Pembangunan Fasilitas Pengelolaan Limbah Medis Ditolak Warga Suli
AMBON, Siwalimanews – Penolakan warga didasari berbagai pertimbangan serius, disamping minimnya sosialisasi yang semestinya dilakukan.
Masyarakat Negeri Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, menolak dengan tegas proyek pembangunan insinerator limbah bahan berbahaya dan beracun, atau disingkat B3.
Penolakan terhadap pembangunan fasilitas limbah B3 itu dilakukan lantaran proyek tersebut dinilai belum mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), karena proyek itu berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Alasan penolakan lainnya yakni karena lokasi proyek berada di daerah resapan air, disamping juga dekat dengan permukiman warga.
Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Suli, Simon Luhulima kepada wartawan di Ambon Kamis (21/10) mengatakan, pembangunan proyek itu dilakukan tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku kepada masyarakat.
Baca Juga: Polda Maluku Gelar Rakor Kesiapan Tour de Mollucas 2021“Ada beberapa alasan kenapa kami menolak pembangunan pengolahan limbah medis atau B3 itu. Kami warga Negeri Suli tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi pembangunan fasilitasi limbah medis B3 tersebut,” kata Luhulima.
Selain itu, kata Luhulima, lokasi pembangunan berdekatan dengan lokasi pembangunan kampus UKIM, pemukiman warga dan lokasi wisata Talaga Tihu dan juga kompleks Rindam TNI, disamping terdapat daerah resapan air.
Awalnya proyek pembangunan sudah dijalankan tapi masyarakat tidak mengetahui kalau proyek tersebut belum mengantongi AMDAL.
Di sisi lain, pada lokasi itu juga terdapat lahan minyak kayu putih dan berdekatan dengan hutan sagu milik desa.
“Jadi proyek pembangunan telah berjalan tapi masyarakat tidak pernah mengetahui AMDAL dari proyek itu. Kita semua masyarakat termasuk para tetua adat, ketua-ketua RT dan warga yang ada di perantauan hingga luar negeri menolak pembangunan proyek tersebut,” tegas Luhulima sembari menunjukkan dokumen tanda tangan penolakan dari warga.
Luhulima menyayangkan pernyataan Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Roy Siauta pada 11 Oktober bahwa yang menolak pembangunan proyek itu hanya segelintir warga.
“Kenyataanya kita semua masyarakat Suli baik di Suli maupun di perantauan 100 persen menolak pembangunan limbah medis tersebut. Kita punya bukti bukti penolakan melalui petisi penolakan. Ada petisi warga yang kurang lebih 4.000 orang, Negeri Suli negeri adat, ada penolakan juga dibuat tokoh-tokoh adat yakni kepala- kepala soa. Pernyataan Dinas LHK tanggal 24 Juli 2021 bahwa sosialisasi ke warga itu dihadiri ketua-ketua RT sekaligus menyetujui kegiatan pembangunan limbah medis, itu pembohongan publik. Faktanya ketua-ketua RT tidak terlibat dalam kegiatan sosialisasi dan mereka pun menolak,” beber Luhulima.
Ia juga mengungkapkan, pernyataan kadis bahwa masyarakat harus membuat dokumen kajian lingkungan sangatlah bertolak belakang dan sengaja memancing emosi warga Suli.
Pasalnya, dokumen lingkungan itu tidak seharusnya dibuat masyarakat.
“Aneh, koq kami disuruh buat dokumen UKL/UPL. Harusnya dokumen kajian lingkungan yang biasa disebut UKL dan UPL itu merupakan dokumen publik yang harus diberikan kepada kami masyarakat supaya kami mengetahuinya. Apakah betul mereka sudah buat dokumen tersebut. Sampai saat ini dinas lingkungan hidup tidak memberikan kepada kami yang namanya dokumen lingkungan itu,” tandas Luhulima.
Awalnya, lokasi pembangunan sesuai pengumuman tender LPSE Kementerian LHK berlokasi di Wayame dan bukan di Suli.
