AMBON, Siwalimanews – Pihak kepolisian diminta tak menutup mata terhadap dugaan penyelewengan yang dilakukan Gugus Tugas Kota Ambon dalam penanganan Covid-19.

Bukti-bukti du­gaan mark up data jumlah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam peng­a­wasan (PDP), jum­lah tenaga kese­ha­tan serta pemo­tongan insentif tenaga kesehatan (nakes) sudah di­kantongi tim Tipi­kor Satreskrim Polresta Ambon dan Pulau-pulau Lease, lalu mengapa didiamkan?

Tim Satreskrim yang mela­kukan asistensi terhadap Gugus Tu­gas Penanganan Covid-19 Kota Am­bon dan menemukan dugaan pe­nyelewengan, dilengkapi surat pe­rin­tah jelas, yang diteken oleh Kasat Reskrim, AKP Mindo J. Manik.

Sikap pimpinan kepolisian yang terkesan ogah melakukan pengusu­tan akan menambah ketidakper­cayaan masyarakat terhadap pena­nganan Covid-19.

Saat asisensi Tim Satreskrim Pol­resta Ambon menemukan data-data pasien Covid-19, yang berstatus ODP dan PDP dimanipulasi. Ini di­duga dilakukan atas arahan pejabat Dinas Kesehatan. Arahan disampai­kan kepada hampir semua puskes­mas di Kota Ambon.

Baca Juga: Korupsi ADD dan DD Haria Dalam Penyelidikan

Misalnya di Puskesmas Kilang yang ada di Kecamatan Leitimur Se­latan,  banyak nama yang dimasukan dalam daftar ODP dan PDP seolah-olah, mereka adalah penduduk desa atau kecamatan setempat. Padahal setelah ditelusuri, ada yang ting­galnya di Namlea, Kabupaten Buru, ada yang di Makassar bahkan ada yang di Jakarta.

Jumlah kasus positif, ODP dan PDP yang diduga dimanipulasi bertujuan untuk mendongkrak jum­lah nakes yang bertugas.  Semakin banyak jumlah nakes yang dibuat seolah-olah melaksanakan tugas, maka pengusulan untuk pembayaran insentif semakin besar.

Kementerian Kesehatan mengalo­kasikan dana insentif daerah Kota Ambon melalui Dana Alokasi Khu­sus Bantuan Operasional Keseha­tan Tambahan dalam penanganan Covid-19 sebesar Rp 3.450.000. 000 untuk tiga bulan, yakni Maret, April dan Mei 2020.

BPKAD kemudian mentransfer ke rekening Dinas Kesehatan Kota Ambon sebesar Rp 1.900.000.000 untuk insentif nakes bulan Maret dan April pada 22 puskesmas di Kota Ambon.

Data yang dihimpun dari 21 kepala puskesmas di Ambon, total dana yang sudah diterima Rp 1.708.500. 000,00. Sesuai laporan Dinas Kese­hatan, jumlah nakes yang diinput pada 21 puskesmas  sebanyak 653 orang. Namun yang diberikan insen­tif hanya 414 orang.

Pada bulan Maret 2020 jumlah nakes yang menerima insentif seba­nyak 200 orang kemudian bulan April 2020 sebanyak 214 orang. Jadi total­nya 414 orang.

Dari jumlah 653 nakes di 21 pus­kesmas, minus Puskesmas Hutu­muri, terdapat selisih 239 nakes yang mendapatkan insentif. Jumlah 239 ini diduga fiktif, yang dipakai untuk mengusulkan pencairan anggaran.

Dugaan penyelewengan lainnya adalah insentif nakes yang dipotong Dinas Kesehatan Kota Ambon.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020 tentang pemberian insentif dan santunan kematian, sasaran pem­berian insentif dan santunan kema­tian menyebutkan, besaran insentif nakes masing-masing; dokter spe­sialis Rp 15 juta, dokter umum atau gigi Rp 10 juta, bidang dan perawat Rp 7,5 juta dan tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Namun nakes tak menerima sebesar itu, yang diterima justru nilainya di bawah.

