AMBON, Siwalimanews – Majelis Etik Nasional Asosiasi Jurnalis Independen Willy Pramudya mengaku, banyak jurnalis yang masih memiliki pengetahuan tentang dunia kebahasaan masih sangat minim.

Hal ini disampaikan Pramudya saat membawakan meterinya pada kegiatan peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia bagi wartawan media massa daring yang digelar Knator Bahasa Maluku di Pacific Hotel, Selasa (15/6).

Menurutnya, minimnya pengetahuan jurnalis dikarenakan kurang menguasai aspek kebahasaan yang penting, seperti aspek gramatikal atau tata Bahasa, aspek leksikal atau kosakata dan aspek ortografis atau ejaan serta aspek logika dan estetika.

Kenyataan ini, menunjukkan bahwa temuan Roni Wahyono (1995) mendapatkan bukti lebih kuat tentang kualitas media dalam berbahasa.

“Secara  khusus terekam, tingginya penggunaan kalimat yang tdak lengkap, maraknya kosa kata lisan dan tak baku, tingginya penghilangan tanda baca, kesalahan penggunaan konjungsi dan preposisi pada bagian-bagian tertentu, bahkan terjadinya “perlawanan” dan sikap tidak acuh terhadap syarat menyusun paragraf serta tidak terjaganya nalar dalam menulis berita sejak ditingkat kalimat wacana,” ujarnya.

Baca Juga: Gedung Eks Asrama SPK Kudamati Terbakar

Tingginya kesalahan berbahasa atau buruknya penggunaan bahasa di media massa kata dia, juga berkaitan dengan sejumlah sikap negatif dari masyarakat.

Adapun tujuh sikap negatif masyarakat terhadap Bahasa Indonesia yakni, pertama, memandang bahasa Indonesia, bahkan semua bahasa hanya sebagai alat komunikasi biasa. Kedua, memandang bahasa lahir dan tumbuh secara alamiah.

Ketiga, memandang bahasa Indonesia lebih muda daripada bahasa asing, keempat, memandang bahasa Indonesia lebih rendah dari pada bahasa asing. Kelima, memandang bahasa Indonesia nggak mampu menjadi bahasa modern di bidang ilmu teknologi, seni, budaya filsafat agama dan lain-lain.

Kemudian keenam, malas berpikir dalam menghadapi kesulitan dalam berbahasa, serta ketujuh, mencari rujukan (kamus, buku, dan sebagainya) menghadapi masalah kebahasaan.

“Dengan demikian berbagai sikap negatif itu dapat berpengaruh buruk terhadap dunia pendidikan dan profesionalisme, khususnya dalam hal berbahasa Indonesia,” pungkasnya. (S-51)