Presiden Tiga Periode: Runtuhnya Pondasi Reformasi
ISU perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden tiba-tiba mewarnai lini massa Tanah Air beberapa hari ini. Tak ada hujan apalagi petir, wacana amandemen masa jabatan pucuk pimpinan republik ini kembali melambung di tengah hari bolong.
Padahal, jauh sebelum itu Jokowi telah menegaskan bahwa dirinya tak berniat menambah masa jabatan untuk selanjutnya. Dia juga menegaskan wecana penambahan masa jabatan seperti menampar mukanya. Aneh, masih ada yang mewacanakan isu yang sama di tiga tahun terakhir masa jabatan kedua. Bukan itu saja, pendukung tiga periode ini telah membentuk wadah gerakan dalam rangka memuluskan penambahan periodeisasi tersebut.
Wajah Demokrasi Kita
Euforia demokrasi tanah air baru saja dimulai. Ibarat memasuki sebuah perkampungan, republik ini baru saja menapaki gerbangnya. Perlu proses pendewasaan dalam menanamkan karakter berdemokrasi yang lebih kokoh dan matang.
Dalam proses itu, seluruh elemen bangsa dituntut untuk lebih responsif dan antisipatif dalam menjaga dinamika bernegara. Panjang dan berliku tentunya, namun langkah awal ini perlu dikawal dengan upaya berbagai kebijakan yang mendukung ke arah demokratisasi yang damai.
Kurun waktu dua dekade ini, menjadi tonggak awal arah berbangsa kita ke depan. Kebebesan, Persamaan dan Kemajemukan adalah prinsip dasar berdemokrasi yang mestinya menjadi kesepahaman seluruh elemen bangsa dalam menyongsong masa depan bersama.
Sehingga keadilan sosial, keadilan hukum dan keadilan politik menjadi kepentingan bersama pula dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait hal itu dalam proses bernegara, seluruh anak bangsa memiliki hak dan kesempatan sama untuk mencapai kehendaknya.
Sejurus itu, konstitusi turut mengatur bagaimana agar kesempatan yang sama juga dapat dinikmati segenap anak bangsa di berbagai bidang tanpa terkecuali. Mengutip teori keadilan (A Theory of Justice: 1971) John Rawls: dalam penjelasannya menyinggung soal prinsip keadilan yang dimaknai dengan kesamaan kesempatan (Egality Opportunity Principle).
Teori ini bukan saja menjadi basic sebuah negara demokrasi modern yang menjunjung tinggi kebebasan, tetapi juga prinsip negara yang berkeadilan. Negara yang diatur dengan konsep persamaan kesempatan bagi seluruh elemen bangsa.
Sebagai negara demokrasi yang baru saja berdiri, prinsip kesempatan yang sama tentu tak luput dari pengilhaman teori yang kemudian terimplementasi dalam dasar negara yang lahir sejak era reformasi, termasuk soal pembatasan masa jabatan dua periode bagi presiden dan wakil presiden atau satu periode masa jabatan dan dapat dipilih satu kali lagi (Only One re-election).
Dalam konteks ini, penulis berpendapat ada kerolasi erat antara teori persamaan kesempatan dengan masa jabatan presiden/wakil presiden. Bukan hanya soal kondisi primordial bangsa yang heterogen, sehingga menuntut hadirnya prinsip dasar tersebut, tetapi juga persoalan regenerasi kepemimpinan politik dirasa cukup relevan.
Guna mengakomodir persoalan regenerasi, maka UUD kita mengatur masa jabatan yang tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu pendek, cukup dua periode. Dengan begitu, aturan ini tidak hanya menghindarkan bangsa ini dari jeratan otoritarianism, tetapi juga akan memunculkan banyak calon pemimpin masa depan yang lebih bervisi dan misi ke depan. Dari sini pula dapat dimengerti bahwa setiap anak bangsa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi pemimpin bangsa sebagaimana diatur oleh konstitusi.
Runtuhnya Pondasi Reformasi
Berkaca dari perjalanan bangsa, tentu saja kita tidak ingin terjerumus untuk ke tiga kalinya, pasca orde lama dan orde baru yang tidak tegas mengatur soal masa jabatan pucuk pimpinan republik ini. Alhasil, lahirlah demokrasi terpimpin dan demokrasi ala orba yang bertangan besi.
Di era reformasi, UUD mempertegas pengaturan masa jabatan presiden/wakil presiden, sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen, selain itu UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017 juga mengafirmasi soal masa jabatan presiden/wakil presiden yang dibatasi hanya dua periode.
Namun demikian, aturan main ini tidak serta merta berjalan mulus, celah perdebatan masih saja terjadi, salah satunya soal kemunculan frasa “berturut-turut”, apakah dua periode berturut-turut atau ada opsi yang lain.
Dalam sistem pemerintahan presidential, negara dunia modern memang mengenal beberapa konsep masa jabatan pimpinan pucuk pemerintahan. Konsep ini pun berlaku bagi negara-negara tersebut.
Ada negara yang menggunakan konsep masa jabatan satu periode, misalnya Filipina, Brazil atau Korea Selatan. Kemudian ada juga negara yang menggunakan konsep presiden tiga periode seperti Angola. Lalu ada konsep penjedahan, incumbent tidak boleh mencalonkan diri minimal satu periode selanjutnya, seperti negara di bagian Amerika Latin, Peru.
Dan yang paling banyak diadopsi adalah konsep presiden dua periode atau hanya satu kali dapat dipilih kembali, di antara negara yang menggunakannya adalah Indonesia dan Amerika Serikat.
Dari sekian jenis konsep masa jabatan itu, tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, namun pada prinsipnya masa jabatan diatur untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of power).
Dalam konteks wacana Jokowi tiga periode, tentunya sah-sah saja dalam demokrasi, hanya saja perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa negara ini masih dalam tahap membangun demokrasi itu sendiri. Jangan sampai pondasi yang sudah dibangun runtuh seketika karena ambisi ingin berkuasa.
Kedua, menjadi kekhawatiran kita bersama wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi kuburan bagi reformasi karena bukan tidak mungkin setelah tiga periode akan ada lagi wacana empat periode, lima periode bahkan seumur hidup.
Terakhir, tidak tepat membahas ambisi kekuasaan di tengah pandemi yang telah meluluhlantakkan sendi ekonomi masyarakat. Kekhawtiran kita jika wacana ini jadi kenyataan akan mudah mengundang chaos di masyarakat atau bahkan menjadi malapetaka bagi kekuasaan Jokowi sendiri. (Fadhli Harahab, Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA))
Tinggalkan Balasan