Namun disaat hendak mau ditin­daklanjuti, lima Satreskrim Polresta Ambon yang berjumlah lima orang itu, dimutasikan oleh Kapolresta Pulau Ambon Kombes Leo Simatu­pang.

Akademisi Hukum Pidana Un­patti, Diba Wadjo mengatakan, Ke­pala Dinas Kesehatan Kota Ambon, Wendy Pelupessy boleh membantah ada mark up. Tetapi bukan berarti temuan tim Satreskrim digugurkan. Sebaliknya dugaan penyelewengan itu diusut tuntas.

Wadjo yakin, dugaan mark up yang ditemukan tim Satreskrim bu­kan asal-asalan. Pasti pemerik­saan dilakukan secara detail.

“Saya yakin perikasaan dilakukan detail, sehingga menemukan dugaan penyelewengan itu,” tandasnya.

Ia meminta temuan dugaan pe­nyelewengan tidak dibiarkan begitu saja, tanpa proses hukum. “Ini akan preseden buruk dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Apalagi, kata Wadjo, hal ini bukan delik aduan yang membutuhkan aduan dari masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan. “Tak perlu menunggu, langsung pengusutan jalan,” ujarnya.

Wadjo mengatakan, polisi tidak perlu ragu untuk melakukan peng­usutan. Apalagi dugaan penyele­wengan ditemukan sendiri oleh tim Satreskrim.

Senada dengan Wadjo, Akademisi Fisip Unpatti Amir Kotaromalus mengatakan, dugaan mark up harus diusut, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

“Harus serius mengusut jangan membuat kegaduhan di masyarakat,” ujar Amir.

Kata Amir, jika kepolisian tidak mengusut dugaan penyelewengan itu maka akan tidak adil. Selama ini ketika ada masyarakat tidak memakai masker dihukum, sedangkan ada dugaan penyelewengan anggaran Covid-19, tapi dibiarkan begitu saja.

“Ini tidak adil kalau masyarakat menyampaikan kekecewaannya sediki saja di lapangan  itu diproses hukum, tidak pakai masker dihukum, lalu bagaimana dengan gugus tugas yang melakukan pelanggaran-pe­langgaran, dimana asas persamaan dimuka hukum itu,’’ tuturnya.

Apalagi menyangkut kerugian negara yang sejak awal oleh Presi­den Joko Widodo telah diberikan peringatan keras. Karena itu, aparat kepolisian harus profesional meng­usut dugaan penyelewengan itu.

“Kalau tidak maka akan menjadi bola liar dan masyarakat semakin bertanya-tanya karena telah bergulir di publik,” tandas Amir.

Sementara akademisi Fisip IAIN, Saidin Ernas mengatakan, dalam setiap krisis selalu melahirkan dua hal, yaitu orang yang mendapatkan musibah misalnya korban, tetapi juga  orang yang mengambil untung dari musibah itu.

Sejak awal dirinya khawatir jangan sampai kebijakan penanganan Covid-19 memberikan ruang kepada oknum-oknum tertentu mengambil untung, sehingga mengorbankan orang menjadi korban, apakah itu masyarakat maupun tenaga medis.

Karena itu, Ernas meminta agar aparat penegak hukum mengambil langkah cepat mengusut dugaan penyalahgunaan anggaran Covid-19.

Keengganan untuk mengusut dugaan penyalahgunaan anggaran, kata Ernas, akan mengakibatkan kepercayaan publik terhadap pena­nganan covid menghilang dan ber­potensi menimbulkan pembangka­ngan terhadap setiap kebijakan pe­nanganan covid. “Harus diusut tuntas oleh kepolisian, sebab dapat menimbulkan distras,” tegasnya.

Masyarakat juga ikut mendorong agar polisi mengusut temuan tim Satreskrim Polresta Ambon.

“Kalau memang ada dugaan harus diusut biar jelas,” kata Marcus Ursia, salah satu tukang becak.

