KESEHATAN masyarakat merupakan salah satu pilar ketahanan negara. Tujuan kesehatan masyarakat ialah meningkatkan derajat kesehatan secara komprehensif melalui pendekatan yang berbasis bukan hanya individu, melainkan juga keseluruhan populasi. Dengan peningkatan kondisi ekonomi dan kesejahteraan, tidak dimungkiri akses terhadap layanan kesehatan menjadi kebutuhan primer. Salah satu tujuan SDGs dalam aspek kesehatan tertera dalam upaya menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kese­jahteraan bagi semua orang di segala usia.

Indonesia sebagai negara berkembang mem­punyai peta demografi kesehatan yang unik. Tidak diungkiri bahwa keberadaan BPJS mengubah pola layanan dengan memberikan akses kepada masyarakat semua lapisan. Tantangan yang baru dimiliki ialah bagaimana menyeimbangkan budget nasional antara supply dan demand.

Pada saat ini, permintaan akan layanan kesehatan yang baik meningkat, kebutuhan akan akses layanan yang dasar sampai subspesialistik sangat terasa. Peran dokter secara luas, mulai edukasi, pencegahan, deteksi dini, diagnostik dan terapi yang efektif, hingga paliatif, sangat tidak mungkin dicapai tanpa didesain secara sistematik yang baik.

Peran tenaga kerja kesehatan lain akan sangat menunjang kualitas layanan. Namun, tanpa keberadaan dokter baik secara kuantitas maupun kualitas di penjuru Indonesia, akan terjadi disparitas yang menjadikan persepsi pelayanan kesehatan di Indonesia tidak terstandardisasi dengan baik.

Seperti diketahui, sekarang dibutuhkan tambahan lebih dari 120 ribu dokter untuk memenuhi rasio yang wajar. Sementara itu, dengan penambahan 10 ribu dokter per tahun, diperkirakan kecepatan demand kesehatan akan lebih tinggi ketimbang supply dokter yang ada dan ditambah dengan rasio distribusi dokter yang tidak merata selama ini.

Baca Juga: Drama Nasib Honorer Pasca UU ASN

Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya minat dokter untuk mengabdi di daerah, khususnya daerah terpencil. Selain faktor remunerasi, ketersediaan alat dan fasilitas masih menjadi salah satu alasan yang sering dikeluhkan oleh profesi dokter.

Transformasi kesehatan yang dilakukan oleh Kementerian kesehatan ialah langkah yang sangat progresif dengan menyebarkan dokter umum, spesialis, serta subspesialis pada rumah sakit yang dibangun dengan kualitas yang baik di daerah.

Penyebaran profesi dokter perlu mendapatkan perhatian terutama dari sisi sustainability. Pola penempatan sementara diharapkan bisa memenuhi kebutuhan saat ini. Namun, akan lebih baik bila para dokter yang bertugas di daerah mendapatkan nilai jual yang lebih dari fasyankes dan daerah di mana tenaga kerja kesehatan tersebut ditem­patkan.

Salah satu yang menjadi pemikiran untuk mengubah pola pikir para dokter ialah dengan menanamkan konsep pendidikan berbasis komunitas yang sudah diterapkan di dunia lebih dari 50 tahun.

Pendidikan kedokteran Indonesia telah mengalami evolusi yang cukup panjang. Pola pembelajaran yang berubah dari pola informatif menjadi formatif yang saat ini banyak diterapkan di Indonesia dengan model problem based learning. Pola pembelajaran transformasional meli­batkan atribut kepemimpinan dan menghasilkan agen perubahan, khususnya dalam kebutuhan masyarakat.

Implementasi dari pembelajaran transformasional dalam pendidikan kedokteran diterjemahkan dalam konsep longitudinal integrated clerkship (LIC). Seperti diketahui, umumnya pendidikan kedokteran dibagi menjadi praklinis dan klinis. Model tersebut menerapkan redesain dari pola rotasi blok pada pendidikan klinis yang umumnya berlaku.

LIC menerapkan pola integrasi dari seluruh bidang klinis di dalam setiap semester pembelajaran. Hal itu dapat diterapkan pada model academic health system seperti yang sudah ada di Indonesia. Rotasi yang terjadi di antara fasilitas layanan kesehatan memungkinkan untuk mahasiswa terpapar dengan variasi kasus yang berbeda-beda, tetapi relevan dalam kapasitas pendidikan klinis sebagai dokter umum.

