Menakar Potensi Danantara

SULIT menjadi Indonesia karena harapan selalu membuncah. Di tengah harapan Indonesia dibangun, yang terjadi ialah pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Ekonomi memang tumbuh, tetapi rakyat tertinggal jauh. Masih banyak yang terseok-seok di lantai emas. Pembangunan di Indonesia hanya berupa menara tak terjangkau, sementara sang rakyat masih menatap nanar tak berdaya.
Membuat ekonomi digdaya adalah satu hal, rakyat yang berdaya adalah hal yang lain. Idenya, membuat semuanya bertalian, saling mengikat erat untuk ekonomi yang berdaya dan tak sekadar digdaya. Inilah paradoks yang terus menjadi tantangan: bagaimana menjadikan ekonomi Indonesia bukan sekadar besar dan kuat, tetapi juga berdaya untuk seluruh rakyatnya.
Pemerintah pun punya target tinggi, mencapai pertumbuhan 8%. Sejuntai pikir pun berkerut mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir (di luar masa pandemi) ialah 5,07%. Sepertinya memang kita terantuk tembok besar, menyetop daya bangun bangsa. Oh, tetapi jangan-jangan memang tembok besar itu harus dijebol, karena selama ini masih terikat konsep pembangunan yang ekstraktif, mengenyahkan rakyat dan menguntungkan segolongan elite.
Namun, bukankah pertumbuhan 8% itu terlalu tinggi? Ya, mungkin benar target ini ibarat menggapai langit. Tetapi, bukankan jika kita jatuh, masih berada di antara bintang-bintang? Karena Indonesia, tidak punya waktu banyak. Bonus demografi berakhir di tahun 2038, pertumbuhan ekonomi yang ditopang sumber daya manusia akan bertemu populasi yang menua.
Oleh karenanya, minimal kita harus tumbuh secara rerata 6,5% sampai tahun itu. Setidaknya ini yang pernah saya tulis di satu chapter buku yang berjudul Overcoming the Middle-Income Trap: The Role of Innovation on Switching onto a Higher Income Group for ASEAN Member States. Lantas bagaimana cara untuk tumbuh setinggi itu?
Baca Juga: Sinkronisasi antar Daerah: Kunci Mewujudkan Visi & Misi PemerintahDalam perhitungan saya, dibutuhkan setidak-tidaknya investasi sebesar Rp10 ribu triliun untuk lima tahun ke depan di enam sektor utama: energi, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sumber daya air, sanitasi, perumahan, dan transportasi. Ini sudah menjadi bagian dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Bappenas untuk target skenario ideal pertumbuhan ekonomi 8%. Lantas, pertanyaan satu juta dolarnya ialah dari mana uangnya?
Ingin mencapai target di atas kewajaran, tetapi masih melakukan hal yang sama adalah suatu kegilaan, me-refer satu adagium kesohor. Jadi, barang apa yang pantas disorongkan di atas meja untuk mampu menggapai cita itu? Yang jelas, kita tidak butuh sekadar rapalan kosong. Menengok ke belakang, adalah seorang begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo yang pernah menawarkan konsep pembentukan sebuah badan investasi dan pengelolaan aset kepada Menteri Keuangan di saat itu, JB Sumarlin, pada 1980-an.
Namun, ide ini ditolak, dengan alasan saat itu Indonesia belum perlu badan semacam pengelola keuntungan BUMN. Prof Soemitro lantas meneruskan gagasan tersebut kepada pemerintah Malaysia, yang kemudian oleh Mahathir Mohamad dieksekusi menjadi Khazanah Nasional Berhad. Khazanah inilah yang kemudian juga menjadi salah satu sumber referensi terkini (bersama Temasek Singapura) untuk pembentukan Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada bulan Februari yang lalu.
HARUS MEMASTIKAN TATA KELOLA BEKERJA
Melihat dari besarnya potensi Danantara, jelas bahwa inisiatif ini bukan sekadar gagasan kosong. Namun, tetap ada banyak pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita bisa memastikan bahwa Danantara benar-benar akan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya ialah bagaimana memastikan bahwa tata kelola yang diterapkan tidak sekadar nama, tetapi benar-benar bekerja dalam praktiknya.
Di atas kertas, Danantara memiliki struktur yang cukup menjanjikan. Badan ini akan mengelola kepemilikan negara di berbagai BUMN strategis dengan total aset mencapai Rp14.710 triliun atau sekitar US$900 miliar, menjadikannya salah satu sovereign wealth fund (SWF) terbesar di dunia. Dari segi skala, ini bahkan lebih besar daripada Khazanah Nasional Malaysia yang memiliki aset sekitar US$40 miliar, atau Temasek Singapura yang mengelola sekitar US$280 miliar. Namun, apakah ukuran saja cukup?
