DI hari-hari belakangan ini, ditemukan adanya kalangan yang terpapar oleh HIV/AIDS, terutama di daerah Jawa Barat, tepatnya Kabupaten Bandung. Sudah barang tentu, hal tersebut membuat kalangan masyarakat terkejut karena boleh dikatakan HIV/AIDS sudah lama menghilang dari kalangan masyarakat Indonesia. Apalagi, dengan timbulnya virus setan siluman covid-19, seakan-akan adanya HIV/AIDS lenyap dan terlupakan. Sejauh ini penulis belum menemukan pernyataan resmi dari Kemenkes cq Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, kecuali berita mengenai terpaparnya Menkes oleh setan siluman covid-19 sehingga terpaksa melaksanakan tugas-tugasnya dengan melalui WFH (work from home atau kerja dari rumah). Oleh sebab itu, adanya berita mengenai adanya pejabat tinggi Jawa Barat yang menyatakan untuk mencegah berkembangnya HIV/AIDS sebaiknya diatasi dengan jalan melaksa­nakan poligami, alias beristri lebih dari satu, agar para penderita syahwat yang overdosis tidak perlu ‘jajan’, baik di lokasi-lokasi pelacuran gelap-gelapan maupun yang terang-terangan, cukup mengaget­kan.

Di samping itu, seluruh lokasi pelacuran agar ditutup/dimusnahkan agar para hidung belang tidak dapat lagi berkeliaran mengumbar nafsu seks mereka. Hal tersebut, menurut penulis, ialah sesuatu yang berlebihan dan kontroversial dan pastinya akan menimbulkan reaksi keras dari kalangan ibu dan istri yang masih teguh berpegang pada asas pernikahan monogami. Juga, dari kalangan pria yang berprinsip pernikahan monogami yang berpendirian pendek kata satu istri cukup untuk seumur hidup. Belum lagi, bagi kalangan saudara kita yang beragama Nasrani, yang berpegang pada pernikahan monogami dan anti terhadap adanya perceraian dalam suatu perkawinan. Bila demikian, permasalahannya bagaimana cara paling efektif untuk mencegah timbulnya HIV/AIDS tadi? Untuk diketahui, bahwa timbulnya HIV/AIDS, selain akibat adanya hubungan seks bebas, disebabkan pemakaian alat suntik yang tidak steril (bebas kuman), dan digunakan bergantian oleh pecandu-pecandu narkoba. Kita-kita kaum patriotik akan selalu berpegang kepada pikiran-pikiran Bung Karno dan ajaran-ajarannya, termasuk di dalamnya masalah prostitusi.

Seperti sudah diketahui, ketika Bung Karno menjadi ketua partai politiknya yang pertama, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berasaskan sosionasionalisme dan sosiodemokrasi, untuk memperoleh informasi-informasi yang akurat mengenai kegiatan dan rencana kaum kolonialis Belanda, Bung Karno merekrut puluhan pekerja seks profesional untuk dijadikan kader partai dan dididik menjadi informan serta intelijen dalam rangka memonitor kegiatan-kegiatan kaum kolonialis Belanda saat itu. Hal tersebut sudah barang tentu mendapatkan reaksi keras dari beberapa kalangan pemimpin partai yang lain, terutama Mr Ali Sastroamidjojo yang menurutnya tindakan Bung Karno tadi sudah ‘amoral’ dan kelewat batas. Walaupun demikian, Bung Karno tetap teguh dalam melaksanakan pendiriannya dalam rangka taktik menghadapi kaum kolonialis. Ternyata, apa yang dilakukan Bung Karno sangat berguna bagi kelangsungan eksistensi partai di bawah tekanan-tekanan masif dari kaum kolonialis. PSK yang dihimpun Bung Karno ialah dari lokasi pelacuran Saritem dan Nyengseret di Kota Bandung.

