Mengidealkan Guru
GURU merupakan faktor pertama dan penentu/kunci keberhasilan pembelajaran, upaya peningkatan mutu pendidikan dan garda depan pembaharuan (Fullan: 2007; Villegas-Reimers: 2003; Levin: 2003). Dari beberapa studi diperoleh temuan bahwa terdapat hubungan kuat antara apa yang dilakukan guru dan apa yang dicapai peserta didik dalam pembelajaran (student’s achievement) (Sean L 2002; Creemers: 1994; Hanushek dan Kain: 2005). Dengan kata lain, setiap upaya yang dilakukan guru di kelas memberi pengaruh terhadap prestasi belajar peserta didik dan peluang meraih kesempatan hidup yang baik. Berikut ini ialah beberapa peran yang diidealkan dari guru: Penanaman nilai/karakter Mutu pendidikan dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu intelektualitas, sikap dan nilai, termasuk perilaku karakter.
Penanaman karakter merupakan tugas utama guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk mewujudkan manusia berkualitas baik (saleh) atau mewujudkan moral truth. Keberanian, integritas, perhatian kepada orang lain, komitmen sebagai warga bangsa terhadap negara, jujur, dan sejenisnya, merupakan contoh moral truth. Moral truth tersebut ditanamkan melalui apresiasi terhadap perbedaan agama, budaya, dan sosial. Untuk membangun karakter, seseorang harus memahami core virtues dan memiliki perhatian serta komitmen untuk menerapkannya dalam kehidupan.
Bagaimana nilai, sikap, atau karakter tersebut ditanamkan melalui pembelajaran? Ada dua pendekatan dalam pendidikan karakter, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan terintegrasi atau komprehensif. Pendekatan tradisional pendidikan karakter menekankan pembiasaan, peniruan, modelling, pengajaran, ganjaran, dan genjeran, sedangkan pendekatan utuh atau terpadu pendidikan karakter berbasis pada tiga dimensi, yaitu pertama, berpikir (thinking) atau kognisi– apa yang harus dilakukan atau dipelajari. Kedua, rasa (feeling) atau afeksi– apresiasi terhadap apa yang dipelajari. Ketiga, aksi, praksis, atau amal–proses mengalami, yaitu membawa peserta pada kehidupan (pengamalan) dan tidak hanya berhenti dengan mendiskusikan apa yang sedang dipelajari.
Makhluk pembelajar ‘A teacher can never teach truly unless he is still learning himself (herself)’. Secara hakekat, guru merupakan pembelajar (murid) yang terus-menerus. Oleh karenanya, komitmen menjadi guru berarti kesediaan dan kesiapan seseorang belajar terus-menerus dalam melakukan tugas (pembelajaran), agar ia dapat merespons tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan masyarakat. Sertifikasi guru dan pengalaman mengajar dapat meningkatkan kemampuan guru. Namun, keduanya tidak serta-merta dapat berfungsi untuk mengajegkan dan mengembangkan kompetensi guru. Sertifikasi dapat meningkatkan efektivitas (mutu) pembelajaran, sepanjang guru melakukan persiapan dalam setiap melakukan tugasnya/mengajar. Pengalaman mengajar tidak serta-merta mempunyai hubungan linier dengan efektivitas pembelajaran yang dilaksanakan seorang guru. Pengalaman mengajar dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran manakala guru diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan profesional dengan menumbuhkan kemauan belajar terhadap yang dilakukan (Stronge, Tucker dan Hindman: 2004). Dengan kata lain, membangun a learning organization– organisasi yang belajar– dalam konsep manajemen kini merupakan syarat utama untuk sustainabilitas pendidikan bermutu.
Guru sebagai peneliti Kemampuan ini merupakan norma dan kriteria profesional. Kemampuan meneliti juga disebut dengan teacher research, yaitu para guru meneliti pembelajaran yang diselenggarakan mereka. Riset ini dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu pertama, guru melakukan penelitian langsung terhadap pembelajaran yang diselenggarakan dirinya sendiri. Kedua, ia menjadi ketua penelitian yang meneliti bagian dari apa yang diteliti seorang guru lainnya terhadap pembelajaran yang diselenggarakannya. Penelitian (teacher research) dilakukan dengan tujuan; (i) Peningkatan sense guru terhadap peran dan identitas profesional guru. (ii) Mendukung peningkatan mutu pembelajaran dan kemampuan guru dalam membuat keputusan dalam mengembangkan pembelajaran. Hal ini pada akhirnya akan memberi andil terhadap mutu pembelajaran peserta didik (Lankshear, Knobel; 2004), (iii) Proses membangun pengetahuan guru tentang pembelajaran peserta didik, bagaimana penyelenggaraan pembelajaran yang dilakukan dan juga hasil riset, dapat menjadi dasar pengembangan kurikulum, program, dan kebijakan sekolah (otonomi sekolah) (Roger: 2004). Pengembangan daya kreatif Ada beberapa pertimbangan penting, yaitu pertama, pengembangan potensi kreatif (creative power) warga bangsa merupakan sesuatu yang ingin diwujudkan melalui sistem pendidikan nasional (UU Siksdiknas). Kedua, pengembangan potensi peserta didik dapat dipahami dari perspektif globalisasi. Sangat disadari bahwa pendidikan merupakan kunci utama dalam menghadapi persaingan global.
Baca Juga: Pengelolaan Kas Pemerintah Pada Akhir Tahun AnggaranEra global telah melahirkan tantangan terhadap dunia pendidikan, yaitu membenahi konsep, sistem, dan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan, seperti sekolah, perguruan tinggi termasuk pendidik dituntut memiliki kemampuan lebih sehingga mampu bersanding dan bertanding dengan lembaga pendidikan termasuk pendidik, peserta didik/lulusan dengan lembaga pendidikan negara-negara di dunia (Burnouf: 2004; Carnoy: 1999; Zajda: 2005; Fachruddin: 2010; Fachruddin: 2008). Ketiga, kreatif. Merupakan salah satu karakter positif dan kreativitas merupakan ‘kekayaan pribadi’ (personal properties) yang diwujudkan dalam sikap atau karakter, cara berpikir, dan amaliah seperti fleksibel, ingin mencoba sesuatu yang baru (penasaran), teguh (strong minded), kemampuan menjabarkan gagasan, kemampuan menilai diri sendiri secara realistis/mengenal dirinya, dan melahirkan karya-karya inovatif.
Pengembangan mutu pendidikan dan kesinambungan mutu pendidikan mempunyai kaitan erat dengan sosok guru kreatif. Guru kreatif adalah seseorang yang menguasai keilmuan (expert), memiliki otonomi di kelas (dalam proses pembelajaran), menstimulasi keingintahuan dan eksplorasi, membangun motivasi, mendorong percaya diri, dan berani mengambil risiko dalam mengelola peserta didik. Selain itu, fokus pada penguasaan ilmu dan kompetisi, mendukung pandangan positif, memberikan keseimbangan dan kesempatan memilih dan menemukan, mengembangkan pengelolaan diri (kemampuan atau keterampilan metakognitif), menyelenggarakan pembelajaran dengan menggunakan berbagai teknik dan strategi untuk menfasilitasi lahirnya tampilan/perwujudan yang kreatif, membangun lingkungan yang kondusif terhadap tumbuhnya kreativitas, dan mendorong imajinasi dan fantasi.
Guru kreatif akan memberikan inspirasi kreatif kepada peserta didik (Al-Girt: 2007; Fisher: 2004). Wallahualam. (Fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma)
Tinggalkan Balasan