“Kita memiliki bukti bukti lokasi yang ada di Wayame. Dari sosialisasi yang kita ketemu di kantor Gubernur, dikatakan dinas bahwa di Wayame itu hanya wacana belum pembangunan padahal tendernya sudah keluar di Wayame. Dan pengusulan perubahan lokasi itu baru dibuat pada tanggal 9 Agustus dan ditanda tangani Wagub Maluku,” ungkapnya.
Sekretaris Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Suli Nataniel Lainsamputty menambahkan, persoalan pembangunan fasilitas limbah medis di Suli tidak sesuai tahapan dan cacat prosedur.
“Kenapa kami bilang cacat karena sesuai UU 32 Tahun 2009 maupun PP 22 tahun 2001 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa jenis usaha yang berisiko tinggi itu wajib mengantongi AMDAL,” ujar Nataniel.
Dia sangat menyesalkan pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku karena beralasan proyek pembangunan fasilitas limbah medis tanpa AMDAL tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat.
“Saat pertemuan di kantor Gubernur Maluku beberapa hari lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup mengatakan karena ada pendekatan kebijakan, ini tidak bisa. Terkait dengan pengelolaan limbah B3 ini sudah diatur jelas regulasinya,” kata Nataniel.
Menurutnya, dinas yang bertanggung jawab atas proyek tersebut harusnya paham bahwa proyek yang memiliki dampak risiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan maupun kesehatan masyarakat harus diperhatikan.
Tokoh masyarakat Suli, Jimmy Sitanala menyesalkan proses pentahapan proyek itu diabaikan oleh pemda melalui dinas lingkungan hidup.
“Kami sangat menyesalkan ini, dinas lingkungan hidup seharusnya memberi contoh kepada masyarakat bahwa proyek pemerintah itu harus mentaati apa yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah atau menteri terkait,” kata Sitanala.
Mantan Wakil Ketua DPRD Maluku Tengah ini mengaku, telah melayangkan surat penolakan secara resmi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Komisi IV DPR.
Ia menilai, Pemprov Maluku lewat Dinas Lingkungan Hidup sangat ceroboh dalam pembangunan proyek tersebut yang dilakukan tanpa prosedur dan mengabaikan aspek lingkungan.
“Apalagi ini proyek dari lingkungan hidip harusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup, kita masyarakat mendorong dan mengsuport tapi kita lihat semua aturan diabaikan, jadi kita tetap satu komitmen kita menolak,” tegasnya.
Proyek Urgen
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Roy Siauta mengaku, proyek pembangunan fasilitas limbah B3 merupakan kebutuhan yang urgen oleh poemerintah daerah.
Kepada Siwalima, Kamis (21/10) siang, Syauta mengatakan, lahirnya rencana kegiatan pembangunan insinerator B3, akibat dari situasi pandemi yang dihadapi negara ini. Karena pandemi Covid-19 merupakan bencana nasional non alam, terhadap proyek dimaksud negara harus hadir guna menangani bencana nasional tersebut.
Seluruh rumah sakit di Maluku sendiri katanya, sampai sekarang tidak memiliki insinerator. Pada waktu pandemi, Maluku khusus Kota Ambon kesulitan, olehnya mendorong pemerintah pusat untuk proyek pembangunan fasilitas limbah B3 harus ada di Ambon.
“Itu berarti ketika ada intervensi negara tentang rencana kegiatan apapun, bukan berarti meniadakan aturan, tapi mengesampingkan aturan. Karena ini bencana. Proyek ini hadir karena bencana nasional Covid-19. Otomtis aturan normatif tidak bisa dipakai saat ini. Dengan demikian ketika rencana pembangunan insinerator ini dibangun oleh pemerintah, sesuai dengan tugs dan fungsi, kementerian hanya menyediakan pembanguan alat dan kantornya, pemerintah daerah menyediakan lahan dan anggaran untuk operasional,” beber Siauta.
Dikatakan, kehadiran proyek ini sangat penting bagi warga di Maluku untuk menangani persoalan limbah medis.
“Masyarakat idak perlu khawatir karena alatnya ini sangat canggih dan ramah lingkungan, jadi tidak ada masalah,” yakinnya.
Soal kebijakan pembangunan fasilitas limbah B3 di Negeri Suli yang dilakukan tanpa mengantongi AMDAL terlebih dahulu itu terjadi lantaran situasi pandemi Covid-19.
