Menguatkan Pendidikan Pancasila di Sekolah
BERITA ditangkapnya beberapa tokoh sentral Khilafatul Muslimin menyisakan tanya mengandung cemas. Organisasi itu membawahi dan membina 30 sekolah (Media Indonesia, 14/6) yang tersebar dan sudah berdiri belasan tahun di Indonesia. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendeteksi ada 400 sekolah di bawah naungan organisasi serupa. Struktur kurikulum sekolah mereka dirancang untuk menanamkan nilai dan doktrinasi khilafah sebagai sistem tunggal bernegara kepada siswa dan guru.
Pertanyaan kemudian, bagaimana bisa sistem pendidikan dan kurikulumnya bertahan lama di sekolah (madrasah) tanpa pengawasan negara? Bagaimana dan sejauh mana pengaruh doktrin tersebut bagi siswa dan lingkungannya?
Ideologi dan kurikulum
Dalam kurikulum sekolah berideologi khilafah begini; semua konsepsi fundamental kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang disepakati the founding fathers and mothers tertolak dan dibuang begitu saja. Seandainya dipelajari pun dengan maksud memperlemah ideologi Pancasila, melalui metode indoktrinasi atau dogmatisasi yang lazim dipakai. Menyerukan negara khilafah dan menolak sistem demokrasi Pancasila, diklaim sebagai esensi agama yang ditanamkan kepada siswa. Lama-lama menjadi nilai (value) hidup yang diimani sebagai kebenaran tunggal, wajib mempertahankan, dan menyebarkannya karena diperintah Tuhan.
Relasi peran kurikulum, sekolah, dan guru dengan ketat dan kuat melakukan reproduksi ideologi (khilafah) kepada siswa. Kurikulum pembelajaran yang antikonsep negara bangsa, meminggirkan Pancasila, disertai imaji mendirikan khilafah internasional secara absolut. Saat pembelajaran, guru dipastikan mendominasi wacana dalam kelas sehingga dinding sekolah tak ubahnya tembok pembatas antara yang islami atau bukan, yang berasas syariat atau maksiat, dan yang beriman atau kafir. Sekolah kian eksklusif dengan pengawasan ketat pada siswa. Sekolah dan kurikulum menindas pikiran siswa. Kurikulum yang menundukkan, bukan yang memerdekakan.
Baca Juga: Membudayakan Belanja Pemerintah Untuk Menggunakan Produk Dalam NegeriSekolah bukan lagi arena untuk merayakan pikiran terbuka. Praktik pembelajaran yang dialogis dan kritis akan dikubur dalam-dalam. Siswa akan dijauhkan dari perdebatan, sedangkan pikiran merdeka dicurigai sebagai liberalisasi agama. Tidak akan hadir ruang diskusi dan berpikir kritis dalam pembelajaran. Karena sedari lahir, kurikulum sekolah sudah dibuhul mati dengan dogma plus tafsiran final bahwa mendirikan negara khilafah adalah kewajiban agama.
Ancaman neraka dan dihukumi dosa siapa pun yang mengingkarinya. Doktrin demikian membuahkan paham, keyakinan, imajinasi, dan perasaan yang disimpan terpatri di hati sanubari siswa. Prinsip itu dibawa ke mana pun pergi sebagai pegangan hidup. Dus, bagaimana suasana bertukar pikiran siswa dan guru terbangun dengan sistem kurikulum demikian tertutup.
Kelompok elite organisasi melalui sistem kurikulum sekolah dan manajemen guru berperan memanipulasi kesadaran siswa. Mereka segelintir orang yang berkuasa mengatur, mengendalikan, menjaga, dan mengawasi seperangkat nilai doktrin yang dipegang teguh. Relasi antara sekolah, kurikulum, dominasi, ideologi, dan negara yang dipaparkan di atas berangkat dari konsep ahli pedagogik kritis Michael W Apple, dalam bukunya Ideology and Curriculum (1979). Meskipun analisisnya kepada fungsi kurikulum sebagai alat hegemoni kekuasaan negara, dalam konteks ini guru dan kurikulum sebagai perpanjangan tangan elite untuk mencapai tujuan ideologis organisasi.
