GUNA menyelamatkan Bank Maluku-Maluku Utara dari kehancuran akibat salah pengelolaan maka harus ada langkah tegas yang dilakukan.

Pemberian penghargaan atau remunerasi dalam satu organisasi baik pemerintah maupun perbankan tentu diatur dalam aturan, artinya tidak boleh dilakukan sesuai kehendak masing-masing.

Di tengah situasi yang tidak menentu menyangkut KUB yang belum jelas, jajaran direksi dan komisaris masih mengeluarkan Rp10 miliar lebih untuk dinikmati bersama di awal tahun ini.

Seluruh penghargaan tersebut, malah sudah ditransfer masuk ke rekening masing-masing pejabat, Selasa (14/1), dengan rincian, direktur utama memperoleh Rp1.200.000.000, sedangkan tiga direktur lain, masing-masing direktur pemasaran, direktur kepatuhan dan direktur umum mendapat Rp1.080.000.000.

Di jajaran pengawas, komisaris utama memperoleh Rp972.000.000 sedangkan dua komisaris lainnya masing-masing mendapat 874.800.000.

Baca Juga: Pentingkah Mobil Dinas Baru bagi Kepala Daerah

Berdasarkan sejumlah fakta, realisasi pemberian remunerasi varia­bel yang dilakukan, sama sekali tidak sepadan dengan kinerja mere­ka dan bertentangan dengan rekomendasi Otoritas Jasa Keuangan, serta melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Rekomendasi OJK secara tegas menyatakan bahwa pemberian remunerasi variabel harus dilakukan setelah penetapan laporan keuangan setelah diaudit oleh kantor akuntan publik, baik laporan keuangan semester maupun tahunan. Selain itu, remunerasi variabel tersebut, semestinya mendapat persetujuan dalam rapat umum pemegang saham, sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Bank ini harus diselamatkan dari para pemimpin yang hanya memikirkan diri sendiri, sebab bank ini bukan milik mereka bukan milik pemerintahan saat ini tapi milik masyarakat Maluku dan Maluku Utara, yang mestinya dikelola dengan baik untuk kemaslahatan semua masyarakat.

Artinya remunerasi atau bonus tersebut harus juga ditetapkan besarannya dalam RUPS atas dasar perhitungan dalam laporan keuangan yang telah didahului dengan proses audit oleh akuntan publik, namun jika faktanya tidak seperti itu maka tentu pemberian remunerasi tersebut merupakan bagian dari ketakutan.

Pemberian bonus yang begitu besar itu juga merugikan keuangan daerah. Sebab sebagai bank milik daerah, kewajiban untuk berkembang maju dan besar itu wajib. Namun kenyataannya Bank Maluku-Malut tidak lagi sehat, alasannya ialah standar modal suatu bank harus Rp 3 triliun sementara Bank Maluku hanya 1 triliunan lebih.

Bank Maluku-Malut tidak semestinya menerima bonus lebih dahulu, tetapi mempertanggung jawabkan kerja mereka kepada masyarakat Maluku.

Selain itu, emberian bonus harus juga memperhatikan kondisi Bank Maluku-Malut termasuk aspek keadilan antara direksi, komisaris dan juga karyawan yang selama ini menjadi garda terdepan capaian kinerja perbankan.

Karenanya harus ada evaluasi yang dilakukan terhadap direksi yang mendapatkan bonus jumbo tersebut untuk melihat apakah bonus yang diterima sesuai dengan kinerja selama tahun 2024 apalagi persoalan KUB untuk menyelamatkan Bank Maluku-Malut dari persoalan modal inti Rp3 trilun saja nyaris tidak tercapai.

Bahkan jika ditemukan adanya ketidakberesan dalam pemberian bonus jumbo tersebut, harus dilakukan pergantian atau pencopotan terhadap direksi dan komisaris sebagai upaya menyelamatkan bank dari persoalan tersebut.

Langkah pencopotan terhadap direksi dan komisaris dianggap sebagai solusi utama untuk menyelamatkan bank milik daerah dari kerusakan yang lebih parah.

Karena bonus direksi dan komisaris dengan nilai fantastis, dinilai tidak tepat dan sebanding dengan kinerja mereka yang selama ini diklaim mentereng.

Olehnya, Gubernur Maluku terpilih Hendrik Lewerissa dituntut untuk melakukan tindakan cerdas dan tepat untuk menyelamatkan Bank Maluku-Malut dari keterpurukan.

Prioritas utama adalah pergantian terhadap setiap pejabat Bank Maluku-Malut yang berdasarkan penilaian tidak bekerja dengan baik dan maksimal. (*)