MENGINTEGRASIKAN pemahaman dan kesadaran gender dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang mudah, terutama bagi dosen di sebuah lembaga pendidikan tinggi berbasis agama. Meskipun mengajar ialah salah satu kegiatan yang menyenangkan, berbagi menumbuhkan melek gender kepada mahasiswa ialah tantangan yang berat. Itu karena mahasiswa pada umumnya menganggap isu gender dan seksualitas ialah hal tabu. Ditambah lagi dengan konservatisme agama dan norma sosial budaya yang semakin menambah tantangan untuk membongkar pola pikir terkait dengan gender. Diperlukan strategi dan pendekatan untuk mengintegrasikan pemahaman gender dalam kelas, yang bertujuan meningkatkan kesadaran kritis mahasiswa khususnya dalam memandang gender dan seksualitas tidak hanya sebagai masalah biologis, tetapi juga masalah sosial, budaya, dan politik. Salah satu pendekatan pendidikan berbasis gender yang dapat diterapkan di kelas ialah melalui pedagogi feminis. Pedagogi feminis mengacu pada filosofi dan teori feminisme yang dipraktikkan di dalam kelas.

Pedagogi ini sangat cair, kaya, kreatif, dan berfo­kus pada perspektif gender untuk membongkar kekuasaan, mengubah kesadaran, membongkar penindasan, dan mempertanyakan konstruksi sosial berdasarkan maskulinitas dan feminitas.   Kesadaran gender di dunia pendidikan Kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dewasa ini telah mengalami transformasi lebih baik dari masa sebelumnya. Jika kita telusuri sejarah, sebelum berkembangnya pendidikan modern seperti sekarang, akses perempuan dalam dunia pendidi­kan ditentukan oleh otoritas institusi keagamaan.

Dalam sejarah agama-agama besar di dunia, perempuan jarang bahkan tidak pernah dilibatkan menjadi bagian dari struktur otoritas resmi dan menikmati akses istimewa terhadap pendidikan serta pengetahuan selayaknya laki-laki. Refleksi tentang pendidikan perempuan di beberapa tradisi agama besar, yaitu Hindu, Buddha, Islam, Yudaisme, dan Kristen menunjukkan adanya pengabaian perempuan terutama terkait dengan pembatasan akses pada kitab suci. Jika pun ada, akses mereka hanya dalam tataran pengetahuan yang bersifat informal, terutama pada tahapan awal, saat agama belum dilembagakan. Namun, dalam pendidikan formal ketika pengetahuan sakral ditransmisikan secara institusional, perempuan mengalami pengecualian, bahkan pengabaian. Tradisi itu memperlihatkan adanya dikotomi yang mencolok antara ruang privat dan ruang informal, ruang privat (ruang lingkup rumah dan keluarga) diperuntukkan perempuan, sedangkan ruang publik yang terkait dengan jabatan, otoritas, dan kekua­saan keagamaan diperuntukkan laki-laki. Selain itu, sejarah pendidikan di masa lalu menunjukkan bahwa pendidikan perempuan juga dipengaruhi perbedaan kelas.

Perempuan yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi lebih mudah memiliki akses ke pendidikan, terutama keterampilan membaca dan menulis, jika dibandingkan dengan perempuan dari kelas bawah. Adanya kesadaran kritis baru-baru ini telah membawa perempuan saat ini untuk terlibat dalam kritik feminis, terutama terhadap tradisi agama yang cenderung bias gender. Kesadaran gender ini berdampak besar pada akses perempuan ke pendidikan saat ini, yang telah berubah menjadi lebih baik daripada di masa lalu. Di Indonesia, kesadaran gender dalam pendidikan sudah mulai diarusutamakan. Sejak 2008, pemerintah Indonesia telah merumuskan kebijakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan melalui Permendiknas No 84 Tahun 2008. Upaya pengarusutamaan gender terus mendapat perhatian. Pada 2013 telah dilakukan upaya transformasi kebijakan dengan pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Hasil upaya ini menghasilkan tiga rekomendasi untuk pengem­bangan pengarusutamaan gender. Pertama, permendikbud dan agama mewajibkan seluruh direktorat jenderal (ditjen) untuk mengarusutama­kan kesetaraan gender dalam pendidikan di semua jenjang sekolah. Kedua, permendagri mewajibkan semua pemerintah daerah dan DPRD mengarusu­tamakan kesetaraan gender dalam pendidikan. Ketiga, permen tersebut mewajibkan seluruh kantor wilayah (kanwil) dan Kanwil Kemenag kabupaten/kota mengarusutamakan kesetaraan gender dalam pendidikan di setiap jenjang sekolah.