Pendidikan Pancasila di kurikulum
Dua perspektif strategi diharapkan mangkus memitigasi pemahaman kebangsaan keliru yang telanjur diimani siswa dan guru, sekaligus upaya preventif agar doktrin anti-Pancasila dan anti-NKRI tidak makin menyebar, yaitu perspektif kultural dan struktural. Yang pertama, mendorong kita orang dewasa termasuk elite, pejabat publik, dan tokoh masyarakat memberikan teladan Pancasila dalam perbuatan. Dengan begitu, anak akan mencontoh laku orang dewasa. Uswatun hasanah sesuai perintah agama akhirnya benar-benar mewujud. Kedua, perspektif struktural, strategi pengarusutamaan Pancasila melalui kurikulum pendidikan mendesak dilakukan secara masif dan terencana melalui tiga cara.
Yang pertama, mendorong kita orang dewasa termasuk elite, pejabat publik, dan tokoh masyarakat memberikan teladan Pancasila dalam perbuatan. Dengan begitu, anak akan mencontoh laku orang dewasa. Uswatun hasanah sesuai perintah agama akhirnya benar-benar mewujud. Kedua, perspektif struktural, strategi pengarusutamaan Pancasila melalui kurikulum pendidikan mendesak dilakukan secara masif dan terencana melalui tiga cara.
Pertama, memperkuat pendidikan Pancasila di sekolah. Kurikulum merdeka yang baru diluncurkan Kemdikbud-Ristek, hendaknya berperan sebagai strategi efektif penanaman nilai-nilai ideologi bagi generasi bangsa melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal. Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib bertujuan agar siswa mampu memahami, menyadari, meyakini, dan mengaktualisasikan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, dan pandangan hidup bangsa.
Dalam struktur kurikulum baru, ruang lingkup (scope) dan urutan (sequence) materi pendidikan Pancasila mestinya makin kukuh dan komprehensif ditinjau dari aspek ideologis, historis, sosiologis, dan pedagogis. Proses pembelajaran oleh guru mengedepankan keterampilan berpikir kritis, dialogis, dan partisipatif dengan pendekatan kekinian sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) generasi Z dan alpha.
Subjek ini hendaknya bertransformasi ke arah yang semakin jelas struktur keilmuannya, lebih hidup dan bertenaga ketimbang model pendidikan moral Pancasila (PMP) dan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) masa Orde Baru yang serbanormatif. Pelajaran tidak berkembang karena pendekatan pembelajaran bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis, dan tidak partisipatif (Azyumardi Azra, 2008).
Kedua, pengarusutamaan Pancasila melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). P5 dengan skema project based learning, bersifat kolaboratif lintas mata pelajaran, kontekstual, dengan alokasi waktu, dan rapor tersendiri. Pancasila dimiliki secara kolektif semua mata pelajaran. Siswa melakukan dan mengalami sendiri bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara sadar.
Aktivitas pembelajaran proyek mengantar siswa menuju pengalaman belajar Pancasila yang kompleks dan dirancang sesuai dengan kondisi realitas. Pembelajaran proyek menghadirkan suasana belajar menyenangkan sehingga siswa termasuk guru menikmati setiap proses pembelajaran.
Ketiga, karena Pancasila ditempatkan sebagai asas pengembangan sekolah dan kurikulum, seluruh aktivitas di sekolah; intra, ko, dan ekstrakurikuler bertumpu dan dikembangkan melalui nilai Pancasila. Akan menjadi budaya sekolah sehingga membentuk ekosistem pendidikan yang bernapaskan Pancasila. Dengan syarat mutlak kompetensi profesional guru, yang sungguh-sungguh sepenuh hati berupaya memerdekakan alam pikiran siswa, agar menjadi warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Oleh: Satriwan Salim Koordinator Nasional P2G. (*)
Tinggalkan Balasan