AMBON, Siwalimanews – Sejumlah praktisi hukum yakin Mahkamah Konstitusi akan menolak gugatan akhir masa jabatan yang diajukan Gubernur Maluku, Murad Ismail.

Kendati pengajuan gugatan merupa­kan hak konstitusi Murad, namun akhir masa jabatannya sebagai Guber­nur Maluku bersama dengan sejumlah kepala daerah di Indonesia, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

“Saya yakin 100 persen MK tolak, karena didasarkan pada putusan MK sebelumnya dalam perkara No. 18/PUU-XX/2022. maka upaya upaya hukum Gubernur Maluku untuk me­nguji norma Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 pasti ditolak MK,” jelas praktisi Hukum Hendrik Lusikooy kepada Siwalima di Ambon, Selasa (21/11).

Murad menempuh langkah hukum ke MK, lantaran tak terima diber­hentikan 31 Desember 2023.

Selain Murad, sejumlah kepala daerah juga melakukan hal yang sama, seperti, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Dedi A Rahim Wakil Walikota Bogor, Marthen Taha Walikota Gorontalo, Hendri Septa Walikota Padang dan Walikota Tarakan Chairul.

Baca Juga: Cegah Premanisme, Polresta Ambon Patroli Malam

Sejatinya, masa jabatan Murad-Orno akan berakhir pada 24 April 2024. Hal ini sesuai dengan Kepu­tusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189/P Tahun 2018, tanggal 28 September 2018.

Namun, berdasar ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Peneta­pan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018, menjabat sampai dengan Tahun 2023.

Menurut Lusikooy, dalam Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang batas waktu mau pemilu 2019 dimana disebutkan, batas masa jabatan bupati, walikota hingga gubernur pada tahun 2023.

“Jadi kalau sekarang Pak Murad mau berpatokan kepada masa jaba­tan 5 tahun berarti keliru, Undang-undang sudah membatasi akhir tahun 2023. Sehingga pak gubernur punya hak gugat, tetapi saya yakin 100 persen MK tolak,” tuturnya.

Yakin Ditolak

Senada dengan Lusikooy, praktisi hukum Ronny Samloy juga berpen­dapat MK akan menolak gugatan yang diajukan MI, sapaan akrab Murad.

Penolakan ini, lanjut Samloy kepada Siwalima di Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (21/11) disebabkan sejumlah alasan fundamental, yakni pertama, pokok per­mohonan MI ke MK tidak beralasan menurut hukum

Hal ini karena Pasal 201 UU No.10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara atau sekali terjadi (ein­malig) demi terselenggaranya pemi­lihan serentak nasional pada 2024, sehingga pemilihan-pemilihan beri­kutnya berakhirnya masa jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati serta walikota dan wakil walikota bersamaan periodisasi pemilihan gubernur, bupati dan walikota yakni setiap lima tahun sekali secara serentak nasional.

Alasan kedua, selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati,  dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud pada Pasal 201 ayat (7) UU No.10/2016 tidak bertentangan dengan  konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) sebab sebagaimana hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain ; (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Alasan ketiga, lanjutnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan in casu masa jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi termasuk hal ini dalam rangka memahami kebijakan pemili­han gubernur, bupati dan walikota serentak nasional dan tidak bersifat diskriminatif.

Alasan keempat, norma pasal 201 ayat (7) UU.10/2016 telah diuji MK sehingga oleh karena itu lahir putusan MK No.18/PUU-XX/2022  yang bersifat final. Artinya, MK tidak mungkin lagi mengeluarkan keputusan baru yang kontrapro­duktif dengan keputusannya sebe­lumnya dengan objek yang sama.

Dalam konteks ini, gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah harus mendukung apapun yang menjadi keputusan pemerintah pusat yang bersumber dari norma Pasal 201 ayat (7) UU. No.10/2016 sehingga terjadi harmonisasi dalam mendukung kebijakan nasional in casu pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional.

Terakhir terhadap gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, serta walikota yang masa jabatannya belum sampai lima tahun dengan pertimbangan sejak dilantik tetap diberikan kompensasi hak-haknya secara penuh oleh negara sehingga tidak ada yang dirugikan haknya berdasarkan kebijakan transisional tersebut.

Argumentasi Harus Kuat

Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, kepada Siwalima, Minggu (19/11) mengata­kan, argumentasi yang disiapkan MI, harus kuat dan dapat meya­kinkan hakim MK.

Menurut Margarito, MI memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke MK terkait dengan akhir masa jabatannya, namun agar gugatannya diterima, maka itu sangat tergantung ahli-ahli yang diajukan dalam persidangan.

“Ini hak gubernur, selagi orang merasa kerugian maka menjadi dasar orang mengajukan permohonan. Apakah dikabulkan atau tidak, itu sangat tergantung dari seberapa bagus argumentasi yang dipakai oleh permohonan. Dan seberapa bagus ahli-ahli yang diajukan oleh pemohon itu didalam persidangan, dan berhasil meyakinkan hakim konstitusi,” ungkap Margarito.

Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Khairun ini menilai, gugatan yang diajukan MI ke MK sudah agak terlambat, dan apakah MK akan menolak atau menerima itu juga tergantung.

Kata dia, sekarang masalahnya adalah bagaimana konstruksi hukum dari gubernur sebagai pemohon agar alasan itu layak dan diterima oleh MK. Jadi sangat tergantung dari bagaimana merumuskan keru­gian konstitusional akibat dari pembatasan masa jabatan itu.

Dia menilai, kebijakan pembatasan masa jabatan gubernur itu kebijakan itu bertentangan dengan UUD.

Untuk diketahui, gugatan yang diajukan Murad Cs sama seperti gugatan sebelumnya yang pernah diajukan oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi, Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara dalam perkara No 18/PPU-XX/2022.

Dalam pertimbangan hakim Kons­titusi Saldi Isra pada Rabu, 20 April 2022 lalu mengatakan, kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016 tentang UU Pilkada bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi ter­selenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024.

Pemotongan masa jabatan me­nurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi peme­nuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termak­tub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil guber­nur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional.

Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil  pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.

Undang-undang telah mengantisipasi secara jelas terhadap pihak yang terkena dampak pengurangan masa jabatan kepala daerah pun telah diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, kepala daerah yang berkurang masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015).

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 tersebut, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Apakah keputusan MK dalam putusan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera akan sama juga terhadap gugatan yang diajukan MI Cs ataukah tidak, lanjut Margarito bisa MK memutuskan sama dengan keputusan sebelumnya, tetapi itu juga tergantung konstruksi hukum yang disampaikan Gubernur Maluku.

Ditanya soal kebijakan negara untuk membayarkan hak-hak gubernur sampai April 2024, menurutnya, justru disitu masalahnya, karena orang menjadi bupati, orang menjadi walikota bukan soal isi materi itu.

Walau demikian, lanjutnya, apakah kuasa hukum dapat menyajikan reasoning yang layak dari segi konstitusi ataukah tidak. Dan seberapa jauh argumentasi yang diajukan oleh pemohon/ahli meyakinkan hakim ataukah tidak.

Tetap ini gugatan ke MK merupakan hak gubernur yang harus dihormati, mungkin saja yang dicari bukan soal hak itu, tetapi ingin membuktikan bahwa bernegara, menggunakan konstitusi yang benar. Dan ini mungkin motivasi agar negara ini betul-betul menjalankan hukum secara masuk akal. (S-26)