Tiga hal yang tidak dapat dilenyapkan Menurut Bung Karno, ada tiga unsur kegiatan manusia sejak zaman purbakala hingga zaman modern yang tidak dapat dihilangkan atau dilenyapkan di dalam suatu negara. Terlepas bentuk negara tersebut, apakah negara monarki, demokrasi, sosialis, bahkan negara agama. Tiga unsur itu ialah pertama pelacuran (prostitusi), kedua korupsi, dan ketiga judi. Ketiga unsur tersebut mustahil dilenyapkan di suatu negara. Yang dapat dilakukan ialah meminimalkan keberadaan unsur-unsur tadi (Sukarno: Wejangan Revolusi). Oleh sebab itu, keinginan/tindakan menutup seluruh lokasi pelacuran tidak akan membuat lenyapnya pelacuran itu sendiri. Bahkan salah-salah akan timbul pelacuran yang sifatnya tertutup, apalagi di era digital saat ini, ketika komunikasi sudah sedemikian majunya sehingga sangat amat mudah untuk berkomunikasi dan membuat janji. Bila kita mengikuti berita di media sosial, sudah berkali-kali aparat berhasil membongkar adanya sindikat prostitusi gelap. Namun, hingga saat ini hal tersebut tetap saja marak. Di era kepemimpinan Bung Karno lokasi-lokasi pelacuran di berbagai tempat di Jakarta tetap dipertahankan. Bahkan, disempurnakan dengan adanya misal saja pengadaan dokter yang bertugas mengawasi dan memeriksa kesehatan para PSK setiap harinya secara rutin. Contohnya, lokasi Kramat Tunggak saat itu sangat terjamin faktor kesehatan PSK-nya. Demikian juga, Planet Senen yang bahkan secara berkala diinspeksi langsung secara incognito oleh Bung Karno.

Belum lagi lokasi Boker, Cijantung, di sana juga tersedia dokter yang siaga setiap harinya. Seperti kita ketahui, walaupun banyak lokasi pelacuran legal/resmi yang ada, penderita HIV/AIDS saat itu boleh dikatakan belum ada karena memang munculnya HIV/AIDS ialah akibat merebak masuknya pola hidup individualistis yang terbawa oleh masuknya sistem politik liberal kapitalistik, dengan atas nama hak asasi manusia pergaulan seks bebas, pernikahan sejenis, bahkan eutanasia (bunuh diri yang dilegalkan hukum) dihalalkan. Padahal, semua itu jelas-jelas dilarang agama apa pun, khususnya Islam yang berpegang kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul. Tidak mengherankan di era reformasi ini, ketika ideologi transnasional dan agama Islam yang sifatnya ortodoks berhasil masuk ke Indonesia, mulai timbullah penderita-penderita HIV/AIDS baik di kalangan atas maupun bawah di dalam masyarakat.

Baca Juga: Pentingnya Pemeriksaan Biopsi pada Penderita Tumor dan Kanker

Atas nama HAM dan demokrasi, kebebasan individu sepenuhnya harus dilaksanakan. Oleh sebab itu di era Demokrasi Terpimpin Bung Karno menolak melaksanakan hak asasi manusia ala Barat yang merupakan penyatuan pikiran dari ajaran Magna Charta, Leviathan, Kode Napoleon, Declaration of Independence yang dipelopori pemikir-pemikir Thomas Hobbes, John Locke, juga Thomas Jefferson yang disahkan PBB pada sidang mereka pada 1948, dengan 48 suara setuju, 8 suara abstain, dan 1 suara menolak. Arab Saudi bersikap abstain karena berpendirian bahwa hak asasi manusia ala Barat tersebut di atas bertentangan dengan syariat Islam dan sunah Rasul. Oleh sebab itulah, kita kaum patriotik benar-benar geleng-geleng kepala dan mengelus dada melihat seorang tokoh masyarakat berpendirian bahwa poligami ialah obat mujarab untuk melawan adanya HIV/AIDS. Dalam hal ini, kita ingatkan pesan Bung Karno bahwa bagi penganut seluruh agama mutlak ia harus memiliki kemerdekaan otak, kemerdekaan rasa hati, dan kemerdekaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tegas disini poligami bukanlah resep mujarab untuk meniadakan HIV/AIDS! Oleh: Guntur Soekarno Pemerhati sosial.