AMBON, Siwalimanews – Rencana penjabat Walikota Ambon, Bodewin Wattimena untuk merombak birokrasi, harus dilakukan hati-hati serta tidak menabrak aturan dan menimbulkan kegaduhan.

Karena Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Biro­krasi Abdullah Azwar Anas, me­larang semua kepala daerah melakukan mutasi atau rotasi pegawai khusus­nya pejabat tinggi pratama sebelum dua tahun menjabat.

Larangan tersebut disampaikan Menpan RB dalam surat edaran tertanggal 22 September 2023 Nomor: 19 tahun 2023 tentang Mutasi/Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi yang men­du­duki jabatan belum mencapai 2 tahun.

Surat edaran Menpan RB yang juga diterima redaksi Siwalima, Kamis (5/10) disebutkan, bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelengga­raan pemerintahan melalui percepatan perbaikan kinerja instansi pemerintah maka, dihimbau kepada pejabat pem­bina kepegawaian pada instansi pusat maupun daerah untuk memperhatikan surat edaran ini.

Latar belakang dari SE ini yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS, yang mengatur bahwa, pejabat pembina kepegawaian dilarang mengganti pejabat pimpinan tinggi selama dua tahun terhitung sejak pelantikan pejabat pimpinan tinggi, kecuali pejabat tinggi tersebut melanggar ketentuan  peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.

Baca Juga: Nakes, Damkar dan Satpol PP Meradang!

Pengaturan tersebut dimaksud bertujuan untuk memberikan perlin­dungan pejabat pimpinan tinggi dari kepentingan politik praktis, sekali­gus memberikan ruang dan kesem­patan kepada pejabat pimpinan tinggi untuk melaksanakan tugas jabatan yang diembannya.

Namun demikian Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN  dan PP Nomor 30 Tahun 2019 ten­tang Penilaian Kinerja PNS juga mengatur bahwa, hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk men­jamin objektivitas dalam pengem­bangan PNS dan dijadikan sebagai salah satu persyaratan mutasi ja­batan.

Pengaturan dimaksud bertujuan, untuk memastikan pejabat pimpinan tinggi fokus pada pencapaian kinerja unit kerja yang dipimpinnya, dan apabila terjadi permasalahan yang berpotensi mengakibatkan kegaga­lan kinerja organisasi, maka pejabat pembina kepegawaian diberikan ruang untuk melakukan mutasi jabatan pejabat pimpinan tinggi.

Kewenangan yang diberikan kepada pejabat pembina kepegawai­an ini harus dimaknai sebagai ruang untuk mempercepat pencapaian prioritas nasional seperti, penuru­nan angka kemiskinan, stunting, percepatan transformasi digital dan lainnya, melalui perbaikan kinerja instansi pemerintah dan bukan dimaksudkan untuk memberikan ruang kepentingan politik praktis untuk mempengaruhi ASN bersikap tidak netral.

Untuk mempercepat pencapaian prioritas nasional melalui perbaikan kinerja instansi pemerintah, maka perlu ditetapkan SE Menpan RB tentang pedoman mutasi/rotasi jabatan bagi pejabat pimpinan tinggi yang belum menduduki jabatan paling singkat dua tahun.

Maksud dan tujuan SE ini untuk meningkatkan kualitas penyeleng­garaan pemerintahan dalam rangka percepatan perbaikan kinerja instan­si pemerintah, sementara tujuan dari SE ini yakni untuk memberikan panduan bagi pejabat pembina ke­pegawaian dalam melakukan mutasi pejabat pimpinan tinggi yang belum menduduki jabatan belum mencapai 2 tahun.

SE Menpan RB ini memiliki dasar hukum yang menjadi pertimbangan yakni, UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS sebagai­mana telah diubah dengan PP No 17 tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS, kemudian PP Nomor 30 tahun 2019 tentang penilaian Kinerja PNS.

Selain itu, Permenpan RB Nomor 15 tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka dan Kompetitif di Lingku­ngan Instansi Pemerintah serta Permenpan RB Nomor 6 tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja PNS.

Selain mempertimbangkan dasar hukum tersebut, SE ini juga disusun dengan memperhatikan SE Menpan RB Nomor: B/79/M.SM.02.03/2018 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (eselon I.a dan I.b) dan jabatan pimpinan tinggi pratama atau eselon II.a dan II.b.

Harus Teliti

Akademisi Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara Fakul­tas Hukum Unpatti, Sostones Sisi­naru menjelaskan, kebijakan perom­bakan birokrasi harus dilihat secara teliti.

Dengan kedudukan sebagai pen­jabat kepala daerah, kata Sisinaru, Wattimena dibatasi dengan aturan termasuk surat edaran Menpan RB.

