra­struktur di Kabupaten Buru itu bermasalah dan memicu naiknya emosi anggota DPRD Maluku.

Anggota Komisi III DPRD Pro­vinsi Maluku Ikram Umasugi, me­ngecam Pemprov Maluku yang mengerjakan proyek dimaksud, asal-asalan.

Diketahui Pemprov Makuku me­minjam dana SMI untuk pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Anehnya, dana sebesar Rp700 miliar itu tidak memberikan dampak bagi Maluku.

Dana fantasitik yang dicairkan ke Pemprov Maluku melalui Dinas PUPR pekerjaannya tidak sesuai peruntukannya.

Ikram menyebutkan, proyek pembangun talud di Kabupaten Buru yang anggarannya dari dana SMI sebesar Rp20 miliar dan Rp5 miliar yang hanya melindungi be­berapa rumah dengan nomen­klatur penataan kawasan, justru tidak sinkron dan amburadul.

“Ketika komisi III turun ke lapangan dan memantau kegiatan yang berhubungan dengan dana SMI, ada berbagai macam per­soalan. Ini tidak sinkron, karena banyak dibangun kegiatan isik  yang sifatnya asal-asalan,” kecam Ikram.

Ikram meminta, Dinas PUPR Maluku menjelaskan penyebab pembangunan talud dengan anggaran yang cukup fantastis dan dikerjakan tidak sesuai bestek itu.

Bahkan, pengerjaan proyek pengendali banjir juga, tidak sesuai dengan peruntukannya, mestinya pembangunan talud ditepi aliran sungai, namun ini dibangun jauh dari bibir sungai. “Ini yang dikatakan amburadul,” ujarnya.

Ikram menegaskan, proyek talud yang dikerjakan asal-asalan dan amburadul ini, harus usut aparat penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian maupun Ko­misi Pemberantasan  Korupsi.

“Kalau bisa kita minta lembaga terkait yang ditugaskan oleh pe­merintah seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian untuk melihat sama-sama, karena pinjaman dana ini berdampak pada peng­embalian,” tegasnya.

Kecam

Selain anggota Komisi III DPRD Maluku, Ikram Umasugi, Fraksi Ge­rindra DPRD Maluku juga menge­cam keras Pemprov Malu­ku, pin­jaman dana SMI Rp700 miliar na­mun tidak bisa menjawab berba­gai persoalan di Maluku, terutama pemulihan ekonomi.

Dalam rapat paripurna penyam­paian kata akhir fraksi terhadap Laporan Pertanggungjawaban Gu­bernur Maluku tahun 2021, Senin (29/8) lalu, Fraksi Gerindra menilai, pinjaman sebesar Rp 700 miliar dari PT SMI tidak dapat menjawab pemulihan ekonomi di Maluku.

Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Maluku, Andi Munaswir dalam rangka penyampaian kata akhir fraksi terhadap Laporan Pertanggung­jawaban Gubernur Maluku tahun 2021 mengatakan, kebijakan Pemprov Maluku dalam program pinjaman PT SMI, diha­rapkan dapat membantu pemuli­han ekonomi nasional.

Sayangnya, pinjaman dana dengan nilai fantastis tersebut tidak berdampak terhadap pemulihan ekonomi nasional di Maluku.

Hal ini dikarenakan, pengunaan pinjaman dana SMI tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik oleh Pemprov Maluku, akhirnya program-program yang direalisasi­kan juga tidak mampu menjadi solusi.

Menurut Gerindra, penggunaan pinjaman dana SMI tidak melalui mekanisme perencanaan yang baik, sehingga penempatan program-program yang direalisasikan tidak mampu menjadi solusi pe­mulihan ekonomi nasional.

Tak hanya itu, kehadiran dana ratusan milyar itu juga tidak menjadi solusi dalam mengatasi keterisola­sian daerah-daerah di Maluku dari sektor infrastruktur jalan, sebab sampai dengan saat ini masih ba­nyak daerah-daerah yang terisolasi.

“Khususnya di daerah pegunu­gan, sampai saat ini belum mera­sakan pembangunan dari adanya pinjaman dana 700 miliaran oleh Gubernur Murad Ismail dengan jajarannya itu. Karena itu, Gerindra berharap Pemprov Maluku harus mengutamakan proses perenca­naan yang matang dengan meli­batkan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat,” tandas Mu­naswir.