Pengarusutamaan gender merupakan komitmen nasional dan internasional yang bertujuan mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam semua aspek kehidupan sosial. Strategi pengarusutamaan gender diterapkan di bidang pendidikan untuk memastikan bahwa semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengembangkan potensinya dengan diberikan citra gender yang positif. Selain itu, pencerahan manusia, baik laki-laki maupun perempuan ialah melalui pendidikan.   Pedagogi feminis  Pedagogi feminis berfokus pada pemikiran kritis dan perubahan sosial. Unsur-unsur dasar berpikir kritis dalam pedagogi telah ada sejak Yunani kuno, seperti dalam pemikiran Socrates, Plato, dan pemikiran timur seperti Konfusianisme, filsafat modern Descartes, serta pemikiran Gramsci. Secara khusus, pedagogi feminis mengacu pada pedagogi kritis yang dipromosikan Paulo Freire (1970). Pedagogi adalah cara membimbing peserta didik yang bertujuan membebaskan yang tertindas, tidak berdaya, dan miskin. Secara khusus, pedagogi feminis menekankan lensa gender untuk membongkar kekuasaan, meningkatkan kesadaran, melihat penindasan, dan mengakhirinya.

Baca Juga: Desain Pembelajaran

Perhatian pedagogi feminis adalah konstruksi sosial yang didasarkan pada maskulinitas dan feminitas. Pedagogi feminis akan menjawab pertanyaan mendasar dari perspektif gender, antara lain apa yang kita ajarkan dan mengapa? Bagaimana kita mengajar dan mengapa? Akankah apa yang kita ajarkan berdampak pada siswa dan masyarakat? Menurut Arivia (2016), mengutip Peggy McIntosh, pedagogi feminis menawarkan model transformasi kurikulum melalui lima fase interaktif. Pertama, sejarah perempuan diabaikan yang artinya ranah pengetahuan ditentukan laki-laki sehingga siswa tidak mengakui kontribusi perempuan dalam sains. Fase kedua ialah upaya perbaikan fase pertama yang memunculkan karakter perempuan, tetapi dengan seleksi atau hanya keterikatan belaka. Fase ketiga, menuntut perubahan kurikulum dengan memunculkan isu pengabaian keterlibatan perempuan. Fase keempat, fase berpikir, yakni tidak melabeli perempuan sebagai korban, tetapi sebagai yang diberdayakan. Fase kelima, yaitu kurikulum perlu diredefinisi, direkonstruksi, dan inklusif terhadap kurikulum yang lebih mengandalkan pengalaman hidup yang berbeda dan peka terhadap sistem ras, kasta, gender, agama, dan asal geografis.

Pedagogi feminis dapat diterapkan di semua jenis dan jenjang pendidikan. Saya, misalnya, mengajar sastra dengan pedagogi feminis. Saya mendorong mahasiswa untuk berdiskusi dan menganalisis karya sastra secara kritis dengan perspektif feminisme agar tumbuh kesadaran gender di kelas, pengajar biologi dapat menjelaskan perbedaan fisiologis perempuan dan laki-laki, dan menekankan bahwa itu hanya perbedaan fisiologis, bukan perbedaan sosiologis, dan sebagainya. Pedagogi feminis dapat meningkatkan daya kritis peserta didik dan menumbuhkan kepekaan kesetaraan gender. Semoga. Oleh; Cut Novita Srikandi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara.