Menata Dewan Perwakilan Daerah
INDONESIA merupakan negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi sebagai bentuk pengejawantahan muatan nilai musyawarah dalam bingkai perwakilan. Herlambang (2017) mengemukakan bahwa salah satu bentuk pelembagaan dari nilai musyawarah perwakilan tersebut adalah kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara khusus, DPD dikonstruksikan sebagai lembaga yang representatif dengan kemajemukan bangsa Indonesia yang terlepas dari unsur partai politik. Namun dewasa ini dalam praktik ketatanegaraannya, DPD belumlah secara murni menjalankan cita konstruksi pembentukkannya. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal yang bersifat fundamental, yaitu metode pengisian jabatan keanggotaan DPD yang semi-representatif dan ketimpangan peran dan kedudukan DPD sebagai salah satu pemegang kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penataan DPD secara kelembagaan memiliki urgensi untuk dilakukan secara komprehensif. Sifat representatif Salah satu tantangan dalam struktur kelembagaan DPD adalah masih diberlakukannya metode pengisian jabatan keanggotaan DPD secara semi-representatif. Sifat semi-representatif tersebut dapat tergambarkan dari keanggotaan DPD yang mewakili suatu daerah pemilihan dimungkinkan untuk memiliki latar belakang yang serupa. Sehingga menjadi suatu hal yang lumrah apabila keanggotaan DPD secara definitif dewasa ini meskipun keterpilihannya melalui sebuah proses pemilihan yang demokratis, secara konfigurasinya tidak dapat menggambarkan secara utuh kepaduan masyarakat itu sendiri. Merujuk pada ketentuan yuridis, terdapat masing-masing empat orang dari setiap daerah pemilihan yang mendapatkan suara terbanyak. Namun dalam praktiknya, keempat orang yang terpilih tersebut dalam konfigurasinya hanya merepresentasikan lapisan tertentu di dalam masyarakat.
Sehingga diperlukan pembaharuan hukum terhadap metode pengisian jabatan keanggotaan DPD sebagai unsur keterwakilan daerah dalam kekuasaan legislatif. Muatan pokok yang harus digarisbawahi mengenai pembaharuan hukum tersebut adalah terkait dengan penambahan jumlah keanggotaan DPD yang semula adalah empat orang dari masing-masing daerah pemilihan menjadi lima orang. Penambahan jumlah keanggotaan DPD tidak hanya sebatas menambah jumlah keanggotaan DPD dari masing-masing daerah pemilihan melainkan dengan menambahkan aturan mengenai konfigurasi dalam pemilihan anggota DPD. Aturan konfigurasi yang dimaksud adalah bahwa lima orang anggota DPD yang dinyatakan terpilih untuk mewakili masing-masing daerah pemilihan harus memenuhi tiga unsur masyarakat, yaitu unsur tokoh publik yang meliputi tokoh keagamaan, tokoh adat, ataupun tokoh kemasyarakatan lainnya; unsur akademisi; dan unsur kepemudaan. Hal ini ditujukan untuk menciptakan model pengisian jabatan keanggotaan DPD secara lebih representatif. Urgensi perimbangan Dewasa ini sejak dari pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, terdapat ketimpangan antara DPR dan DPD dalam hal kedudukan dan peranan.
Dalam hal kedudukan, ketimpangan tersebut tergambar dari metode pengisian jabatan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pimpinan MPR terdiri dari ketua dan wakil ketua yang adalah representasi dari masing-masing fraksi DPR dan satu kelompok aanggota DPD. Sehingga meskipun melalui pemilihan umum secara demokratis yang sama, komposisi pimpinan MPR dari unsur fraksi-fraksi DPR bersifat dominan dibandingkan dengan komposisi pimpinan MPR dari kelompok anggota DPD. Mencermati praktik ketatanegaraan yang demikian, perlu untuk melakukan penguatan terhadap kedudukan DPD dalam kelembagaan MPR. Seyogyanya pimpinan MPR dapat terdiri dari 1 orang ketua dan tiga orang wakil ketua yang berasal dari unsur DPR dan kelompok anggota DPD secara berimbang. Dalam hal pemilihan ketua MPR, untuk menjamin asas keseimbangan antara unsur DPR dan DPD maka dapat digunakan mekanisme pemilihan secara silang. Dua calon pimpinan MPR dari unsur DPD akan dipilih oleh seluruh anggota DPR dan berlaku demikian sebaliknya. Hasil pemungutan suara tersebut kemudian akan diwujudkan dalam prosentase yang akan menentukan pengisian jabatan ketua MPR dalam periode tersebut. Selain mengenai kedudukannya, perimbangan peranan antara DPR dan DPD menjadi hal yang bersifat mendesak.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kekuasaan legislatif, DPD berperan untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Selain itu, peran lainnya ialah pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR dan ikut membahas rancangan tersebut. Namun DPD tidak mempunyai kewenangan strategis untuk mengambil keputusan untuk sebuah rancangan undang-undang termasuk yang berkaitan dengan kewenangan anggota DPD. Oleh karena untuk mencapai perimbangan peranan antara DPR dan DPD, perlu untuk mengkonstruksikan hak veto. Tujuannya agar pimpinan DPD berwenang melakukan hak veto dari sebuah rancangan undang-undang yang menjadi kewenangan DPD pada pembicaraan tingkat I dan tingkat II. Sehingga DPD akan menjadi lembaga yang dapat mengejawantahkan aspirasi daerah serta pengawal desentralisasi di era reformasi ini.( Kristianus Jimy Pratama, Peneliti Hukum, Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
Baca Juga: 9 Pencegahan Covid-19
Tinggalkan Balasan