Ditengah pengusutan kasus korupsi pembelian lahan di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) oleh Kejati Maluku, tiba-tiba muncul pembelaan terhadap Ferry Tanaya, pengusaha beken yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Pembelaan dilakukan pasca Ferry diumumkan sebagai tersangka oleh Kejati Maluku pada awal Juni lalu. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam surat penetapan Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020.

Selain Ferry, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan surat penetapan Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020. Lalu mengapa Ferry sampai terseret dalam kasus ini? Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa yang dibeli oleh PLN Wilayah Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt adalah milik Ferry.

Lahan itu hanya seharga Rp 36.000 per meter2. Namun diduga ada kongkalikong  antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan oknum BPN Kabupaten Buru untuk menggelembungkan harganya. Alhasil, uang negara sebesar Rp.6.401. 813.600 berhasil digerogoti.

Bukti mark up harga lahan juga diperkuat dengan hasil audit BPKP Maluku yang saat ini sudah di tangan Kejati Maluku.

Baca Juga: Virus Corona Semakin Sulit Diredam

Tak tanggung-tanggung Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa dijerat pasal berlapis, yaitu pasal  2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU Nomor  20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Eks Kepala PLN Cabang Namlea, Said Bin Thalib dan Karim Wamnebo tiba-tiba muncul ke publik, dan membela Ferry Tanaya. Said dan Karim mengaku lahan mereka juga turut dijual kepada PLN, bukan hanya lahan Ferry Tanaya, dan proses penjualan sudah sesuai aturan yang berlaku. Karena itu, keduanya menyesalkan penetapan Ferry sebagai tersangka.

Said dan Karim mengungkapkan, proses hingga pembayaran lahan oleh PLN turut melibatkan BPN dan Muspika Namlea. Keduanya menuding jaksa mengada-ngada dalam penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka. Malah, jaksa ditantang untuk membuktikan adanya korupsi dalam pembelian lahan itu. Kalau Ferry ditetapkan sebagai tersangka, lalu bagaimana dengan pihak lain yang saat itu juga ikut bersama dengan Ferry menjual lahan mereka?

Munculnya pembelaan dari Karim dan Said terhadap Ferry Tanaya menimbulkan tanda tanya. Mengapa baru sekarang pembelaan dilakukan saat Ferry sudah ditetapkan sebagai tersangka? Kasus pembelian lahan untuk pembangunan PLTG Namlea sudah diusut kurang lebih setahun. Mengapa tidak dari awal memasang badan membela Ferry?

Penegasan Kejati Maluku sudah sangat jelas dan terang menderang, kalau penetapan Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka sesuai bukti-bukti yang dikantongi penyidik. Jaksa sudah bekerja secara  profesional. Untuk sampai ke tahapan penetapan  tersangka sudah melalui  rangkaian penyidikan hingga diperoleh  bukti permulaan yang cukup, selanjutnya juga  telah melalui mekanisme ekspos atau gelar perkara yang dihadiri unsur pimpinan dan para jaksa senior. Karena itu, tak perlu ragu dengan kerja jaksa, apalagi dengan pembelaan kosong tanpa bukti.

Tak perlu membuang energi untuk melakukan pembelaan terhadap Ferry Tanaya di luar pengadilan. Status Ferry Tanaya sudah jelas. Hormati penyidikan yang sementara dilakukan Korp Adhyaksa. Jika memang keberatan dengan penetapan Ferry sebagai tersangka, silakan ajukan praperadilan. Kalau tidak, tunggu saja di pengadilan.

Kejati Maluku juga jangan menutup mata terhadap dugaan keterlibatan pihak PLN. Sebagai kuasa pengguna anggaran, tak masuk di akal sehat kalau tidak ada orang yang bertanggung jawab dari perusahaan berplat merah itu atas kerugian negara lebih dari enam miliar rupiah. Penegakan hukum harus adil, jangan memakai standar ganda. (*)