PERANG besar yang terjadi antara Israel dan Hamas (dibantu beberapa faksi perlawanan lainnya) sejak 7 Oktober 2023 lalu masih belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Sebaliknya, ada kemungkinan perang ini justru akan semakin berkobar bahkan melebar ke wilayah lain.

Dalam perkembangan terbaru, ada dua kejadian penting yang bisa dijadikan sebagai sinyal terkait dengan kemungkinan semakin melebarnya perang yang terjadi ke depan. Pertama, terbunuhnya Wakil Ketua Hamas Saleh Al-Arouri di Beirut selatan pada Selasa (2/1). Walaupun tidak ada pengakuan secara terbuka dari Israel, beberapa sumber memastikan bahwa serangan itu dilakukan oleh Israel.

Sebagaimana dimaklumi, setelah dipermalukan oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel bersumpah akan mengejar para pihak yang diyakini terlibat dalam serangan itu. Israel juga bersumpah akan menghancurkan Hamas yang menjadi dalang utama dari serangan 7 Oktober tersebut.

Berbagai serangan brutal Israel

Untuk mencapai semua sumpahnya, Israel melakukan pelbagai serangan brutal yang menimbulkan korban jiwa lebih dari 20 ribu orang. Kebanyakan korban justru dari kalangan anak-anak, perempuan, para lansia, dan pihak-pihak lain yang justru harus dilindungi berdasarkan hukum internasional. Operasi pembunuhan Wakil Ketua Hamas di atas bisa dipahami sebagai bagian dari perwujudan sumpah Israel. Dan, berdasarkan sumpah atau semangat balas dendam yang sama, sangat mungkin Israel akan terus menarget tokoh-tokoh Hamas lain yang berada di luar negeri.

Baca Juga: Menjaga Kewarasan Tahun Politik

Persoalannya ialah keberadaan tokoh-tokoh Hamas di luar negeri berada dalam ‘perlindungan’ negara atau pihak setempat. Menargetkan tokoh-tokoh Hamas di luar negeri sama dengan menciptakan masalah baru dengan negara atau pihak yang menjadi tempat domisili tokoh Hamas dimaksud.

Oleh karena itu, melakukan operasi untuk membunuh tokoh Hamas di luar negeri sama dengan berhadapan melawan negara atau pihak terkait yang melindungi tokoh Hamas dimaksud. Apa yang terjadi dengan pembunuhan Al-Arouri di Libanon bisa dijadikan sebagai contoh dari yang telah disampaikan. Operasi ini dipastikan akan meningkatkan eskalasi kekerasan antara Israel dan Hizbullah.

Sejauh ini, Hizbullah acap melibatkan diri dalam perang Hamas melawan Israel, walaupun masih sangat terbatas. Namun, pembunuhan Al-Arouri di wilayah milisi pro Iran itu dipastikan meningkatkan konflik yang terjadi secara signifikan. Sejauh ini petinggi-petinggi Hizbullah bersumpah akan membalas atas operasi pembunuhan Al-Arouri di wilayahnya.

Kedua, terjadinya dua ledakan besar di Iran pada momen peringatan meninggalnya salah satu jenderal utama Iran yang meninggal di Irak pada Januari 2020 yakni Jenderal Qassem Solemaini. Ledakan ini terjadi satu hari setelah operasi pembunuhan Al-Arouri di Libanon, yakni Rabu (3/1). Lebih dari 100 orang dinyatakan meninggal dalam ledakan tersebut.

Sebagaimana dimaklumi, operasi pembunuhan Jenderal Qassem Solemaini terjadi saat jenderal karismatik Iran itu berkunjung ke Irak pada 2020. Operasi ini dilakukan melalui serangan pesawat tanpa awak yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Eskalasi kekerasan sempat meningkat antara Iran dan AS yang pada saat itu dipimpin oleh Donald Trump, khususnya di wilayah Irak dan sekitarnya.

