Polemik RUU KUHP dan Gejala Otoritarianisme Menyembunyikan Kontroversi RUU KUHP
PEMBAHASAN draft RUU KUHP antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mencakup sejumlah pasal karet yang dinilai multitafsir.
Apalagi, draf terbaru pembahasan RUU KUHP selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022 lalu, tidak diekspose dan tidak dapat diakses oleh masyarakat.
Padahal, masyarakat perlu tahu dan punya hak untuk mengetahui hal tersebut. Apalagi, pada Tahun 2019 lalu, telah menghasilkan Rancangan Undang-Undang KUHP yang terdapat banyak pasal karet atau dengan kata lain, ada sejumlah pasal di draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai membahayakan dan merugikan kelompok tertentu.
RUU KHUP bisa dengan mudah menjerat pidana bagi kelompok yang berseberangan dengan Pemerintah dan pejabat negara. Sikap Pemerintah yang tidak mempublikasikan RUU KUHP, itu telah melanggar ketentuan Undang-Undang tentang keterbukaan informasi publik, juga Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Ini artinya, kecenderungan Pemerintah mengabaikan kritik publik lagi-lagi menunjukkan pola yang berulang mengenai proses legislasi yang “ugal-ugalan” dan tidak sehat.
Sebelumnya juga Pemerintah telah mengesahkan sejumlah UU kontroversial ditengah kritik publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU P3. Untuk itu sangat disayangkan, hilangnya fungsi kontrol DPR dalam hal ini, sehingga kritik terhadap proses legislasi itu; kini hanya datang dari masyarakat yang juga kerap diabaikan.
Baca Juga: Legalisasi Metode OmnibusKalau mengharapkan DPR sebagai penyeimbang sangatlah tidak mungkin, hal ini dapat diukur dengan sudah ada 82 persen Parpol yang memiliki anggota DPRD koalisi dengan Pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengabaian aspirasi masyarakat terus berulang.
Berdasarkan draf versi Tahun 2019, koalisi masyarakat sipil, menemukan setidaknya 24 isu krusial yang berpotensi diskriminatif dan overkriminalisasi, yang mana itu bertentangan dengan semangat demokrasi.
Pada 25 Mei 2022, Pemerintah dan DPR mulai membahas kembali RUU KUHP. Namun Pemerintah dalam pemaparannya, hanya memaparkan 14 isu krusial yang diklaim telah disesuaikan berdasarkan masukan masyarakat. Terkait hal itu, baik Pemerintah dan DPR, telah menyepakati, bahwa tidak akan membuka kembali substansi RUU KUHP. Bahwa setelah itu muncul matriks yang memaparkan penyesuaian 14 isu krusial tersebut. Namun draft lengkapnya, hingga saat ini belum sampai ke tangan publik.
Dari 14 isu kontroversi dalam RUU KUHP; terdapat 3 isu yang bagi saya jika tidak dipertimbangkan kembali, maka secara hukum akan terjadi diskriminasi dan kriminalisasi, dalam hal ini, pasal hukum yang hidup (The Living Law), ditemukan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 RUU KUHP; diatur tentang hukum yang hidup dimasyarakat.
Dimana menurut pasal itu, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku disuatu daerah, dalam hal ini hukum adat. Jika kita melihat pasal 18B ayat (2) tertulis, bahwa Indonesia mengakui dan menghormati hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang hak itu masih eksis dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta prinsip Negara Indonesia.
Bahwa jika Pasal RUU KUHP tersebut diatas mengatur tentang Living Law, maka dengan sendirinya akan menghilangkan esensi dari pasal 18B ayat (2) yang adalah merupakan ranah dari masyarakat hukum adat.
Dengan demikian, karena terhadap hal ini, Negara akan ikut campur tangan dan secara langsung mengintervensi ranah penyelesaian hukum adat yang sejatinya itu merupakan domainnya atau peran dari Tokoh adat dan/atau pemangakuh adat di masing-masing daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Artinya, pasal tersebut dikhawatirkan akan memunculkan potensi kriminalisasi, dan menghilangkan roh, esensi dan norma dasar dari hukum adat itu sendiri. Yang berikut terkait pasal penghinaan terhadap pengadilan (contemp of court). Delik ini diatur dalam pasal 281 RUU KUHP draf Tahun 2019.
Dimana pasal ini menyatakan, bahwa seseorang yang tidak bersikap tidak hormat atau tidak berpihak ke Hakim, diancam hukuman penjara selama 1 Tahun. Kemudian, seseorang yang apabila merekam dan mempublikasikan sesuatu yang dianggap mempengaruhi independensi Hakim di pengadilan, juga diancam hukuman penjara selama 1 Tahun.
“Terhadap pasal ini pun, perlu dilihat kembali, karena sudah barang tentu akan membatasi dan mengkebiri semua hak-hak professional. Baik itu profesi Advokat dan profesi Jurnalis. Karena ketika pasal ini disahkan, maka proses-proses pengadilan tidak terkontrol dan dapat berimplikasi pada putusan yang over, bahkan sebaliknya dapat mengahasilkan putusan yang tidak independent, karena tidak terkontrol.
Selanjutnya terhadap profesi Jurnalis, juga secara tidak langsung dibatasi dalam menjalankan profesinya dalam hal peliputan. Implikasi dari tindakan ini, maka terjadi kontra regulasi dengan UU Jurnalis yang justru sangat melindungi hak-hak profesi dari seorang Jurnalis itu sendiri. Selain itu, pasal penghinaan terhadap Pemerintah, dimana delik ini diatur dalam pasal 240 dan pasal 241 draf RUU KUHP Tahun 2019.
Dalam pasal 240, setiap orang yang menghina Pemerintah yang sah dan berakibat terjadinya kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sedangkan dalam pasal 241, setiap orang yang menyebarkan materi berisi penghinaan terhadap Pemerintah yang sah melalui sarana teknologi informasi diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) Tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Dalam konteks pasal penghinaan terhadap Pemerintah, ini sangat bertentang dengan Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan salah satu aspek penting demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, dan diskusi terbuka. Sebagai negara dengan kedaulatan yang berada ditangan rakyat, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Ditambah pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Bahwa terhadap semua pasal kontroversi diatas, jika kemudian Pemerintah tidak terbuka dalam penyampaian, draft RUU KUHP dan mengakomodir semua aspirasi, pikiran dan pendapat masyarakat sipil, namun dipaksakan untuk disahkan sebagai UU, maka dapat dipastikan akan banyak reaksi-reaksi sosial yang menamakan diri sebagai class action yang melakukan judicial review terhadap pasal-pasal yang dianggap kontroversi tersebut. Oleh: Barbalina-Matulessy Praktisi Hukum yang juga Sekretaris DPD Partai Solidaritas Indonesia Kabupaten Buru.
Tinggalkan Balasan