TAHUN 2022, barangkali menjadi salah satu tahun yang sulit terlupakan dalam konteks agenda reformasi Polri. Pada tahun 2022 ini, kinerja institusi ataupun perilaku sejumlah oknum dan/atau anggota kepolisian benar-benar mendapatkan sorotan masif dari publik melalui kasus-kasus yang silih berganti terjadi. Misalnya, belum selesai sorotan terhadap kasus penembakan Brigadir J yang diskenariokan FS, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri, dan mengakibatkan puluhan polisi diperiksa karena diduga melanggar kode etik dan profesi, kemudian kasus lain muncul.

Dampak dan atensi publik nasional atas kasus FS ini, kembali mengetuk kesadaran kita bersama, baik elemen pemerintahan maupun masyarakat sipil, terkait urgensi menata kembali agenda reformasi Polri. Berdasarkan hasil sejumlah survei, kasus ini juga berdampak signifikan terhadap citra, dan kepercayaan publik terhadap kinerja institusi Polri.

Akan tetapi, di tengah serangkaian tindakan dalam rangka menata kembali agenda reformasi Polri telah dilakukan, termasuk yang dilakukan internal Polri, seperti pemetaan masalah, dialog publik, menghim­pun masukan publik, ahli, dan stakeholder lainnya terkait reformasi Polri, peristiwa-peristiwa berikutnya silih berganti muncul, yakni Tragedi Kanjuruhan.

Kinerja kepolisian juga mendapat sorotan massif dalam tragedi Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober lalu, yang menimbulkan ratusan korban jiwa. Bahkan mendapatkan atensi internasional. Dalam tragedi itu, penanganan kerusuhan oleh aparat keamanan menjadi sorotan utama. Bukan hanya tindakan kekerasan, sebagaimana terlihat dalam banyak video yang beredar. Tetapi juga, penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa. Padahal, dalam aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19 b, penggunaan gas untuk mengendalikan massa dilarang.

SETARA Institute, dalam siaran persnya (2/10) menyatakan bahwa penembakan gas air mata juga memperlihatkan lemahnya pemahaman situasi dan kondisi oleh aparat. Pertim­ba­ngan kuantitas penonton, kebe­radaan perempuan dan anak-anak, variasi usia penonton, hingga terbatas dan/atau sulitnya akses ke luar tribune penonton/stadion diduga nihil dalam pengambilan tindakan tersebut. Akibatnya, banyak penonton yang berdesakan ke luar, sesak na­pas, pingsan, serta terinjak-injak untuk mencari jalan ke luar.

Baca Juga: Mengawal Integritas Pemilu 2024

Tak berselang lama, lagi-lagi, kinerja kepolisian mendapat so­rotan atas kasus lainnya. Dike­tahui telah terjadi dugaan peng­aniayaan, dan tindakan dehuma­nisasi terhadap seorang maha­siswa, yang diduga dilakukan 4 oknum anggota Polres Halma­hera Utara. Mahasiswa tersebut, menjadi korban penganiayaan setelah mengunggah ilustrasi di media sosial, sebagai kritik terhadap kinerja kepolisian saat mengamankan massa yang menggelar demonstrasi kenai­kan harga BBM.

Kemunculan peristiwa-peris­tiwa itu, di tengah upaya evaluasi pascakasus FS bukan hanya semakin memperlihatkan urgen­si reformasi Polri. Tetapi juga, potret gap yang menganga antara upaya-upaya yang dilakukan dan kasus yang terus terjadi. Pertanyaan mendasarnya, apakah upaya reformasi Polri ini tidak/belum terinternalisasi secara holistik hingga ke level bawah, baik dalam struktur institusi (Polda, Polres, dan Polsek) maupun jabatan (perwira, bintara, dan tamtama)?

