DRAF Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang diinisiasi pemerintah sejak awal telah menuai polemik. Publikasi naskah akademik RUU Sisdiknas dan draf RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 tidak meredakan polemik, justru mening­katkan kontroversi ketika tunjangan sertifikasi guru dan dosen dihapus. Puncaknya ialah penolakan Baleg DPR RI untuk membahas draf RUU Sisdiknas dalam Prolegnas Prioritas Perubahan 2022. Catatan-catatan kritis dari masyarakat perlu menjadi cermin bagi pemerintah untuk memperbaiki RUU Sisdiknas yang digagas. Keberadaan draf RUU Sisdiknas sebenarnya sudah diketahui publik sejak Januari 2022. Masyarakat tahu bahwa pemerintah berinisiatif mengubah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas melalui uji publik terbatas dan tertutup yang dilakukan pemerintah.

Proses perancangan RUU Sisdiknas seperti ini menuai polemik di masyarakat. Ada 10 catatan kritis RUU Sisdiknas yang perlu diperhatikan. Pertama, transparansi perancangan UU. Masyarakat menilai bahwa tahap perancangan dan perencanaan perubahan UU Sisdiknas tidak terbuka. Itu berbeda dengan proses perubahan dari UU Sisdiknas 1989 menjadi UU Sisdiknas 2003. Mendikbud saat itu membentuk Komite Pendidikan Nasional melalui surat keputusan resmi yang merancang dan melakukan sosialisasi serta dialog dengan para pemangku kepentingan pendidikan seluruh Indonesia. Ada diskusi terbuka, perdebatan wacana dan gagasan, bahkan ada berbagai macam unjuk rasa oleh masyarakat. Namun, hasil yang diperoleh akhirnya merupakan sintesis terbaik bagi transformasi pendidikan nasional. Sebaliknya, perancangan perubahan UU Sisdiknas 2003 tidak transparan, dilakukan di ruang-ruang tertutup, tidak terjadi proses diskusi dan dialog akademis argumentatif. Kedua, pelibatan publik bermakna. Masyarakat merasakan bahwa pelibatan publik bermakna tidak terjadi. Sejak ada uji publik Januari-April 2022, pelibatan publik sekadar formalitas. Pihak pemerintah sekadar memberikan semacam sosialisasi perubahan UU Sisdiknas tanpa ada diskusi, dialog, dan penelitian yang mendalam untuk menerima masukan dari para pemangku kepentingan pendidikan. Ketiga, integrasi atau mini omnibus law. Pendekatan perubahan UU Sisdiknas ini pada mulanya disebut sebagai semacam mini omnibus law pendidikan dengan mengintegrasikan tiga UU pendidikan, yaitu UU Pendidikan Tinggi, UU Sisdiknas, dan UU Guru dan Dosen.

Konsep omnibus law selama ini masih menim­bulkan masalah. Sementara itu, fakta yang ada dalam draf RUU Sisdiknas ialah bukan mini omnibus law, melainkan integrasi ketiga UU terkait pendidikan. Belakangan, pemerintah mengatakan pendekatannya bukan mini omnibus law, melainkan integrasi. Keempat, RUU Sisdiknas sebagai dokumen rahasia. Protes masyarakat sejak awal ialah ketertutupan dalam pembahasan. Tidak ada publikasi siapa nama orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas. Yang menjadi juru bicara selalu hanya pejabat di kementerian yang tidak berani membuka nama tim pendesain RUU Sisdiknas. Parahnya, draf RUU Sisdiknas dianggap sebagai dokumen rahasia sehingga publik sampai sebelum Agustus tidak dapat memperoleh naskah akademik dan draf RUU secara utuh melalui mekanisme keterbukaan publik. Padahal, tidak ada satu dasar pun dalam UU yang menyebutkan bahwa draf RUU Sisdiknas ialah dokumen rahasia. Kerahasiaan seperti ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada agenda-agenda tersembunyi di balik perubahan RUU Sisdiknas.

Lolos pengamatan publik Kelima, diam berarti setuju. Diprotes, baru berubah. Ketertutupan pembahasan RUU Sisdiknas ini diperkuat dengan mekanisme antiprotes yang sebenarnya jauh dari prinsip demokrasi. Faktanya ialah pembahasan internal jalan terus sejauh tidak ada protes dari masyarakat. Ketika ada protes dari masyarakat dan menjadi viral, barulah pemerintah sibuk memberikan penjelasan seperti kasus hilangnya frasa madrasah di dalam draf RUU Sisdiknas versi Januari 2022 yang beredar tidak resmi. Ketertutupan pembahasan selama ini telah menjadi mekanisme ampuh untuk lolos dari amatan publik dan media. Keenam, penguatan pendidikan berbasis masyarakat.