Secara politik, terjadinya aksi ledakan pada momen peringatan meninggalnya Jenderal Qassem Solemaini di Iran membuka kembali luka Iran yang selama ini mungkin mulai tertutup. Bahkan, ledakan tersebut menambah sekaligus memperdalam luka Iran yang sudah ada, mengingat ledakan terakhir juga menimbulkan korban dari masyarakat Iran yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, ledakan di Iran pada momen peringatan meninggalnya Jenderal Qassem Solemaini bisa mendorong negeri tersebut untuk terlibat secara lebih terbuka dalam konflik melawan AS. Dilihat dari pernyataan pejabat-pejabat tingginya, Iran tampak lebih fokus berhadapan dengan AS daripada Israel (walaupun kedua negara itu sama-sama dianggap sebagai musuh). Bahkan, ketika Israel melakukan pelbagai serangan brutal ke Gaza yang sampai pada tahap mencederai nilai-nilai universal, sebagian elite Iran justru menunjuk AS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kebrutalan Israel.

Dengan kata lain, bila citra Israel di mata dunia menjadi hangus dan ‘bau darah’ akibat aksi biadab yang dilakukan di Gaza dalam 3 bulan terakhir, AS pun sejatinya menanggung dampak yang sama karena faktanya ‘Negeri Paman Sam’ itu berada di belakang dan mendukung kebijakan Israel.

Dalam hemat penulis, hubungan antara AS dan Israel sangat kompleks, khususnya pada masa perang 7 Oktober seperti sekarang. Pada momen tertentu, Israel seakan menjadi AS kecil, sementara AS seakan menjadi Israel besar. Pada momen yang lain, AS seakan secara leluasa melakukan intervensi terhadap Israel. Tapi di momen yang berbeda, justru Israel yang seakan mengintervensi AS. Kompleksitas yang ada akan semakin pelik ketika membahas tentang Gaza pascaperang, di mana AS dan Israel bisa tampak saling berbeda bahkan mengalami perbedaan yang sangat tajam.

Kendati demikian, dalam kacamata Iran, kompleksitas seperti di atas dianggap tidak penting karena AS dan Israel sama-sama dianggap sebagai musuh, sebagaimana AS dan Israel juga menganggap Iran sebagai musuh.

Dalam konteks seperti di atas, dua kejadian penting di Libanon dan di Iran sebagaimana di atas bisa menjadi awal bagi era baru yang di media-media Barat disebut sebagai ‘Gaza pascaperang’. Sebuah era di saat AS dan Israel memiliki pandangan dan keinginan yang berbeda bahkan bertentangan.

Di satu sisi, operasi terhadap Al-Arouri akan menjadi awal bagi aksi perburuan Israel selanjutnya terhadap tokoh-tokoh Hamas di luar negeri yang akan dijalankan tanpa memperhatikan pandangan atau kepentingan dari sekutu-sekutunya, termasuk AS itu sendiri. Di sisi yang lain, serangan di Iran menjadi awal bagi keterlibatan AS secara lebih mendalam, khususnya terkait konflik dengan Iran.

Aksi-aksi milisi Houthi yang semakin brutal di jalur perdagangan Laut Merah bisa menjadi pendorong lain bagi AS untuk semakin jauh terlibat dalam konflik yang saat ini berkecamuk di Timur Tengah, di mana keterlibatan AS ini pada akhirnya akan membuat mereka berhadap-hadapan secara langsung dengan Iran sebagai pimpinan kelompok perlawanan di kawasan (mihwarul muqamawah), termasuk Houthi yang juga dikenal sebagai milisi pro Iran di Yaman.

Garis perang

Inilah garis perang yang selama ini tidak terlalu tampak ke permukaan, bahwa perang-perang yang ada sekarang sedang terjadi di poros perlawanan; Hamas di Gaza, Suriah, Hizbullah di Libanon, serta Houthi di Yaman dan Iran. Sebuah poros yang memilih pendekatan perlawanan dalam menghadapi AS dan Israel.

Sementara itu, poros lain yang selama ini juga sangat menentukan di Timur Tengah tidak terlalu memperlihatkan diri di tengah-tengah konflik dan perang yang berkecamuk (kecuali kecaman yang bersifat normatif), yaitu poros perundingan atau dikenal dengan istilah thawilah mufawadhah (meja perundingan). Bagaimana masa depan perang Gaza, khususnya hubungan di antara para pihak yang ada (termasuk Israel dan AS, termasuk antara poros perlawanan dan perundingan). Inilah mungkin yang akan jauh terlihat pada masa-masa setelah perang Gaza ke depan.Oleh: Hasibullah Satrawi Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.(*)