Merawat Keseimbangan Hidup
DI masa pandemi, banyak keluhan dari orang tua dan guru. Orangtua merasa tidak cukup memiliki bekal ‘ilmu keguruan’ ketika harus mendampingi belajar putra-putrinya di rumah. Adapun guru, dengan literasi digital kurang memadai, gagap ketika dipaksa melaksanakan pembelalaran daring. Pengalaman penulis saat berinteraksi dengan mereka dalam berbagai kesempatan, harapannya cuma satu; semoga pandemi segera berakhir dan proses belajar kembali normal di sekolah. Terasa sekali orangtua seperti sudah kelelahan mendampingi belajar anak di rumah. Di sisi lain, guru belum dapat menikmati pembelajaran daring dengan sepenuh hati.
Generasi ‘kolonial’ ini kelihatan belum mampu secara total memasuki era digital. Pembelajaran daring, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, lebih dirasakan sebagai beban. Bukan sebagai kesempatan untuk dapat secara merdeka bereksplorasi mengembangkan diri.
Gangguan keseimbangan Lebih setahun ini orangtua dan guru menghadapi dilema yang tidak mudah. Di satu sisi tuntutan pekerjaan semakin berat karena pandemi, pada sisi lain sebagai orangtua mereka harus memosisikan diri sebagai ‘guru’ bagi putra-putrinya sendiri di rumah. Belajar dari rumah telah mengguncangkan work life balance banyak keluarga. Penelitian menunjukkan, dalam situasi normal, 60% keluarga gagal menjaga keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi-keluarga.
Di masa pandemi, diperkirakan angka ini akan meningkat tajam. Keseimbangan hidup bagi seorang pekerja, dalam kajian psikologi, disebut work life balance. Menurut Singh dan Khanna (2011), work life balance adalah konsep luas yang berkaitan dengan penetapan prioritas secara tepat antara pekerjaan (karier serta ambisi) pada satu sisi dan kehidupan (kebahagiaan, keluarga, waktu luang, dan pengembangan spiritual) pada sisi lain. Work life balance dapat pula didefinisikan sebagai cara seseorang menyeimbangkan antara pekerjaan, karier, ambisi, pencapaian target, dan kehidupan pribadi yang meliputi keluarga, waktu luang, dan kesenangan pribadi sehingga kehidupan akan dijalani dengan nyaman (Monika, Kaur, Amin & Malik, 2017).
Seorang pekerja dapat dikatakan memiliki work life balance ketika berada dalam kepuasan dan kebahagiaan, baik di tempat kerja maupun di luar tempat kerja tanpa adanya konflik satu dengan lainnya (Kumar & Krishnan, 2005). Dengan demikian, work life balance dapat dikatakan sebagai sebuah keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi; tidak semata-mata mengenai hubungan keluarga dan pekerjaan, tetapi juga merupakan pandangan luas atas adanya performa maksimal dan bagaimana bekerja secara cerdas tanpa mengesampingkan hubungan dengan orang lain.
Baca Juga: Menghadapi Tahun Ajaran BaruPenelitian yang dilakukan Cintantya dan Nurtjahjanti (2018) menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara work life balance dengan kesejahteraan subjektif pekerja. Ini berarti gangguan work life balance seseorang dapat mengganggu pula kesejahteran subjektifnya. Seseorang yang terbiasa bekerja di kantor-sekolah dan kemudian terpaksa bekerja di rumah, tentu memerlukan kemampuan yang lebih tinggi dalam menjaga keseimbangan hidup. Jika tidak, dikhawatirkan banyak keluarga menurun drastis kesejahteraan subjektifnya.
Untuk mengetahui seberapa baik work life balance seseorang, dapat dilihat dari komponen-komponen penyusunnya. Carter (2003) menyebut dimensi work life balance adalah (1) Time balance, yaitu keseimbangan waktu mengenai jumlah waktu yang diberikan kepada peran yang dimiliki tiap-tiap pekerja dalam bekerja di kantor dan waktu yang diberikan tiap pekerja kepada peran di luar kerja, yakni keluarga dan teman-teman di lingkungan sosialnya, (2) Involvement balance, keseimbangan keterlibatan secara psikologis, komitmen dalam peran masing-masing di lingkungan kerja maupun di luar kerja, yakni lingkungan pekerjaan, keluarga, dan sosial, (3) Satisfaction balance, keseimbangan kepuasan antara peran dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan.
Sementara itu, Fisher, Bulger, dan Smith (2009) memiliki pendapat berbeda. Dimensi work life balance adalah (1) WIPL (work interference with personal life); mengacu pada sejauh mana pekerjaan mengganggu kehidupan pribadi, misalnya kesulitan dalam mengatur pekerjaan dan urusan pribadi, (2) PLIW (personal life interference with work); mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi mengganggu pekerjaan, misalnya mempunyai masalah pribadi dan berdampak pada pekerjaan, (3) PLEW (personal life enhancement of work); mengacu pada sejauh mana kehidupan seseorang dalam meningkatkan performa kinerja, misalnya pribadi yang menyenangkan dan berdampak pada suasana hati saat bekerja, (4) WEPL (work enhancement of personal life); mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas dalam kehidupan pribadi, misalnya keterampilan yang diperoleh individu pada saat bekerja dan memanfaatkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Konflik dan fasilitasi Keharusan menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan keluarga merupakan tantangan tersulit yang dihadapi sebagian besar keluarga sekarang ini. Lebih-lebih di masa pandemi, jumlah pekerja yang berjuang untuk itu semakin meningkat.
Kemampuan individu untuk melaksanakan kedua tugas dan tanggung jawab mulia itu merupakan hal yang penting bagi kesuksesan karier, sekaligus kesuksesan keluarganya. Akan tetapi, jika tugas dan tanggung jawab yang dipikul dirasa terlalu berat, dapat menimbulkan stres pada individu yang bersangkutan. Stres kerja yang berkepanjangan akan menyebabkan seorang mengalami burnout.
Menurut Greenberg (2002), burnout adalah reaksi dari stres kerja baik secara psikologis, psikofisiologis, dan perilaku yang bersifat merugikan. Kelelahan ini memiliki gejala (1) berkurangnya selera humor (diminished sense of humor), (2) mengabaikan waktu istirahat (skipping rest and food breaks), (3) kerja terus-menerus (increased overtime and no vacation), (4) mengalami sakit secara fisik (increased physical complaints), (5) menarik diri dari lingkungan social (social withdrawal), (6) menurunnya kinerja (changed job performance), (7) menggunakan obat-obatan (self-medication), (8) mengubah kepribadian (internal changed). Memang, keterbatasan waktu dan sumber daya yang dimiliki memaksa seseorang untuk mengoptimalkan kreativitas untuk pandai-pandai menentukan prioritas dan melepas hal-hal yang kurang penting agar tidak mengaburkan peta jalan yang harus dilalui dalam meraih cita-cita. Usahakan tidak menggunakan pendekatan konflik. Selalu membenturkan kepentingan pribadi-keluarga dengan tuntutan pekerjaan.
Pilih pendekatan fasilitasi, yang berusaha selalu meletakkan kepentingan pribadi-keluarga dan tuntutan pekerjaan dalam semangat saling melangkapi, mendukung dan menguatkan. Jadikan rumah sebagai pusat belajar bersama. Pada saat yang sama, rumah dapat pula menjadi ‘kantor’ yang menyenangkan bagi penyelesaian tugas-tugas profesional. oleh: Khoiruddin Bashori Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma.
Tinggalkan Balasan