Ada Temasek atau Khazanah yang sering disebut sebagai satu model acuan. Tetapi, salah satu yang juga layak untuk dijadikan rujukan utama ialah State-owned Assets Supervision and Administration Commission of the State Council (SASAC) yang dibuat oleh pemerintah Tiongkok tahun 2003. SASAC ini mengelola semua BUMN di Tiongkok selain BUMN bank.
Melihat perjalanannya, sebelum dikelola SASAC, pada tahun 2003 hanya 12 BUMN Tiongkok non-bank masuk Fortune 500. Keuntungan BUMN Tiongkok non-bank hanya US$29 miliar, atau setara Rp464 triliun.
Setelah dikelola SASAC, pada tahun 2023 jumlah BUMN Tiongkok non-bank di Fortune 500 naik menjadi 44 BUMN. Yang lebih mengesankan lagi, pada 2023 lalu, setelah 20 tahun dikelola SASAC, keuntungan BUMN Tiongkok non-bank mencapai US$339 miliar atau setara Rp5.424 triliun. melonjak lebih dari 1.000%!
Kunci sukses SASAC ada tiga hal: 1) restrukturisasi BUMN agar lebih efisien dan kompetitif, 2) tata kelola investasi yang ketat memastikan keputusan berbasis analisis ekonomi, bukan kepentingan politik, dan 3) menjadi penggerak likuiditas di pasar saham, menjaga stabilitas dan daya saing ekonomi nasional.
Danantara harus belajar dari model ini, terutama dalam tata kelola dan strategi investasi. Rujukan ideal tersebut seharusnya menjadi pelontar kepercayaan pasar. Namun, kenapa dalam sepekan terakhir pasar sangat tertekan? Ada beberapa tantangan praktis yang harus dicarikan solusinya oleh pengelola Danantara.
Tantangan pertama yang harus dijawab Danantara ialah tata kelola yang baik. Salah satu isu yang mengemuka ialah mekanisme kontrol pemerintah terhadap Danantara yang memunculkan kekhawatiran bahwa dominasi pemerintah dalam struktur ini dapat mengurangi independensi Danantara sebagai badan investasi. Jika pengelolaannya terlalu terpengaruh oleh keputusan politik jangka pendek, dikhawatirkan Danantara akan kesulitan menjalankan misi jangka panjangnya sebagai lokomotif ekonomi nasional.
Lebih jauh lagi, jika Danantara dikelola seperti ‘Kementerian BUMN jilid dua’, di mana intervensi politik terlalu besar dan pengambilan keputusan lebih banyak didasarkan pada kepentingan populis, maka alih-alih menjadi solusi, badan ini bisa berubah menjadi beban baru bagi negara.
BASIS YANG BERBEDA
Berikutnya ialah mengenai risiko fiskal. Salah satu hal yang membedakan Danantara dari SWF lain ialah sumber dananya. SWF di negara lain biasanya berasal dari surplus fiskal atau hasil ekspor sumber daya alam, seperti GPFG Norwegia yang dananya berasal dari ekspor minyak bumi, atau Temasek yang mengelola laba dari BUMN secara independen.
Sebaliknya, Danantara berangkat dari basis yang berbeda. Mo-dal awalnya berasal dari penyertaan modal negara, dividen BUMN, serta leverage terhadap aset negara. Dengan kata lain, Danantara mengandalkan uang ‘dapur’, bukan uang ‘tunjangan hari raya’. Ini memunculkan risiko fiskal yang cukup besar, terutama karena dividen BUMN yang selama ini masuk ke APBN akan dialihkan ke Danantara. Artinya, potensi shortfall dalam penerimaan negara dari BUMN bisa semakin melebar, yang berpotensi memperparah defisit APBN.
Solusi untuk menutupi potensi defisit ini bisa melalui dua cara: meningkatkan efisiensi belanja negara atau mencari sumber pendapatan baru. Namun, kedua opsi ini tidak mudah. Efisiensi anggaran memerlukan reformasi besar-besaran dalam struktur belanja negara, sementara mencari pendapatan baru berarti harus meningkatkan daya saing ekonomi dan memperluas basis pajak.
