FASE pertama gencatan senjata Israel-Hamas akan berakhir pada 1 Maret. Sementara itu, perundingan fase kedua belum juga dimulai. Fase kedua akan menentukan apakah perang Hamas dan Israel akan berlanjut atau berakhir secara permanen. Sesuai dengan kesepakatan gencatan senjata, dimediasi Mesir, Qatar, dan AS, pada fase kedua di hari ke-40, militer Israel (IDF) harus mereduksi kehadiran mereka di Gaza, dan pada hari ke-50 seluruh pasukan IDF sudah harus mengosongkan Gaza sebagai imbalan Hamas membebaskan seluruh sisa tawanan Israel.

Situasi menjadi genting karena para pejabat Israel menyatakan PM Israel Benjamin Netanyahu ogah perang diakhiri sebelum Hamas dikalahkan. Bahkan, Presiden AS Donald Trump, dalam wawancara dengan Fox News (22 Februari), mengungkapkan hal yang sama. Netanyahu berpegang pada proposal Trump untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi 2,3 juta penduduknya ke negara-negara Arab. Gagasan itu serta merta ditolak bangsa Arab sambil mempersiapkan kontraproposal bagi penyelesaian masalah Gaza pascaperang tanpa mengusir warga mereka.

PROPOSAL ARAB

Pada 21 Februari, para pemimpin negara Arab, Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Kuwait, berkumpul di Riyadh, Arab Saudi, untuk mendiskusikan propoasal yang disusun Mesir sebagai alternatif terhadap proposal Trump. Hasil diskusi itu akan dibawa ke KTT Liga Arab yang akan diselenggarakan di Kairo pada 4 Maret, untuk disahkan sebagai sikap bersama Arab.

Detail draf itu belum diketahui. Isu krusial terkait dengan masa depan Gaza ialah siapa yang akan membiayai rekonstruksinya, yang menurut asesmen Bank Dunia, Uni Eropa, dan UNDP akan menelan biaya tak kurang dari US$53 miliar.

Baca Juga: Bersama Maju: Membangun Komunitas Guru yang Kolaboratif

Pada tahap awal rekonstruksi selama tiga tahun warga Palestina tetap tinggal di Gaza di bawah tenda dan rumah yang bisa dipindah-pindahkan (mobile home). Biayanya sekitar US$20 miliar. Hamas setuju rekonstruksi dilakukan kontraktor AS dan Mesir. Sementara itu, yang mengambil alih Gaza ialah Otoritas Palestina (OP) berkedudukan di Tepi Barat yang didominasi faksi Fatah. Hamas cukup fleksibel dalam hal itu karena mereka tak keberatan Gaza dikelola para teknokrat Palestina atau entitas baru yang merupakan hasil kesepakatan orang Palestina dari semua faksi, bukan yang dipaksakan pihak luar.

Para pemimpin Arab cenderung memilih OP di bawah Presiden Mahmoud Abbas sebagai pengelola Gaza karena ia memiliki legitimasi internasional. OP dilahirkan Kesepakatan Oslo 1993 antara pemerintahan Partai Buruh Israel di bawah PM Yitzhak Rabin dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat.

Hamas juga tidak keberatan dengan ide itu. Toh, sejak 2014 Hamas mengakui Kesepakatan Oslo. Pada 2024 Hamas dan Fatah, bersama 12 organisasi Palestina lainnya, menandatangani kesepakatan pembentukan pemerintahan persatuan nasional sementara di Beijing.

Proposal Arab itu sejalan dengan apa yang diungkapkan Raja Abdullah II dari Yordania ketika bertemu Presiden Mesir Abdul Fattah el-Sisi sepulang dari AS. Abdullah menemui Trump segera setelah Trump melontarkan ide merelokasi warga Gaza ke Yordania dan Mesir. Konon Trump setuju warga Gaza tetap tinggal di tanah mereka dan mendukung gagasan two-state solution dengan imbalan Arab menormalisasi hubungan dengan Israel.

Butir terakhir itu senapas dengan Inisiatif Arab buatan Arab Saudi yang diadopsi KTT Liga Arab di Beirut, Libanon, pada 2002. Lebih luas lagi, Inisiatif Arab menawarkan perdamaian komprehensif dengan syarat Israel mundur dari seluruh tanah Arab sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB.

Namun, Netanyahu menolak draf proposal Mesir itu karena alasan berikut. Pertama, Israel menolak eksistensi OP guna menguburkan Kesepakatan Oslo yang memproyeksikan Palestina akan memperoleh negara melalui perundingan langsung dengan Israel di bawah pengawasan kuartet, yaitu AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB. Pada Juli silam, mayoritas anggota parlemen Israel (Knesset) menolak two-state solution.

Kedua, mengosongkan Gaza dari warga Palestina untuk diisi warga Yahudi telah lama menjadi cita-cita Zionis. Tak mengherankan proposal Trump disambut gembira partai-partai sayap kanan dalam pemerintahan Netanyahu.

Ketiga, selama Hamas masih eksis, entitas Palestina mana pun yang akan mengambil alih Gaza akan tetap berada dalam kendali kelompok islamis itu. Dengan begitu, Hamas akan selamanya menjadi ancaman bagi Israel. Terlebih, keberlanjutan eksistensi Hamas menjadi simbol kekalahan Israel yang menghancurkan reputasi mereka sebagai kekuatan militer terkuat di Timur Tengah. Karena itu, proposal Trump yang akan melenyapkan Hamas dilihat sebagai solusi yang masuk akal meskipun seluruh negara di dunia dan lembaga-lembaga hak asasi internasional melihatnya sebagai bentuk ethnic cleansing.