Kata Marcus, selama ini masya­rakat sudah sangat sulit bekerja de­ngan adanya Covid-19. Karena itu, kalau ada yang menfaatkan kondisi pandemi untuk meraup keuntungan, mereka tidak punya hati.

“Mereka tidak memiliki hati de­ngan penderitan masyarakat. Maka­nya kalau ada dugaan penyele­we­ngan harus diusut tuntas,” ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan salah satu mahasiswa IAIN, Jubaida Wally. Ia menegaskan, dugaan pe­nye­lewengan harus disikapi serius oleh kepolisian.

“Seng bisa ditoleransi, karena itu polisi harus tegas melihat hal ini,” ujarnya.

Salah satu langkah tegas yang harus dilakukan kepolisian, kata dia, dengan mengusut dugaan penyele­we­ngan yang ditemukan agar tidak men­jadi preseden buruk dalam pena­nganan Covid-19 di Kota Ambon.

Satria Alu, seorang wirausaha me­ngaku kecewa jika dugaan penye­lewengan dilakukan disaat masya­rakat sulit memenuhi ekonomi akibat pandemi Covid-19.

“Jujur saja katong kecewa, sebab masyarakat sementara sulit tapi dong lakukan itu,” ujarnya.

Karena itu, Alu meminta aparat penegak hukum mengusut dugaan penyelewengan yang dilakukan Gugus Tugas Kota Ambon.

Kembali Bantah

Kepala Dinas Kesehatan Kota Am­bon, Wendy Pelupessy kembali membantah pihaknya melakukan mark up data jumlah ODP, PDP, jum­lah tenaga kesehatan serta pemoto­ngan insentif tenaga kesehatan.

Sama seperti sebelumnya, Wendy mengatakan, pendataan ODP dan PDP berdasarkan epidemiologi bu­kan kewilayahan.

“Pelaku perjalanan dari dari Maka­ssar, Jakarta, dong pelaku perjalanan ada dimanifest dipantau oleh masing-masing puskesmas, pantau per telepon,” ujar Wendy kepada Siwalima di Ambon, Senin (5/10).

Kata Wendy, dalam kondisi pan­demi saat ini yang paling diutama­kan penanganan pasien berstatus ODP dan PDP.

“Jadi dalam kondisi pandemi tidak berdasarkan kewilayahan tapi ber­dasarkan kondisi epidemiologi. Ma­kanya kenapa pasien 01 KTP Bekasi, masuk tercatat dalam laporan dari Kota Ambon, karena yang bersang­kutan ada di Kota Ambon seperti itu,” jelasnya.

Disinggung soal letak Puskesmas Kilang yang ada di pegunungan, namun banyak ODP dan PDP yang masuk dalam daftar pengawasan, padahal  mereka tinggal di Makas­sar, bahkan ada yang di Jakarta, Wendy nampak kebingungan menja­wab. Ia lalu mengatakan, peman­tauan tetap dilakukan.    “Siapa yang posko, berarti dia yang pantau be­gitu,” ujarnya.

Soal insentif nakes, Wendy me­nga­takan, pembayaran dilakukan berdasarkan Perwali. “Itu bayar berdasarkan perwali, negara tidak dirugikan,” tandasnya.

Ia mengklaim, tidak ada insentif nakes yang dipotong. Hak mereka dibayar sesuai Perwali.

“Orang persepsi katong minta 10 juta, katong bayar 4,5 juta. Tidak ada seperti itu. Kalau 4,5 juta, katong minta pencairan sebesa itu, dan diberikan kepada nakes sebesar itu juga, tidak ada yang potong,” tandasnya lagi.

Ia menambahkan, mekanisme pembayarannya, setelah bendahara cairkan dari BPKAD, kemudian  ditransfer ke masing-masing reke­ning nakes.

“Tidak ada pemotongan, tolong cek. Dari bendahara 4,5 juta, 4,5 juta juga masuk di dong,” ujarnya. (C-2/Mg-6)