Kekesalan Munaswir jelas mem­buktikan kalau peminjaman dana tersebut tanpa melalui mekanisme persetujuan DPRD Provinsi Maluku.

Salahi Aturan

Selain di Kabupaten Buru, Dinas PUPR diduga menyalahi aturan, kembali menggarap proyek air bersih SMI yang sebelumnya gagal di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.

Hebatnya lagi, pengerjaan pro­yek tersebut dikakukan tanpa penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah perubahan, yang semestinya dilakukan ber­sama DPRD Maluku.

Proyek yang dikerjakan dengan dana Rp1 miliar lebih ini berasal dari APBD Perubahan tahun 2022. Padahal DPRD belum ketuk palu penetapan anggaran tersebut.

Menurut sumber Siwalima di Pemprov Maluku, Dinas PUPR mengerjakan proyek gagal di lokasi yang sama di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon dengan anggaran APBD Perubahan tahun 2022. Hanya saja, sampai dengan saat ini APBD Perubahan belum dite­tapkan oleh DPRD Maluku.

“Ini saja sudah menyalahi atu­ran, sumber dana dari APBD Peru­bahan tahun 2022, tetapi APBD-P saja belum ketuk palu oleh DPRD Maluku. ini hanya menutupi sumber dana SMI itu,” ujar sumber yang enggan namanya dikorankan ke­pada Siwalima, Senin (15/8).

Alhasil, kata sumber itu, proyek air bersih yang kembali digarap oleh PUPR di lokasi yang sama itu dikerjakan tanpa ada papan pro­yek.

“Jika pekerjaan itu oleh kon­traktor dari luar daerah itu mengatakan bahwa itu sistim kancing bayar, tetapi pertanyaannya Dinas PUPR membayar pakai uang apa, uang daerah kan, nah uang daerah itu harus ada persetujuan DPRD, kita cek ternyata anggarannya pakai APBP Perubahan. Pertanyaan juga APBP ini belum diketuk palu. Tapi Dinas PUPR kerjakan saja dan nego dengan kontraktor.  Ini kan saja sudah salahi aturan. Mestinya ada papan proyek supaya mas­yarakat tahu sumber dananya dari mana,” katanya lagi.

Sumber ini juga menyebutkan, untuk menentukan kedalaman pengeboran itu ditentukan oleh PU, berdasarkan geo listirik yang dilakukan orang geologi. Untuk mendeteksi potensi air tanah.

“Misalnya ketika mendeteksi air tanah itu berada di kedalaman 100 meter, berarti kontrak pengeboran kedalaman 100 meter. Jika tidak dapat air misalnya maka PU yang komplein, bukan pihak ketiga. Karena PU yang menentukan kedalaman air 100 meter dengan nilai sekian,” lanjut sumber itu.

Masalahnya, masih kata sumber ini, anggaran belum ada, tetapi Dinas PUPR paksakan kerja.

Diduga ujar sumber ini, Dinas PUPR mengerjakan proyek air bersih ini ulang secara diam-diam untuk menutupi dana SMI.

“Ini diduga kerjakan diam-diam, karena musti ada anggaran dolo baru kerjakan proyek, harus juga ada papan proyeknya. Ini kan tidak ada,” ujar sumber itu lagi.

Sirimau Bermasalah

Proyek air bersih di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon yang berasal dari pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional PT Sarana Multi Infra­struktur tahun 2020, dengan nilai proyek Rp14.4 miliar tersebut, tersebar pada tujuh titik.

Tujuh titik proyek air bersih yang dikerjakan oleh PT Bina Cipta Amanah antara lain, Keluruhan Batu Meja RT 005/RW 002 tepatnya di lapangan tenggara, Kayu Tiga RT 02/RW05, di Dusun Air Kuning samping Masjid Madinatul Hijrah, Dusun Kahena dekat Kampus IAIN, pesantren Galunggung, Dusun Bere-Bere, Desa Soya dan ka­wasan Kopertis Karang Panjang.

