MENYIASATI larang mudik pada 6-17 Mei 2021, dengan cara pulang kampung lebih dini, sudah diduga bakal menjadi pilihan sebagian masyarakat. Tidak sedikit masyarakat, terutama pekerja migran memutuskan mudik lebih awal, agar tidak terkena operasi pembatasan. Para pekerja informal dan kelompok migran marginal, mereka umumnya ialah masyarakat yang banyak memilih mencuri start. Alih-alih menaati imbauan pemerintah agar tidak mudik, sebagian pekerja sektor informal di kota-kota besar justru memilih pulang kampung lebih awal. Di berbagai stasiun kereta api dan terminal bus, arus kedatangan penumpang mulai tampak meningkat. Selain untuk menghindari larangan mudik, sebagian pekerja migran memilih mudik lebih awal karena peluang berusaha di kota terpukul imbas pandemi covid-19. Ketika daya beli masyarakat turun drastis dan omzet dagangan anjlok, sepertinya tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Tidak sedikit pekerja migran memilih pulang ke desa lebih cepat, agar tidak terjebak tinggal di kota tanpa dukungan penghasilan.

Risiko Menghadapi sebagian warga yang mudik dini sebelum larangan mudik diberlakukan, dari segi hukum tentu tidak bisa disalahkan. Adalah hak setiap warga masyarakat untuk pulang kampung. Sudah menjadi tradisi pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri, hampir semua masyarakat muslim akan memilih mudik untuk berjumpa dan bersilaturahim dengan orangtua dan kerabatnya. Namun, masalahnya kemudian apakah dengan nekat mudik lebih awal, lantas tidak ada risiko yang bakal ditanggung masyarakat atas keputusan yang mereka ambil. Berdasarkan pengalaman dan belajar dari apa yang terjadi di berbagai negara, risiko yang potensial terjadi ketika pergerakan mobilitas sosial warga meningkat di hari-hari libur, terutama Lebaran. Pertama, dengan memilih mudik lebih awal risiko yang pasti timbul terutama berkaitan dengan ancaman covid-19.

Tidak ada jaminan seseorang yang sudah melakukan swab test tidak reaktif atau bahkan sudah tes PCR hasilnya negatif kemudian aman atau tidak berisiko tertular covid-19 selama perjalanan pulang. Ketika seseorang mudik dan melewati tempat-tempat publik, bukan tidak mungkin mereka tertular covid-19, ketika sedang lengah dan apes. Dalam perjalanan pulang, bisa saja tanpa sadar orang-orang akan menyentuh bagian tertentu dari permukaan benda-benda yang mungkin sudah terkena droplet dari seseorang yang positif covid-19.

Berdasarkan pengalaman 2020, pada hari libur Idul Fitri, tercatat terjadi kenaikan angka kasus hingga 93% dan peningkatan fatality rate hingga 66%. Kalau berkaca dari pengalaman tahun lalu, bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi ketika banyak orang yang dalam perjalanan mudik tertular covid-19, kemudian pulang ke kampung halamannya. Seseorang yang tanpa sadar menjadi carrier covid-19 dan berpotensi menulari sanak famili termasuk orangtuanya di rumah. Kedua, berkaitan dengan ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada di desa-desa, yang sering kali masih belum memadai untuk penanganan covid-19. Bukan tidak mungkin, seseorang yang pulang kampung dan kemudian menulari para kerabatnya, dengan virus mematikan covid-19 harus menanggung risiko yang fatal akibat keterbatasan layanan kesehatan di daerah.

Di berbagai daerah, terutama di desa-desa yang terisolasi atau kampung-kampung pinggiran, biasanya di sana belum tersedia rumah sakit yang memadai, belum pula tersedia dokter yang cukup, dan belum tentu pula tersedia peralatan kesehatan yang baik sehingga ketika ada warga masyarakat yang tertular covid-19, penanganannya menjadi jauh dari maksimal.

Baca Juga: Kolaborasi atau Mati

Mudik virtual Mencegah arus mudik Lebaran dengan hanya mengandalkan operasi penyekatan dan tindakan tegas di lapangan, harus diakui bukanlah hal yang mudah. Dalam praktik, sangat mungkin yang terjadi ialah aksi kucing-kucingan yang membutuhkan stamina petugas yang luar biasa. Dengan keterbatasan jumlah SDM aparat di lapangan, kemungkinan terjadinya kebocoran dan pemanfaatan celah-celah yang ada niscaya sangat besar. Untuk memastikan agar kebijakan pelarangan arus mudik bisa berjalan efektif, selain operasi penyekatan, yang dibutuhkan tak pelak ialah pendekatan yang berbasis sosio-budaya. Berbeda dengan pendekatan legal-formal, yang lebih mengandalkan pada ancaman sanksi dan penindakan, pendekatan yang berbasis sosio-budaya lebih mengandalkan pada upaya rekayasa sosial (social engineering). Berharap warga tidak mudik Lebaran dan kemudian bersedia melakukan silaturahim secara daring dengan memanfaatkan teknologi informasi, di atas kertas memang tampak mudah dilakukan. Namun, meminta masyarakat sudah puas bersilaturahim hanya melalui media sosial atau telepon, niscaya tidak akan bisa terjadi jika tidak didukung konstruksi sosial atau wacana yang relevan.

Tidak mudik Lebaran ialah sebuah wacana baru. Berbeda dengan tradisi yang sudah puluhan tahun dilakukan, melarang warga mudik tentu akan dikonstruksi sebagai hal baru yang tidak lazim. Untuk membangun pemahaman baru tentang makna mudik, tentu tidak bisa dilakukan secara tekstual, tetapi harus dilakukan secara kontekstual. Memberi dan membangun makna baru tentang hakikat mudik di tahap awal, tentu yang perlu dilakukan ialah mendekonstruksi, untuk kemudian direkonstruksi meaning baru yang lebih sesuai keadaan. Orang yang bersedia berkorban tidak mudik secara fisik dan kemudian melakukan mudik secara virtual harus dikonstruksi sebagai wacana baru yang mem­banggakan.

Mudik virtual perlu dibangun sebagai wacana yang menjadi bagian dari identitas sosial baru masyarakat di era post-modern. Bersilaturahim via Zoom atau aplikasi lain, perlu dikonstruksi sebagai simbol dan gaya hidup (life style) baru yang membanggakan masyarakat post-modern. Lebih dari sekadar adu stamina antara petugas dan masyarakat, melarang masyarakat mudik Lebaran perlu menyediakan alternatif aktivitas lain yang tidak kalah menarik dan menjadi simbol gaya hidup yang membanggakan. (Rahma Sugihartati   , Dosen Isu Masyarakat Digital Prodi S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga)