AMBON, Siwalimanews – Puluhan pedagang dan mahasiswa IAIN Am­bon melakukan aksi demo di Balai Kota Ambon, Jumat (12/6) mem­protes Perwali Nomor 16 Tahun 2020 yang dinilai diskminasi.

Mereka yang meng­atasnamakan Aliansi Mahasiswa Peduli Masyarakat ini mendatangi Balai Kota sekitar pukul 10.00 WIT, dipimpin Ikbal Kaplale, Presidium Mahasiswa IAIN.

Sejumlah spanduk mereka bawa, diantaranya bertuliskan, “Per­wali lindungi industri besar, kami hidup tapi dipaksakan untuk mati oleh Perwali Nomor 16 Tahun 2020.

Pendemo menolak pasal 23 poin A Perwali Nomor 16, yang me­negaskan, pasar rakyat dikhu­sus­kan bagi penjualan barang kebu­tuhan pokok tetap dibuka dengan pembatasan waktu operasional, pukul 05.30-16.00 WIT.

Mereka menilai, Pemkot Ambon tebang pilih. Perwali Nomor 16 melindungi industri besar, tetapi usaha kecil dipaksakan untuk mati.

Baca Juga: Bupati Malteng Bebaskan Biaya Perjalanan ke Luar Daerah

Setelah sekitar dua jam mela­kukan orasi di depan Balai Kota, sejumlah mahasiswa dan bebe­rapa pedagang diterima oleh Sekot AG Latuheru di ruang unit layanan administrasi.

Saat pertemuan itu, orator demo Jihad Toisuta kembali menegas­kan, Per­wali 16 terkesan melin­dungi in­dustri besar. Sebab peda­gang kaki lima diberi waktu ber­jualan dari pukul 05.30 WIT hingga 16.00 WIT. Se­men­tara gerai mode­rn diistimewakan.

“Alfamidi dan indomart sampai jam 9 malam, ini kan diskriminasi. Hapus saja pasal 22 dan 23 itu,” tegasnya.

Kordinator demo, Ikbal Laplale juga meminta Pemkot Ambon tidak tebang pilih. Perwali 16 harus me­ngikat semua pihak. “Kita mau aturan itu mengikat semua, jangan tebang pilih,” tegasnya.

Latifah Salatalohy, pedagang sayur mengaku resah dengan pem­batasan jam berjualan yang diatur oleh Pemkot Ambon. Ia rugi besar, sebab banyak sayur yang tidak laku harus dibuang, karena busuk.

“Kalau seandainya sayur ini tidak habis hari ini, berarti besok buang sudah tidak bisa jual lagi, sebab kita jualan hanya dari jam 05.30 sampai 16.00. Dengan berjualan ini katong bisa menghidupi katong punya anak-anak, tapi kalau sudah dibatasi seperti ini, bagaimana dengan katong punya anak-anak yang harus sekolah?,” tandas Latifah dengan dialeg Ambon.

Siti Marasabessy, pedagang  ikan juga mengeluhkan, sistem ganjil genap yang diberlakukan bagi angkot dan pembatasan jam ope­ra­sional pasar. Aturan yang dite­rapkan Pemkot Ambon membuat jualannya tidak laku.

“Beta punya ikan sudah tiga hari seng abis terjual, banyak yang sudah rusak, jadi tolong Bapak pertimbangkan lagi pembatasan jam jualan, aturan yang ada saat ini sangat merugikan kami peda­gang kecil,” ujarnya.

Salah satu rekannya meminta pemkot untuk memberikan tole­ransi bagi mereka untuk berjualan hingga pukul 18.00 WIT.

“Kalau bisa katong dikasi kelo­nggaran sampai jam 6 sore, supaya katong bisa dapat uang sadikit jua untuk katong makan hari-hari,” tandasya.

Selain itu dirinya meminta tim gugus tugas transparan soal data Covid-19. Berapa pedagang di Pa­sar Mardika yang meninggal, be­rapa yang positif dan alamat me­reka secara jelas. “Harus dijelas­kan supaya katong percaya,” tandasnya lagi.