Keempat, proposal Arab berpotensi meruntuhkan pemerintahan Netanyahu, yang selanjutnya akan mengakhiri karier politiknya. Itulah alasan mengapa Netanyahu tak ingin maju ke fase kedua gencatan senjata. Sebaliknya, ia terus memprovokasi Hamas untuk mundur dari kesepakatan dengan melanggar berbagai syarat kesepakatan gencatan senjata. Di antaranya, menolak membebaskan 600-an tahanan Palestina setelah Hamas membebaskan tawanan Israel dan masih menyerang warga sipil di Gaza. Pada saat bersamaan, operasi IDF di Tepi Barat yang menyerupai genosida di Gaza terus dilancarkan untuk mendelegitimasi OP.

TRUMP DAN MBS

Bagaimanapun, posisi Israel sangat bergantung pada sikap Trump. Apakah ia akan menerima proposal final Arab yang akan disampaikan pada 4 Maret? Jika kita melihat kesatuan sikap Arab yang konsisten mendukung two-state solution dengan menolak proposal Trump, sulit membayangkan Trump akan tunduk pada kehendak Netanyahu.

Akibat dukungan tanpa reserve AS terhadap genosida Israel di Gaza, pengaruh AS di kawasan merosot. Bila Trump menjatuhkan sanksi terhadap Mesir dan Yordania yang bergantung pada bantuan militer dan ekonomi AS, Tiongkok khususnya akan dengan senang hati bersedia menggantikan posisi AS.

Sebaliknya, sanksi AS justru memperkuat posisi El-Sisi dan Abdullah di dalam negeri. Kedua negara yang sudah berdamai dengan Israel itu justru sangat strategis bagi kepentingan hegemoni AS di kawasan dan sebagai penjaga keamanan Israel bagi masuknya senjata dari Yordania dan Mesir ke kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Tepi Barat dan Gaza.

Tahun lalu, Yordania ikut membantu Israel menjatuhkan ratusan drone dan rudal yang diluncurkan Iran ke Israel. Di negara itu juga terdapat pangkalan militer AS. Sementara itu, Mesir mengontrol Terusan Suez, jalur maritim yang memfa­silitasi 15% perdagangan dunia.

Di luar Tiongkok, negara-negara Arab Teluk yang kaya siap menggelontorkan dana ke Kairo dan Amman. Terlebih, sikap Arab Saudi di bawah penguasa de facto Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) menjadi game changer. Baru-baru ini MBS menginvestasikan US$600 miliar di AS. MBS juga berhasil menyeimbangkan hubungan Saudi dengan Rusia dan Tiongkok.

Kerja sama yang kuat Rusia-Saudi dalam OPEC Plus terlihat dari penolakan Saudi atas desakan AS untuk menurunkan harga minyak dunia. Kerja sama dengan Tiongkok, importir terbesar minyak Saudi, menjadi strategis terkait dengan visi Arab Saudi 2030.

Pentingnya Saudi bagi Trump terlihat dari lawatan luar negeri pertama Trump ke Riyadh di masa periode pertama pemerintahannya (2017-2021). Sebelum Trump, tak ada presiden AS mengunjungi Saudi sebagai lawatan luar negeri pertama mereka. Kali ini Trump juga akan mengunjungi Saudi dalam lawatan pertamanya ke luar negeri. Mungkin dalam keperluan menemui Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membicarakan pengakhiran perang Rusia-Ukraina. Pertemuan awal di antara pejabat kedua negara untuk isu yang sama pun dilakukan di Riyadh. Dus, tidak ada rationale politik bagi Trump untuk menolak proposal Arab.

Bagaimanapun, terkait dengan kepentingan kekuasaan Netanyahu dan cita-cita Zionisme melenyapkan Palestina sebagai bangsa, bukan tidak mungkin Netanyahu akan menggagalkan perundingan fase kedua. Kalau itu terjadi dan Trump secara bodoh mendukungnya, Timteng akan bergolak. Perang itu sendiri tak dikehendaki mayoritas publik Israel dan AS sesuai dengan polling terakhir.

Dengan asumsi bahwa Trump ialah pemimpin yang rasional dan ingin harga minyak dunia turun untuk meningkatkan kinerja industri AS, jalan aman untuk menjaga kepentingan AS di kawasan ialah berkompromi dengan Arab. Artinya, menerima two-state solution.

Langkah berikutnya ialah Israel mundur dari Golan milik Suriah dan lima lokasi strategis milik Libanon. Gagasan itu memang berpotensi memecah belah elite dan publik Israel. Namun, konsesi berupa normalisasi hubungan seluruh negara Arab dengan Israel dan membuat pakta militer dengan mereka dapat menjadi jaminan kelangsungan hidup Israel.

Kendati tidak mudah, itu jalan paling realistis untuk mengintegrasikan Israel dengan Timteng. Melanjutkan perang malah terlihat sebagai ide yang jahil dan mahal, yang semakin jauh menghancurkan reputasi Israel tanpa menjanjikan kemenangan atas Hamas. (*) oleh: Smith Alhadar (Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)