Untuk pembangunan air bersih di Dusun Air Kuning samping Masjid Madinatul Hijrah baik bak penampungan, panel Surya dan sumur bor telah berjalan dan masyarakat sekitar telah menikmati air bersih.

Selanjutnya, untuk pembangu­nan air bersih di Desa Soya se­luruh fasilitas pendukung seperti bak penampungan, panel surya telah selesai dibangun dan ber­dasarkan pengakuan warga setempat, air bersih telah dinikmati sejak tiga bulan lalu.

Sementara itu, untuk pemba­ngunan air bersih di Bere-Bere dan Kopertis terlihat semua fasilitas air bersih baik bak, panel surya dan jaringan air bersih telah terpasang dan masyarakat telah menikmati air bersih dengan baik.

Haruku Terbengkalai

Selain Proyek Air Bersih di Keca­matan Sirimau bermasalah, hal yang sama juga terjadi pada pem­bangunan sarana dan prasarana air bersih di Negeri Pelauw dan Kailolo, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.

Proyek Dinas PUPR Provinsi Ma­luku yang bersumber dari pinjaman PT Sarana Multi Infrastruktur sebesar Rp13 miliar ini mestinya kontraktor menuntaskan pekerja­an­nya sejak tahun 2021 lalu, namun kenyataannya hingga kini terbengkalai dan tidak dapat dinikmati masyarakat setempat.

Pembagunan sarana dan pra­sarana air bersih seperti bak pe­nampungan air dan sumur me­mang telah selesai dikerjakan oleh kontraktor, namun pekerjaan ini terbengkalai, lantaran jaringan air belum terpasang dan dialirkan ke rumah-rumah masyarakat.

Selain itu, pada sumur bor yang berada didekat Kantor Camat Pulau Haruku juga terkesan tidak dikelola dengan baik, sebab terlihat sampai dengan saat ini proses pemasangan jaringan pipanisasi belum dilakukan, dan bahkan air terbuang begitu saja.

Untuk salah satu sumur bor yang berada di Dusun Naama, Negeri Pelauw sampai saat ini belum tuntas, walaupun beberapa bulan lalu telah selesai dilakukan pe­ngeboran tetapi air yang dida­patkan tidak sesuai, dan dibor kembali namun tak kunjung tuntas.

Peralatan jaringan pipanisasi juga tidak terurus dan dibiarkan terlantar ditepi jalan raya maupun lubang jaringan dan tidak tertanam baik kerumah warga maupun pada bak penampung yang telah selesai dibangun.

Menangapi hal ini, akademisi hukum Unidar, Rauf Pelu menilai, sangat tepat jika aparat penegak hukum dalam hal ini Ditreskrimsus Polda Maluku membidik proyek tersebut.

Pelu sangat sayangkan proyek air bersih yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Negeri Pelauw dan Kailolo justru tidak bisa dinikmati, padahal nilai anggaran untuk pembangunan proyek air bersih ini sangat vantastis.

Ia menilai, kontraktor harus bertanggungjawab  terhadap ter­be­ngkalainya proyek air bersih pada dua negeri di Pulau Haruku itu. dimana bukti-bukti belum tun­tas pengerjaan proyek air bersih terse­but sangat jelas yang mem­buka ruang polisi mengusut kasus ini.

“Ini kan fakta di lapangan proyek air bersih di Pelauw dan Kailolo belum selesai, apalagi anggaran besar, sehingga yang berta­ng­gung­jawab itu kontraktor,” ujarnya.

Pelu mendesak polisi untuk se­cepatnya mengusut kasus ini, dan menjerat kontraktor yang dinilainya bertanggungjawab terhadap ter­bengkalainya proyek air bersih.

“Saya dukung polisi atau jaksa usut dan jangan lindungi siapapun karena ini negara hukum eguality before the law harus ditegakkan, jangan pedang hukum itu tajam kebawah lalu tumpul keatas,” ujarnya.

Ia juga berpendapat, terbeng­kalainya proyek air bersih ini sudah bisa masuk unsur korupsi karena menggunakan uang negara dan uang negara yang digunakan tidak digunakan dengan benar dimana proyek air bersih di dua negeri itu belum selesai. (S-25)