Koordinator demo, Ikbal Kaplale kemudian menyerahkan dua tuntu­tan mereka kepada Sekot, yak­ni, pertama, minta agar Walikota Ambon mencabut Perwali Nomor 16 tahun 2020 tentang Pembata­san Kegiatan Masyarakat yang di­dalamnya mengatur waktu opera­sional tempat-tempat usaha dan moda transportasi. Kedua, walikota diminta untuk transparan dalam penanganan kasus Covid-19.

Merespons tuntun pedagang dan mahasiswa IAIN, Latuheru me­ngatakan, pihaknya akan mem­pelajari kembali dua poin tuntutan itu. “Kami terima poin tuntutan tersebut nanti kami akan pelajari lagi,” katanya.

Latuheru mengatakan, kebijakan yang dilakukan Pemkot Ambon untuk menjaga masyarakat agar tidak tertular Covid-19, mengingat Pasar Mardika merupakan tempat yang padat dan banyak aktifitas masyarakat yang dilakukan di tempat tersebut. “Mari kita jaga, jangan sampai tertular karena RS tidak cukup,” ujarnya.

Soal tiga gerai modern yang tetap beroperasi 24 jam, kata Latu­heru, pihaknya telah mempertim­bangkan dengan matang, sebelum aturan dibuat.

“Hanya tiga gerai tiap kecamatan yang 24 jam, kita membuat pera­turan dalam perwali juga kita su­dah pikir kedepannya akan seperti apa, ini untuk kebaikan kita ber­sama,” jelasnya.

Latuheru menegaskan, para pe­dagang diberi kelonggaran waktu hingga pukul 16.00 WIT. Setelah itu dagangan harus dibersihkan.

“Pokoknya bapak ibu sudah harus membersihkan barang da­gangnya jam 4, sampai setengah 5 itu selesai dan pulang,” tegasnya.

Usai mendengar penjelasan, mahasiswa dan pedagang mem­bu­barkan diri.

Minta Berlaku Adil

Anggota DPRD Provinsi Maluku daerah pemilihan Kota Ambon, Jantje Wenno meminta Pemkot Am­bon berlaku adil terhadap se­mua pedagang, sehingga tidak menimbulkan protes masyarakat.

“Pemkot harus berlaku adil dan tidak boleh diskriminatif,” tandas Wenno kepada Siwalima, Jumat (12/6).

Menurut Wenno, para pedagang atau penjual sembako d Pasar Mardika tidak perlu dibatasi jam berjualan, karena akan mempe­ngaruhi pendapatan mereka. Yang terpenting pemerintah secara te­gas menerapkan protokol kese­hatan secara ketat dan benar di pasar.

“Menurut saya tidak perlu diba­tasi jam berjualan, yang penting terapkan protokol secara tegas. Pedagang akan selesai berjualan dangan sendirinya, jika sudah tidak ada lagi pembeli pada waktu malam,” ujarnya.

Wenno juga meminta pemkot mengawasi operasional gerai modern seperti supermarket, indomaret dan alfamidi supaya agar taat terhadap protokol kesehatan.

Sementara Wakil Ketua DPRD Kota Ambon, Rustam Latupono meminta Pemkot Ambon perpanjang jam operasional pasar tradisional.

“Sebagai wakil rakyat kami me­minta Pemerintah Kota Ambon un­tuk memperpanjang waktu ope­ra­sional di pasar,” tandas Latupono.

Sejumlah ketentuan dalam Per­wali Nomor 16 Tahun  2020 tentang pembatasan kegiatan orang, ak­tivitas usaha dan moda tranportasi dalam penanganan Covid-19 perlu direvisi. Se­perti pembatasan jam operasional pedagang di Pasar Mardika.

“Ditetapkan jam 4 sore harus ditutup, perpanjang saja sampai jam 6 sore. Transportasi di batasi sam­pai jam 9 malam, sementara pe­da­gang sampai jam 4, harus diper­pan­jang sampai jam 6 supaya jualan pedagang bisa laku,” ujar Latupono.

Anggata Komisi III DPRD Kota Ambon, Ari Sahertian mengatakan, demo yang  dilakukan  para peda­gang di Balai Kota karena Perwali Nomor 16 tak bisa melihat realitas di Pasar Mardika. Dan aturan harus adil, jangan terkesan berpihak pada pengusaha besar.

“Jangan aturan yang dikeluarkan ada pengecualian, sehingga pedagang kecil menjadi resah,” ujarnya. (Mg-6/Mg-5Mg-4).