Daerah Maluku terkenal dengan julukan daerah seribu pulau dan merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan jumlah pulau sebanyak 1.392 pulau. Karena memiliki banyak pulau, baik besar maupun kecil maka Maluku juga memiliki wilayah pesisir yang banyak dengan panjang garis pantai sekitar 10.630,10 km atau 11,7% dari 95.181 km total garis pantai Indonesia. Luas wilayah Maluku secara keseluruhan sebesar 64.914,03 km2 dan luas wilayah laut hampir mencapai 92,4% dibading luas wilayah darat sebesar 7,6% (BPS Maluku, 2020).

Secara astronomis,  wilayah provinsi Maluku  berada antara 2o30’ – 9o  LS dan 124o- 136o BT dan secara geografis berbatasan di sebelah Utara dengan Laut Seram, sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafura, sebelah Timur berbatasan dengan pulau Irian (provinsi Papua) dan sebelah Barat berbatasan dengan pulau Sulawesi. Provinsi Maluku terdiri dari 11 kabupaten dan kota, yaitu kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Kepualauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya, Buru Selata, kota Ambon dan kota Tual (BPS Maluku, 2020).

Maluku memiliki luas wilayah laut sebesar 654.000 km2. Dengan laut yang sangat luas maka wilayah laut Maluku memiliki potensi sumberdaya alam laut yang besar, baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya nonhayati. Demikian juga memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap di mintakat peisir, laut dan laut dalam. Wilayah perairan laut provinsi Maluku masuk kedalam tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, yakni WPPNRI 714, WPPNRI 715, dan WPPNRI 718 (Permen KP RI nomor 18/Permen-KP/2014). Total potensi perikanan tangkap di wilayah perairan Maluku sebesar 4.669.030 ton/tahun. Prediksi penangkapan ikan laut nasional ditahun 2020 sebesar 8,02 juta ton. Hal ini berarti Maluku memberikan sumbangan hasil tangkapan ikan sekitar 50% terhadap penangkapan ikan nasional. Jenis-jenis ikan hasil  tangkapan WPP diatas dapat dikelompokkan atas ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal dan kelompok non-ikan yakni udang, lobster, kepiting, rajungan dan cumi.

Potensi perikanan Maluku yang sangat besar menjadi dasar pertimbangan untuk menjadikan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 30 Agustus 2020 saat kunjungan kerja di kota Ambon. Keputusan ini terealisasi setelah hampir sepuluh tahun lamanya saat dicanangkan oleh Presiden SBY.

Maluku sebagai daerah Lumbung Ikan Nasional tentunya akan berimplikasi terhadap upaya dan laju eksploitasi perikanan di wilayah perairan laut Maluku.  Eksploitasi sumber daya perikanan tangkap di Provinsi Maluku merupakan bisnis perikanan yang menjanjikan dari aspek ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari hasil produksi dan nilai produksi perikanan tangkap dari Maluku yang tercatat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Harus ada pengendalian terhadap laju eksploitasi perikanan tangkap dimana laju eksploitasi disesuaikan dengan laju perkembangan dan pertumbuhan populasi ikan. Eksploitasi  perikanan tangkap yang tidak terkendali dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan atau terjadi eksploitasi berlebihan (over exploitation). Kondisi kritis sumberdaya perikanan ini yang harus menjadi perhatian bersama para stakeholder perikanan. Dari perspektif pembangunan berkelanjutan maka laju penangkapan ikan untuk mencapai target ekonomi bukan semata-mata menjadi pertimbangan utama. Aspek ekonomi perikanan harus diselaraskan dengan aspek sosial dan ekologi atau lingkungan perairan laut. Keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi-lingkungan perairan laut akan memberikan dampak keberlanjutan bagi usaha penangkapan ikan, pekerja dan keseimbangan ekosistem perairan laut. Hal inilah yang merupakan prinsip dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Baca Juga: Sinergitas Pemerintah-Masyarakat Kunci Sukses Lawan Covid-19

Di Maluku ada kearifan lokal (local wisdom) yang disebut sasi. Sasi ini telah lama dipraktikan dan secara turun temurun. Sasi adalah larangan untuk mengambil atau memanfaatkan sumberdaya alam tertentu dalam masa waktu tertentu. Sasi merupakan konservasi yang bersifat tradisional dan kearifan lokal ini hanya dapat dijumpai di Maluku. Beberapa praktik sasi yang dapat dijumpai antara lain sasi ikan lompa, sasi burung maleo, sasi kepiting bakau, sasi rumput laut, sasi lola dan lain lain.  Selain praktik sasi terhadap jenis sumberdaya hayati tertentu juga ada praktik sasi kawasan seperti sasi hutan, sasi air dan sasi laut dengan tujuan untuk melindungi kawasan tersebut.

Praktik sasi sangat baik untuk dilakukan dalam upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya hayati di alam. Tentunya praktik sasi ini harus disesuaikan dan dipadukan dengan biologi dari suatu sumberdaya hayati ataupun juga melakukan revitalisasi aturan-aturan dalam praktik sasi (Talakua, 2015). Nilai-nilai sasi yang terkandung sebagai substansi sasi yang perlu dikembangkan dan diterapkan dalam penangkapan ikan di perairan laut Maluku. Nilai-nilai yang terkandung di dalam praktik sasi tidak hanya sebatas pada aspek waktu, namun juga pada aspek pengelolaan. Pengelolaan sumberdaya alam membutuhkan kolaborasi berbagai pihak pemangku kepentingan (co-manajemen) yang diawali dari perencanaan hingga proses eksploitasi. Pengelolaan sumberdaya alam juga membutuhkan pertimbangan dan perpaduan antara pengetahuan moderen dan pengetahuan tradisional-kearifan lokal masyarakat (Mitchel et al. 2003).

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Maluku sebagai wujud implementasi lumbung ikan nasional, harus dikelola secara benar dan tepat sehingga sumberdaya perikanan tersebut tetap terjaga dan berkelanjutan. Paradigma dan nilai sasi yang dikembangkan dan diterapkan dalam eksploitasi perikanan di wilayah pengelolaan perikanan di wilayah Maluku dapat dilakukan melalui upaya pembatasan. Pembatasan yang dapat dipraktikan adalah pembatasan waktu eksploitasi ataupun pembatasan trip penangkapan, pembatasan jumlah kapal penangkapan ikan yang beroperasi di daerah penangkapan, pemakaian alat tangkap yang ramah lingkungan atau yang tidak bersifat destruktif dan pengawasan secara terintegrasi. Pembatasan ini menjadi perhatian bersama semua pihak terutama pemerintah daerah Maluku. Bila paradigma dan nilai sasi ini dapat dijalankan maka konsep keberlanjutan itu pasti terwujud dan hal yang sebaliknya yang akan terjadi di kemudian hari. Sumberdaya perikanan di laut Maluku juga merupakan milik bersama anak cucu Maluku yang akan datang. Semoga.( KENEZIA J C TUHUMURY, Mahasiswa Ziologi Zoteknologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta)