PERAN serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, public policy. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti, memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan mengadakan pendekatan  atau hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo, 2009).

Selama ini kegiatan partisipasi masyarkat masih dipahami sebagai upaya mobilitasi masyarakat untuk kepentingan Pemerintah atau Negara. Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta dalam menentukan kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah.

Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.

Di kebanyakan negara yang mempraktekkan demokrasi, pemilihan umumy yang dilaksanakan secara periodik dalam tenggang waktu tertentu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Pemilu dianggap sebagai indikator utama negara demokrasi, karena dalam Pemilu rakyat menggunakan suaranya, melaksanakan hak politiknya dan menentukan pilihannya secara langsung dan bebas.

Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Dalam berdemokrasi, keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara adalah sebuah keniscayaan (keharusan yang tidak bisa tidak). Rakyat menjadi factor yang sangat penting dalam tatanan demokrasi, karena demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat (teori bahwa negara ada sebagai manivestasi kehendak tuhan di muka bumi yang menjelma dalam aspirasi rakyat).

Baca Juga: Wujudkan Pemilu Berkualitas dan Berintegritas

Sesuatu yang tidak bisa dilepaskan ketika membahas tentang partisipasi adalah golput untuk menyebut bagi pemilih yang tidak menggunakan haknya. Fenomena golput ini ada di setiap pemilihan umum. Di hampir setiap pemilihan, jumlah golput akan dianggap sehat jika jumlah golput dalam kisaran angka 30 persen, meski banyak pemilihan jumlah golputnya melampaui titik itu, mencapai kisaran 40 persen bahkan ada yang lebih.

Meminjam tulisan muh Isnaini, Eep Saefulloh Fatah mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.

Bahwa partisipasi dipengaruhi oleh keakuratan data kependudukan dapat dilihat dalam metode pendaftaran pemilih. Keakuratan data penduduk dengan pendaftaran pemilih secara de facto menghasilkan partisipasi yang lebih baik, dibanding dengan metode de jure. (*)