“Jadi arahan kementerian ke kami nanti pada saat mau operasional baru bikin dokumen AMDAL,” ujar Siauta.
Proyek pembangunan fasilitas limbah B3 ini sendiri dianggarkan dari APBN senilai Rp 7,7 miliar. Dia mengklaim telah melakukan sosialisasi ke masyarakat namun karena situasi pandemi maka tidak semua warga saat itu datang.
“Untuk lokasinya memang betul disetujui oleh kementerian itu di Wayame, tapi setelah kita lakukan proses pembebasan lahan pemilik lahan meninggal dunia jadi kita dapat di Suli dan itu tanahnya jelas ada sertifikat,” katanya.
Ia berharap warga Negeri Suli memahami kondisi tersebut dan mendukung pembangunan fasilitas limbah B3. Karena fasilitas itu akan sangat berguna dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat di Maluku. Meskipun saat ini pembangunan proyek itu dihentikan lantaran aksi demo yang dilakukan warga Suli beberapa waktu lalu, namun Siauta berharap ada pengertian penuh dari warga setempat.
“Saat ini pembangunan dihentikan sementara setelah ada aksi protes dari warga, kita berharap semua bisa berjalan kembali,” imbuhnya.
Menyinggung soal pemindahan lokasi proyek dari yang sebelumnya di Wayame berpindah ke Suli, Siauta menjelaskan, saat peninjauan beberapa lokasi, kementerian menyetujui Wayame. Sayangnya saat hendak melakukan pembebasan lahan, pemilik lahan keburu meninggal dan tidak ada waris.
“Jadi ketika pemerintah daerah dalam hal ini dinas melakukan pembebesana, belum selesai pemilik lahan meninggal dunia dan tidak ada penerus. Berarti lokasi itu belum ditetapkan. Akhirnya cari lahan lain, meskipun di LPSE terdapat di Wayame. Kita dapat di Suli. Pihak kementerian minta harus ada surat dukungan. Karena waktu itu pak gubernur di Jakarta, maka pak wakil gubernur yang teken surat itu. Bukan berarti pak wakil merekomendasikan untuk lokasi itu pindah, bukan itu. Itu salah,” urainya.
Siauta juga klaim lahan di Suli itu tidak bermasalah. Lahan tersebut beres tinggal pembayaran saja karena klahan itu bersertifikat.
Penelitian GPM
Untuk diketahui, Gereja Protestan Maluku tidak tinggal diam terkait keberadaan proyek beresiko tinggi itu. Hal ini karena di lokasi proyek berdekatan dengan kampus UKIM.
Olehnya pihak GPM akan melakukan penelitian dengan melibatkan peneliti-peneliti dari Unpatti untuk meneliti sejauh mana efek dan akibat dari pembangunan proyek tersebut. Pemerintah Daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup juga menghormati keinginan GPM.
“Prinsipnya kita hormati dan masih menunggu GPM. Kita akan melakukan kerja ini dengan baik. GPM pada prinsipnya bukan kajian ilmiah tapi kajian umum saja berdasarkan laporan masyarakat,” kata Siauta.
Force Majeure
Pakar Lingkungan Hidup Unpatti, Abraham Tualessy menjelaskan, dalam kondisi force majeure, maka bisa saja proyek tersebut dijalankan, tanpa harus mengedepankan aturan-aturan normatif.
“Biasanya kalau dalam undang-undang lingkungan, dalam posisi force mejaure bisa. Artinya force mejaure itu dalam keadaan kebencanaan, kedaruratan dan kebutuhan mendesak itu bisa,” ungkap Tulalessy.
Hanya saja, menurutnya, yang menjadi persoalan apakah kondisi sekarang ini force mejaure atau tidak. Kalau force mejaure itu boleh dimungkin di dalam UU Lingkungan.
“Kalau keadaan kedaruratan, keadaan keperluan, keadaan kebencanaan, itu masuk dalam force mejaure. Kalau force mejaure itu bisa. Tapi tidak tahu itu penilaiannya seperti apa. Kebutuhan mendasar karena kondisi ya bisa,” katanya. (S-32)
Tinggalkan Balasan