POLA EDUKASI

Dokter akan terus dihadapkan pada perma­salahan yang berbeda-beda pada setiap pasien. Perbedaan demografi dan background sosial pasien juga akan menentukan pola edukasi, tata laksana dari diagnosis pasien. Kedalaman terhadap pengetahuan klinis berbasis komunitas akan memberikan pola pikir yang terbuka terhadap bagaimana layanan kedokteran itu dilakukan pada level primer.

Worley (2016) dalam pembahasannya mengenai longitudinal integrated clerkships (LIC) menekankan bahwa meskipun program itu berbasis komunitas, kedalaman paparan terhadap keilmuan spesialistik tetap terjaga.

Selain itu, mahasiswa yang menjalani program itu menunjukkan pola pikir yang berbeda, terutama dalam hal adaptasi terhadap konteks komunitas dan kemampuan integrasi multidisiplin dalam praktik.

Hal itu menjadi relevan dalam mendukung upaya pemerintah untuk mendistribusikan dokter secara lebih merata di seluruh wilayah, terutama di daerah yang membutuhkan layanan kesehatan primer. Program seperti LIC berpotensi menumbuhkan pola pikir yang lebih holistik dan memupuk minat yang kuat terhadap pelayanan berbasis komunitas yang sangat penting untuk keberhasilan sistem kesehatan yang berorientasi pada pemerataan.

Membangun model pendidikan klinis trans­formasional seperti LIC memerlukan dukungan dari banyak pihak. Karena harus diakui, perubahan yang fundamental akan banyak mendapatkan tantangan baik dari internal akademisi maupun stakeholder lain.

Walaupun demikian, AHS menyediakan infrastruktur yang memungkinkan integrasi antara pelayanan kesehatan, pendidikan kedokteran, dan penelitian sehingga memperkuat fondasi untuk menciptakan model pendidikan yang komprehensif, berkesinambungan, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Infrastruktur itu tidak hanya mempercepat adaptasi sistem pendidikan baru, tetapi juga membantu mengatasi tantangan dalam mewujudkan transformasi pendidikan kedokteran yang berbasis komunitas dan berorientasi pada pemerataan layanan kesehatan.

Dengan memiliki lulusan Fakultas Kedokteran yang berorientasi terhadap layanan komunitas, pemerintah akan lebih mudah membuat program yang menarik para dokter untuk memberikan kontribusi di daerah. Tentu hal itu tidak akan mengurangi kedalaman dan minat lulusan untuk lebih lanjut dalam pendidikan spesialis.

Hal yang perlu dipikirkan ialah bagaimana melihat layanan primer di daerah menjadi suatu pekerjaan yang menarik, menantang, dan di sisi lain mendapatkan remunerasi yang baik. Tentu itu memerlukan pemikiran dan policy yang matang serta menyeluruh.

Peningkatan dari jumlah spesialis keluarga dan kedokteran layanan primer (Sp-KKLP) ialah contoh untuk meningkatkan kedalaman dari ilmu dan kompetensi spesialistik di layanan primer. Negara seperti USA, UK, dan Australia telah menerapkan pendidikan spesialistik lanjutan untuk dokter keluarga. Ilmu klinis bidang rural sudah dikembangkan menjadi peminatan khusus.

Ada beberapa pekerjaan yang harus bisa dievaluasi remunerasi standar untuk dokter, dimulai dari saat internship, pendidikan spesialistik, dan standar minimal pendapatan dokter baik di kota besar maupun di daerah.

Insentif tambahan yang diberikan kepada preseptor klinis untuk program seperti LIC akan menjadi daya tarik tambahan. 150 ribu dokter umum yang ada sekarang mempunyai potensi untuk bisa terlibat dalam program pendidikan transformasional itu. Apalagi kemudahan untuk melakukan pelatihan bagi calon preseptor akan menjadikan proses tersebut sangat scalable.

Pendidikan kedokteran trans­for­masional berbasis komunitas, yaitu longitudinal integrated clerkships (LIC), merupakan langkah strategis untuk menghadapi tantangan distribusi dokter yang merata di Indonesia. Dengan dukungan infrastruktur academic health system (AHS), pola pendidikan itu dapat meningkatkan kompetensi dokter dalam layanan primer sekaligus menumbuhkan pola pikir holistik yang berbasis komunitas.

Melalui pendekatan itu, diharapkan kualitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia dapat lebih terstan­dar­disasi, mendukung keberlanjutan layanan, dan menarik minat dokter untuk mengabdi di daerah. Untuk itu, kolaborasi berbagai pihak, kebijakan yang kom­prehensif, serta insentif yang tepat bagi dokter dan preseptor menjadi kunci keberhasilan implementasi model pendidikan tersebut. (*)

oleh: Ivan Rizal Sini (Dekan Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor, Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Kolegium Kesehatan Indonesia)