“Sebagai orang yang memahami aturan, kita mengingatkan pak pen­jabat Walikota untuk berhati-hati sebelum mengambil keputusan pe­rombakan birokrasi,” tegas Sisinaru.

Apalagi dengan diterbitkannya SE edaran Menpan RB Nomor 19 Tahun 2023 Tentang Mutasi Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi Yang menduduki jabatan belum mencapai dua tahun.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (5/10), Sisinaru me­ngatakan, SE Menpan RB terse­but harus dipatuhi oleh Penjabat Walikota artinya, kendati diangkat menjadi Penjabat Walikota namun ada aturan yang membatasi kewe­nangan.

Menurutnya, Penjabat Walikota penting untuk mempertimbangkan peraturan yang sudah ada agar tidak berbenturan dengan aturan yang lebih tinggi.

Sisinaru menegaskan, ketika pe­jabat Pimpinan Tinggi pratama melakukan kesalahan maka penjabat harus melakukan mekanisme mulai dari teguran lisan, tertulis barulah dilakukan penindakan.

“Penjabat walikota berhak meng­ambil kebijakan itu ketika ia melihat jajarannya melenceng tetapi sesuai dengan proses yang ditetapkan dalam surat edaran karena bagaima­napun Walikota bagian vertikal dari pemerintah Indonesia,” cetusnya.

Sisinaru juga mengingatkan Penjabat Walikota agar berkomu­nikasi dengan ahli sehingga kepu­tusan tidak merugikan semua orang. Apalagi menjelang momen politik, jangan sampai merugikan warga Kota Ambon dengan kebijakan yang dibuat.

Walikota Tabrak Aturan

Sebelumnya, Akademisi Pemerin­tahan Fisip Unpatti, Victor Ruhun­lela menilai, kebijakan Penjabat Walikota untuk melakukan mutasi terhadap Charly Tomasoa dari jaba­tannya sebagai Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Pemkot Ambon menabrak aturan.

Dikatakan, pencopotan atau mu­tasi ASN dalam jabatannya bukan persoalan baru tetapi sering terja­dinya dimana sana.

Namun, dari segi pendisiplinan ASN dalam melakukan pelanggaran maka harus dilihat kategori pelang­garan yang dilakukan, apakah masuk kategori ringan, sedang atau berat.

Penjatuhan sanksi bagi ASN kata Ruhunlela harus dilakukan sesuai mekanisme PP Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin ASN khususnya pasal 8 yang mengatur terkait jenis sanksi bagi ASN.

“Kalau sesuai aturan mestinya dilakukan teguran secara lisan kalau tidak berubah maka teguran tertulis dan seterusnya, itu mekanisme yang seharusnya dilewati,” tegas Ruhunlela saat diwawancarai Siwa­lima melalui telepon selulernya, Senin (2/10).

Diakuinya, jika ASN melanggar kewajibannya maka dapat dijatuh­kan sanksi sesuai dengan PP 94 Tahun 2021 tetapi yang terpenting harus melalui mekanisme yang ditetapkan aturan.

Sebagai pelaksana tugas, lanjut Ruhunlela, Penjabat Walikota tidak memiliki kewenangan untuk mela­kukan pencopotan/mutasi pejabat sebab harus mendapat persetujuan Kemendagri.

Hal ini dapatkan dijadikan dasar bagi Penjabat Walikota untuk meng­hindar dari setiap akibat hukum atas sebuah kebijakan yang ditempuh, seakan-akan pencopotan tersebut atas perintah Kemendagri atau BKN.

“Bagi saya kalau pelanggaran yang dilakukan ringan seharusnya panggil lalu berikan pembinaan, tidak perlu sampai mencopot dari jabatan,” kesalnya.

Ruhunlela menduga, mutasi Tomasoa dari jabatannya lantaran adanya arahan yang tidak ditaati sebab posisi Kepala Bagian Penga­daan Barang dan Jasa merupakan posisi strategis. “Kemungkinan besar arahannya tidak ditaati saja itu. Kalau ada arahan yah, karena posisi ini stra­tegis,” ujarnya.

Menurutnya, jika pencopotan/mutasi yang dilakukan tanpa melalui mekanisme maka penjabat telah me­nabrak aturan terkait disiplin ASN.

“Kalau tidak sesuai mekanisme itu menabrak aturan, dan penataan birokrasi yang dilakukan harus sesuai aturan yang ada. Selain itu penjabat jangan lagi mengurusi soal hal teknis seperti ini, karena ini harus tanggung jawab sekot,” ujarnya.

Ditambahkan, jika Tomasoa tidak merasa puas maka dapat menempuh jalur hukum dengan menggugat Penjabat Walikota di PTUN.

“Dia mempunyai hak untuk PTUN kan pejabat kalau merasa dirugikan karena tidak melalui mekanisme yang seharusnya dilakukan,” pungkas­nya. (S-20)