Isu lain yang tak kalah pentingnya ialah efek Danantara terhadap investasi swasta. Ada kekhawatiran bahwa dengan adanya Danantara, investasi swasta di sektor-sektor strategis akan terpinggirkan. Ini dikenal sebagai efek crowding out, di mana kehadiran badan investasi milik negara yang besar justru membuat modal swasta sulit bersaing.
Jika Danantara terlalu agresif mengambil proyek-proyek investasi yang seharusnya bisa dilakukan oleh swasta, maka alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi, badan ini bisa menciptakan distorsi di pasar, yang ujungnya justru bisa menghambat dinamika ekonomi.
Namun, pernyataan dari salah satu pengelola Danantara, Pandu Syahrir, yang menegaskan bahwa Danantara akan lebih berperan sebagai mitra bagi investor swasta, bisa sedikit meredakan kekhawatiran ini. Ia menegaskan bahwa Danantara akan beroperasi dengan gaya investasi korporat dan tidak akan bersaing dengan sektor swasta. Ini adalah sesuatu yang perlu dibuktikan dalam praktiknya.
Terkait dengan roadmap investasi, pengalaman sebelumnya juga telah menunjukkan bah-wa proyek yang tidak dirancang dengan baik bisa menjadi jeba-kan. Jika investasi dilakukan tanpa perencanaan matang dan hanya berorientasi jangka pen-dek, maka alih-alih memberikan nilai tambah, proyek-proyek ini bisa menjadi beban keuangan. Ini adalah kekhawatiran yang berdasar, mengingat sepak terjang BUMN karya selama sepuluh tahun terakhir pada proyek-proyek model ini telah membawa kinerja mereka ke titik nadir. Tugas berat untuk trio pengelola Danantara, yaitu Rosan Roeslani, Pandu Sjahrir, dan Dony Oskaria, berselancar antara kepentingan populis dan keuntungan Investasi.
Danantara adalah simbol ambisi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam perekonomian global, bukan sekadar pasar bagi investasi asing, tetapi juga sebagai pengelola aset yang strategis dan produktif. Jika dikelola dengan baik, badan ini bisa menjadi alat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan mendorong industrialisasi yang sesungguhnya. Namun, besarnya harapan harus diimbangi dengan eksekusi yang cermat dan disiplin tata kelola yang kuat. Jika tidak, ia hanya akan menjadi mimpi yang indah di atas kertas, tetapi gagal mengubah kenyataan di lapangan.
Tantangan yang dihadapi Danantara tidaklah kecil. Ia harus memastikan bahwa kebijakannya tidak didikte oleh kepentingan politik jangka pendek, tetapi benar-benar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ia juga harus berhati-hati agar tidak menjadi beban bagi APBN, dengan struktur pendanaan yang lebih solid dan tidak merugikan stabilitas fiskal negara. Lebih dari itu, Danantara harus membangun hubungan sinergis dengan sektor swasta, bukan malah menjadi pesaing yang menyedot sumber daya dan mempersempit ruang gerak investasi.
JANGAN MENGULANG SEJARAH KEHILANGAN ARAH
Dalam beberapa dekade ke depan, kita tidak bisa lagi bergantung pada pola ekonomi lama yang berbasis eksploitasi sumber daya alam. Kita harus mulai membangun ekonomi yang mandiri, berbasis inovasi dan industrialisasi. Jika mampu menjadi katalis perubahan ini, Danantara akan menjadi bagian penting dalam transformasi Indonesia menuju negara maju. Tapi, jika tidak, ia hanya akan menjadi monumen lain dari kebijakan yang gagal, mengulang sejarah panjang inisiatif besar yang akhirnya kehilangan arah.
Masa depan Indonesia tidak bisa menunggu. Bonus demografi yang kita miliki akan segera berakhir, dan jika gagal memanfaatkannya, kita menjadi tua sebelum kaya. Danantara bisa menjadi jawaban atas tantangan ini, tetapi hanya jika ia benar-benar dijalankan dengan visi yang jelas, transparansi yang kuat, dan keberanian untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Sebab, pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan sekadar per-tumbuhan angka-angka ekonomi, melainkan juga kehidupan rakyat yang lebih berdaya, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat di negeri sendiri. Waktu terus berjalan, dan Indonesia harus segera menentukan jalannya—apakah kita akan tetap berada dalam siklus kebijakan setengah hati, atau benar-benar melangkah maju menuju perekonomian yang berdaya, berkelanjutan, dan inklusif. (Fithra Faisal Hastiadi, Dosen FEB UI, Ekonom Kepala Samuel Sekuritas Indonesia, Wakil Ketua Komite Tetap Strategi Transformasi Teknologi dan Digital, Kadin.
Tinggalkan Balasan