Jika melihat beragam kasus yang terjadi, bahkan sebelum kasus FS mencuat, internalisasi reformasi Polri tersebut memang terlihat belum maksimal. Di penghujung tahun 2021 misalnya, sejumlah persoalan yang menyangkut institusi dan/atau angggota Polri juga mendapat sorotan serius dari masyarakat luas. Sehingga, memunculkan tagar satu hari satu oknum (#satuharisatuoknum) dan tagar percuma lapor Polisi (#PercumaLaporPolisi).

Dengan kondisi itu, jika internalisasi itu belum terlaksana secara holistik, maka upaya reformasi Polri tersebut akan terus menjadi upaya tanpa ujung. Sebab, sama seperti pascakasus FS, kasus-kasus yang mencerminkan degradasi reformasi Polri itu, terjadi bersamaan dengan upaya reformasi Polri yang kembali di tata pasca-kasus FS. Selain itu, reformasi Polri juga hanya menjadi agenda pada level pusat, bukan daerah.

Quo Vadis?

Pada dasarnya, institusi Polri tidak kekurangan gui­deline untuk melakukan pengarusutamaan reformasi Polri, baik dari sisi regulasi maupun inistiatif yang dilakukan. Dalam konteks regulasi, selain UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menjadi salah satu pondasi awal reformasi Polri, Polri pun juga telah me­miliki sejumlah regulasi internal yang dapat menun­jang reformasi tersebut, terutama secara internal.

Sebut saja di antaranya, seperti Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Peraturan Kapolri No 11 Tahun 2014 Tentang Pengawasan Operasi Kepolisian, Peraturan Kapolri No 2 Tahun 2019 Tentang Penindakan Huru-Hara, serta peraturan internal lainnya perihal kode etik, dan pengendalian senjata.

Selain itu, inisiatif-inisiatif yang diluncurkan oleh Kapolri pun, sebenarnya juga menjadi potret upaya akselerasi reformasi itu, dengan regulasi menjadi penopangnya. Misalnya, program Hoegeng Awards 2022 bagi anggota Polri yang dianggap memiliki jiwa keteladanan seperti Polisi Hoegeng. Inisiatif-inisiatif seperti ini, menjadi bentuk-bentuk pendekatan kultural dalam upaya reformasi Polri, serta menjadi pengingat tugas kepolisian untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

Dalam acara Hoegeng Awards 2022 (1/7) tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit bahkan telah memastikan, bahwa Polri berkomitmen membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan kritik. Menurut Kapolri, kritik masyarakat berguna, agar institusi Polri terus melakukan perbaikan, serta merupakan energi untuk Polri terus melakukan perbaikan. Merujuk komitmen Kapolri terhadap kritikan itu, seharusnya kejadian dugaan penganiayaan oleh 4 anggota Polres Halmahera Utara, maupun kasus serupa lainnya, tidak pernah terjadi.

Namun, lagi-lagi ini memper­lihatkan sisi lain agenda refor­masi Polri, yakni internalisasi spirit, komitmen, serta agenda reformasi Polri terhadap seluruh aparat kepolisian di Indonesia. Dengan kondisi demikian, maka masing-masing kepala kepo­lisian di daerah (Polda, Polres, dan Polsek) memegang tang­gung jawab utuh untuk ak­selerasi itu. Untuk memas­tikan kinerja terlaksana dengan baik, bukan hanya pemberian reward terhadap pencapaian prestasi. Tetapi, juga pemberian punishment jika kepala kepolisian di daerah itu tidak mampu memastikan perilaku baik anggotanya.

Lebih lanjut, dalih bahwa perilaku tersebut hanyalah oknum, justru akan memicu kegerahan dan ketidakpercayaan publik. Sebab, meskipun terdapat sanksi atas perilaku demikian, tetapi dalih hanya oknum seakan mencerminkan upaya pejabat Polri untuk menihilkan, atau tidak mengakui bahwa hal itu merupakan realitas yang terjadi di sebagian anggota kepolisian. Dengan anggapan itu hanya oknum, maka potensi yang terjadi adalah minimnya evaluasi. Sebab, dengan memberi sanksi kepada yang bersangkutan, maka persoalan dianggap selesai. Oleh: Ikhsan Yosarie
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute (*)