Penyelenggara pendidikan swasta sudah hadir mendidikkan anak-anak bangsa, bahkan sebelum kemerdekaan RI. Namun, RUU Sisdiknas ini dalam draf versi Januari 2022 bahkan sama sekali tidak membahas peranan masyarakat dalam penye­lenggaraan pendidikan. Setelah diprotes, peranan swasta mulai diatur di dalam draf versi April 2022. Namun, sampai dengan terbitnya draf RUU Sisdiknas versi Agustus, peranan masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan ini masih bermasalah, terutama karena proses kemitraan antara pemerintah dan swasta tidak dielaborasi dengan baik. Bahkan, ketika pasal tentang hak penyelenggara pendidikan swasta menarik dana dari masyarakat dihapus menimbulkan kekisruhan dalam pengelolaan pendidikan terkait dengan wajib belajar yang berpotensi lepasnya tanggung jawab negara dalam kebijakan wajib belajar. Ketujuh, komponen ekosistem penting malah tertinggal. Tantangan kemajuan teknologi digital justru tidak dibahas di dalam draf RUU Sisdiknas. Padahal, dalam UU Sisdiknas 2003 ada konsep pendidikan jarak jauh (PJJ) yang sudah sangat maju yang sekarang ini perlu dikembangkan lagi.

Baca Juga: Berbahasa Indonesia Dengan Kalimat Efektif

PJJ melalui transformasi pendidikan digital ke depan menjadi bagian fundamental dalam keseluruhan sisdiknas. Justru hal paling penting dan perlu diantisipasi ini malah tidak diatur di dalam RUU Sisdiknas. Kedelapan, reduksi tujuan dan fungsi pendidikan. Draf RUU Sisdiknas meredusir tujuan dan fungsi pendidikan pada kepentingan individual dan tidak meletakkan fungsi sisdiknas sebagai bagian sistem besar untuk mencapai tujuan besar berbangsa dan bernegara seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Ironisnya, tujuan pendidikan malah diredusir pada konsep pelajar Pancasila yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai fundamental hakiki dari sila-sila Pancasila. Ini terjadi karena memang konsep profil pelajar Pancasila tidak diturunkan langsung dari sila-sila Pancasila. Akibatnya, tujuan pendidikan nasional menjadi menyempit dan justru memiskinkan nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri. Kesembilan, kurikulum tidak visioner. Draf RUU Sisdiknas tidak memiliki paradigma kurikulum yang visioner, tetapi sekadar menurunkan konsep-konsep Kurikulum Merdeka.

Bisa dikatakan perubahan kurikulum dalam draf RUU hanya melegitimasi konsep-konsep Kurikulum Merdeka yang secara akademik masih bisa dipertanya­kan dan secara praktik pun masih bermasalah. Lebih dari itu, prinsip-prinsip dasar pengem­bangan kurikulum yang harusnya didesain bagi transformasi pendidikan pada masa depan justru tidak dielaborasi. UU Sisdiknas 2003 jelas menyebut­kan dengan lebih baik argumen­tasi dan alasan perubahan kurikulum disertai prinsip-prinsip pengembangan yang lebih jelas seperti prinsip diversifikasi. Tentu diversifikasi berdasarkan kondisi daerah ialah tantangan nyata tahun itu. Namun, sekarang ini tantangan semakin besar melalui kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang terdiversifikasi sudah tidak memadai lain. Untuk itu, perlu dikembangkan prinsip pengem­bangan kurikulum yang ter­diferensiasi karena ke depan akan semakin terindividualisasi atau terpersonalisasi. Untuk itu, sistem pendidikan perlu ditata dan diarahkan ke kebutuhan yang seperti ini. Kesepuluh, sistem pendidikan nasional belum inklusif.

Bukti bahwa sistem pendidikan nasional belum inklusif ialah masih adanya pemisahan antara sekolah reguler, sekolah inklusi (satuan penyelenggara pendi­dikan inklusi), dan pendidikan khusus (sekolah luar biasa). Pemisahan dan kate­gorisasi ini menunjukkan bahwa sisdiknas kita masih menganggap bahwa para pe­nyandang disabilitas ditempatkan dalam pendidikan khusus. Sementara itu, integrasi ke sekolah umum hanya dila­kukan melalui kebijakan ter­fragmentasi dan sektoral melalui konsep sekolah inklusi. Ini pun karena dipaksa, tidak diper­siapkan dengan baik. Akibatnya, justru layanan pen­didikan untuk anak-anak berke­butuhan khusus dan pe­nyandang disabilitas belum terla­yani dengan baik di sekolah inklusi.

Sepuluh catatan kritis RUU Sisdiknas ini cukuplah menjadi alasan mengapa pe­merintah perlu menanggapi penolakan Baleg DPR dengan lebih serius mengkaji pende­katan, isi, dan substansi peru­bahan RUU Sis­diknas ini dengan mendialogkan secara terbuka, akademis, dan argu­men­tatif dengan para pe­mangku ke­pen­tingan pendidikan. Satu-sa­tunya keterbukaan yang dirasakan publik ialah diben­tuknya Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas melalui surat keputusan resmi dari Mendikbud-Ristek. Di situ tim diberi mandat untuk me­nyem­purnakan, mem­perbaiki, dan mendialogkan secara terbuka kepada publik draf yang ada saat ini sebelum diajukan kembali ke DPR RI. Transformasi pendidikan nasional merupakan kepentingan seluruh bangsa. Karena itu, pelibatan seluruh komponen masyarakat dalam merancang perubahan UU Sisdiknas ialah hal fundamental dan bermakna yang tidak dapat diabaikan.Oleh: Doni Koesoema A Pemerhati pendidikan dan pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong