Satu dari sekian banyak manfaat hutan yang esensial adalah penyuplai energi baru dan terbarukan bagi kehidupan di bumi. Energi Baru dan Terbaruka (EBT) merupakan jenis energi dari sumber daya alam yang pada hakikatnya tidak akan pernah habis dan mampu terisi kembali karena tersedia oleh alam dan terbentuk dari proses alam yang berkelanjutan.

Energi baru dan terbarukan bersumber dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui secara terus menerus seperti matahari, angin, air, panas bumi, dan biomasa. Sumber-sumber ini tidak akan habis dan dapat diperbaharui secara alami, berbeda dengan sumber energi konvensioanl yang berasal dari fosil seperti minyak bumi, dan batu bara yang semakin terbatas dan menipis ketersediaannya di alam.

Selain sebagai sumber energi yang tersedia di alam dan dapat diperbaharui, penggunaan energi terbarukan memiliki berbagai keuntungan di bandingkan penggunaan energi kovensional, karena proses dan sifatnya yang ramah lingkungan sehingga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang lebih rendah dibandingkan dengan energi konvensional atau energi fosil.

Pengurangan emisi GRK dari penggunaan sumber energi baru dan terbarukan membantu mengurangi dampak perubahan iklim, mengurangi polusi udara, pencemaran air dan dampak negatif lainnya terhadap lingkungan.

Keuntungan lain dari pemanfaatan energi terbarukan adalah memiliki sumber energi yang tidak terbatas, sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan dan sifatnya yang minim polutan menjadikan sumber energi ini lebih aman bagi manusia maupun lingkungan. Manusia dalam melakukan aktivitasnya tidak lepas dari ketergantungan pada pemakaian energi seperti penggunaan kendaraan bermotor maupun aktifitas rumah tangga yang membutuhkan energi berupa bahan bakar.

Baca Juga: Tabrani: Penggagas Bahasa Persatuan Indonesia yang Menjadi Pahlawan Nasional

Ketergantungan manusia pada energi dan ketersediaan cadangan energi konvensional yang selama ini dikonsumsi masyarakat semakin menipis, mendorong untuk segera dilakukan perubahan dari penggunaan energi konvensional ke penggunaan energi terbarukan. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi tertunya akan berbanding lurus dengan kebutuhan sumber energi, sementara sumber cadangan energi konvesional yang tersedia semakin berkurang sehingga energi konvensional bukan solusi yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi energi terbesar di dunia sudah saatnya mengembangkan potensi energi alternatif untuk mengatasi ancaman defisit energi dalam negeri di masa mendatang dengan mengembangakan energi baru dan terbarukan (renewable energy).

Pengembangan energi terbarukan sebagai alternatif terhadap ketergantungan pada penggunaan sumber energi konvesional yang semakin berkurang dan tidak dapat diperbaharui mulai diupayakan oleh pemerintah melalui kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), melalui pengemangan bionenergi.

Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik. Bahan Bakar Nabati (BBN)/Biofuel) adalah salah satu energi yang dihasilkan dari bahan baku bioenergi melalui proses/teknologi tertentu. Bahan Bakar Nabati terdiri dari Biodiesel, Bioetanol dan Minyak Nabati Murni. Biodiesel sebagai salah satu Bahan Bakar Nabati/Biofuel adalah minyak dari tumbuhan atau hewan yang sudah dipakai sebagai energi alternatif.

Salah satu sumber bahan baku biodiesel adalah minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Keunggulan memanfaatkan CPO sebagai bahan baku utama biodiesel adalah sawit merupakan sumber minyak nabati yang paling efisien dalam hal produktifitas, sehingga minyak sawit dapat diproduksi dalam jumlah yang besar dengan menggunakan lahan yang relatif kecil jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Keunggulan lainnya adalah biodiesel yang berasal dari minyak sawit memiliki sifat yang mirip dengan diesel konvensional.

Produksi biodiesel dari CPO dipastikan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi petani sawit maupun produsen lokal, diversifikasi sumber energi dengan pengurangan impor bahan bakar konvensional/fosil sehingga menekan atau mengurangi pengeluaran negara untuk kepentingan impor energi.

Penggunaan biodiesel juga merupakan wujud kepatuhan Negara Indonesia terhadap perjanjian internasional paris egremeent yakni kesepakatan terkait pengurangan emisi gas rumah kaca dan perlindungan lingkungan.

Selain kementerian ESDM, program implementasi biodiesel yang tengah dilaksanakan oleh Pemerintah merupakan program nasional yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi. Program ini wujud upaya bersama untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak bumi, sekaligus membawa sawit Indonesia menjadi lebih baik dan berkelanjutan.

Kebijakan Energi Nasional Indonesia menetapkan ambisi untuk mengubah bauran energi dengan memprioritaskan sumber daya energi baru dan terbarukan. Kebijakan tersebut menargetkan sumber energi baru dan terbarukan berkontribusi sekitar 23% dari total bauran energi primer pada tahun 2025. Pada tahun 2021, pangsa Energi Terbarukan telah mencapai 11,7% dari total bauran energi dan biodiesel berkontribusi sekitar 35%. Arah kebijakan biodisel di Indonesia semakin agresif dengan ditetapkanya target bauran ester metil asam lemak (fatti acid methyl esters / FAME) dalam biodiesel adalah 20 % atau B20 untuk tahun 2025, dimana target ini kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015 dimana B30 yang telah diimplementasikan pada tahun 2020 akan diberlakukan tahun 2025.

Kebijakan pemerintah ini kemudian dipatenkan yang ditandai dengan di launching oleh Menteri ESDM pada 27 Juli 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui pendanaan oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terus melakukan berbagai rangkaian uji kelayakan B40 (campuran 40 persen biodiesel pada bahan bakar solar) sebagai bahan baku penggerak mesin diesel.

Hasilnya, saat dilakukan uji Cold Startability (kemudahan penyalaan kendaraan pada temperatur rendah) oleh Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi “Lemigas” dan Balai Besar Survei dan Pengujian KEBTKE dapat dinyalakan dengan cepat. Selain untuk menjawab kebutuhan cadangan energi alternatif di masa depan, tujuan implementasi pengunaan energi terbarukan dengan bahan baku minyak sawit muri (CPO) adalah memenuhi komitmen Pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari bussines as usual (BAU) pada 2030, meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi, Stabilisasi harga CPO, meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit, memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energi mix pada 2025, mengurangi konsumsi dan impor Bahan Bakar Minyak (BBM), mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Penggunaan energi biodiesel dari bahan baku CPO dengan sejumlah manfaat dan keuntungan baik ekonomi maupun ketersediaan cadangan alternatif baru yang memberi angin segar bagi ketersediaan cadangan energi nasional dapat menjawab kekuatiran kebutuhan cadangan ebergi di masa mendatang, namun pada sisi ekologi terjadi kekuatiran.

Dasar kekuatiran tersebut adalah dengan gencarnya konversi lahan hutan bagi perkebunan kelapa sawit secara besarbesaran yang tentunya berdampak pada perubahan ekosistem hutan. Perkebunan kelapa sawit menuntut pembukaan lahan dalam skala besar dapat menyebabkan deforestasi dan punahnya habitat alami bagi spesies flora dan fauna dan mengurangi keragaman hayati ekosistem dan hilangnya keseimbangan alam.

Penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam perkebunan kelapa sawit yang dapat mencemarkan tanah dan mengganggu siklus air juga pada kesehatan manusia disekitar lokasi perkebunan juga merupakan kekuatiran lainnya. Kontroversial atau bahkan konflik sosial kerap terjadi antara pengusaha atau corporasi dengan masyarakat lokal akibat hilangnya akses masyarakat atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan yang berdampak pada ketegangan sosial.

Ketimpangan ekonomi adalah hal yang rentan terjadi dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Meskipun perkebunan kelapa sawit dapat memberikan lapangan kerja dan pendapatan bagi sebagian masyarakat, namun pemilik perkebunan adalah peraup keuntungan terbesar sehingga memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi di daerah sekitar perkebunan.

Selain itu pada satu sisi penggunaan biodiesel dari minyak kelapa sawit dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, namun pada sisi lain dapat menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca jika pembukaan lahan hutan dengan penebangan pohon pada hutan alam, sehingga terjadi pengurangan penyerapan karbon dan berdampak pada peningkatan suhu global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan hutan perkebunan kelapa sawit tentunya dilakukan metode land clearing, dan dampak terbesar dari kegiatan land clearing adalah hilangnya potensi hutan yang bermuara pada peningkatan emisi Gas Rumah Kaca.

Potensi hutan dengan daya serap karbon yang tinggi digantikan dengan tanaman sawit yang mempunyai daya serap karbon yang rendah memicu peningkatan emisi GRK. Dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah kerusakan unsur hara dan kebutuhan air bagi tanaman kelapa sawit yang sangat tinggi. Hutan monokultur sawit mengakibatkan hilangnya fungsi hutan alam sebagai pengatur tata air dan penghasil air.

Pertumbuhan sawit yang membutuh­kan ransangan berbagai fertilizer se­perti pestisida dan bahan kimia lainnya akan menurunkan kualitas tanah secara periodic. Ekosisten akuatik akan terancam dengan adanya campuran polusi dari batok yang hancur, air dan residu lemak. ancaman munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. lni disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi di samping penggunaan pestisida secara massif.

Sistem perakaran tanaman kelapa sawit yang dangkal memiliki dampak negatif pada sistem tata air, peraka­rannya yang dangkal membuatnya tidak mampu menahan erosi tanah dengan baik, erosi tanah tanah yang terjadi dapat mengikis lapisan tanah yang subur bahkan bisa menyebabkan sedi­mentasi di Sungai dan saluran air per­akaran yang dangkal juga berpotensi pada peningkatan aliran permukaan menyebabkan genangan air, banjir, dan hilangnya air tanah yang hilang.

Kekuatiran lain adalah Perkebunan sawit dapat merusak, karena setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit yang ditinggalkan akan menjadi semak belukar dan penyimbang lahan kritis baru. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga menjadi­kan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.

Tingginya angka ekspor CPO ke luar negeri, nyatanya tidak terlalu berarti apa-apa apabila dilihat perputaran kapital secara keseluruhan. Karena melihat bahwa industri pengolahan hilir kelapa sawit masih sangat sedikit dimiliki di Indonesia, angka ekspor CPO dibandingkan dengan angka impor bahan-bahan hasil akhir dari sawit (shampoo, makanan beku hingga kosme­tika) secara ekonomi lebih rendah. lmpor produk-produk akhir tersebut toh akhirnya membuktikan bahwa Indonesia juga tetap tidak beruntung dari sisi ekonomi.

Dan kalaupun akan dibangun industri hilir untuk mengolah hasil kebun sawit menjadi bahan produksi turunan, maka kegiatan ini juga akan menimbulkan potensi peningkatan pencemaran baru bagi lingkungan.

Penggunaan Biodiesel sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil diperkirakan mempu­nyai dampak lingkungan yang positif. Biodiesel selain merupakan sumber energi terbarukan yang tidak beracun dan biodegradable, juga merupakan sumber energi yang emisi pencemarnya rendah, sehingga Biodiesel dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan. Namun, permasala­han utama dengan minyak kelapa seba­gai biodiesel terletak pada pengubahan peruntukan hutan tropis yang berfungsi untuk menjaga keragaman flora dan fauna serta iklim global menjadi lahan sawit mono kultur.

Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan lim­bah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dan iklim global dalam jangka waktu yang lama. Penggundulan hutan demi perkebunan kelapa sawit akan memicu perubahan iklim global dan pada akhirnya mengakibatkan kerusakan lingkungan secara global.

Hilangnya keaneka ragaman hayati akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.

Pulau Seram salah satu pulau di Provinsi Maluku secara administratif terdapat tiga Kabupaten yaitu Kabupa­ten Maluku Tengah dengan ibu kota Masohi serta dua kabupaten hasil pemekaran yaitu Kabupaten Seram Timur dengan ibu Kotanya Bula dan Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Ibu Kotanya Piru.

Pulau Seram sebagai pulau terbesar dalam gugusan pulau di Provinsi Maluku memiliki wilayah seluas ± 1.71 juta Ha memiliki alam pegunungan dan hutan tropis. Dari luas pulau tersebut, luas hutan pulau seram menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2015 luas hutan pulau seram secara keseluruhan adalah 716.236,07 ha yang terdiri dari Hutan Lindung (HL) seluas 97.730,68 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 187.273,41 Ha, Hutan Produksi (HP) 29.163,88 Ha, Hutan Produksi Konver (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL) 229.325,22 Ha dan dan Kawasan Konservasi Taman Nasional Manusela seluas 174.742,88 ha.

Pada tahun 2015 pemerintah Kabu­paten Maluku Tengah tercatat mener­bitkan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) Perkebunan kelapa sawit corporasi PT Nusa Ina Group dengan luasan lokasi perijinan seluas 10.470 Ha yang terdiri dari PT. Nusa Ina Agro Aketernate Ma­nise seluas 318 Ha, PT. Nusa Ina Agro Kobi Manise seluas 4.762 Ha, PT. Nusa Ina Agro Tanah Merah Manise seluas 2.550 Ha dan PT. Nusa Ina Agro Manusela Manise Manise seluas 2.840 Ha. Selain itu terdapat lokasi pabrik pada PT. Nusa Ina Agro Huaulu Manise. Selain PT Nusa Ina Group, Pemerintah Kabupaten Ma­luku juga menerbitkan Ijin IPK Perkebunan Kelapa Sawit bagi CV. Wana Karya Utama dengan luasan ± 3.000 Ha dan yang dikelola adalah ± 1.000 ha pada lokasi Aketernate Kecamatan Seram Utara Timur Seti.

Dari angka di atas secara persentase dapat digambarkan bahwa luas hutan pulau seram adalah 41,88 % dari luas pulau dan dari luas hutan tersebut tercatat 1,88% lahan hutan adalah lahan sawit yang ada di pulau seram.

Angka ini semestinya sudah menjadi warning bagi pemerintah daerah dalam kebijakan ke depan untuk menerbitkan izin perkebunan bagi pembanguna kelapa sawit, jika dipertimbangkan sisi positif dan negatif bagi masyarakat luas khususnya yang ada di pulau seram sebagai daerah penyangga bagi pulau Ambon sebagai ibu kota Provinsi Maluku.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di pulau seram sebabagi penun­jang sumber energi baru dan terbarukan memiliki nilai positif namun juga memiliki nilai negatif. Penyerapan tenaga kerja adalah sisi positif dari kegiatan pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Sisi negatif adalah terjadinya deforestasi atau hilangnya tutupan lahan dan ekosistem flora dan fauna didalamnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Akibatnya peningkatan emisi GRK, penyerapan karbon yang rendah berdampak pada iklim global, khusus di daerah sekitar perkebunan.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di bagian utara pulau seram dipastikan berimplikasi pada kerusakan lingkungan yang signifikan karena penebangan hutan dalam skala luas, degradasi tanah, pencemaran air dan hilangnya habitat alami.

Masyarakat lokal pulau seram bagian utara yang sebagian besar menggan­tungkan hidupnya pada hutan dan hasil hutan adalah pihak yang diruginak dan merasakan dampak.

Selain itu wilayah bagian utara pulau seram yang dijadikan sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit adalah daerah yang diprioritaskan sebagai lumbung pangan dan penyangga ketahanan pangan bagi pulau seram dan sekitarnya bahkan pulau Ambon, dengan perun­tukan bagi areal persawahan dan pertanian lainnya.

Dengan adanya perkebunan kelapa swit yang dibangun pada wilayah tersebut berpengaruh pada menurun­nya kualitas dan kuantitas sumber air untuk irigasi. Konflik sosial ekonomi antara pihak corporasi dengan mas­-ya­rakat lokal di sekitar perkebunan kerap terjadi. Konflik tanah adalah salah satu kasus yang terjadi antara PT. Nusa Ina Group dengan masyarakat lokal, akibat saling klaim dan menguasai lahan yang dijadikan areal perkebunan. Ketidak­adilan dalam pembayaran kompensasi kepada Masyarakat lokal adalah salah satu sumber konflik lainnya yang terjadi.

Pada kondisi ini Masyarakat merasa bahwa mereka tidak mendapat imbalan yang adil atas penggunaan tanah mereka, kerugian ekonomi. Dengan de­mikian menjadi catatan bagi pemerin­tah daerah sebagai pengambil keputu­san dan kebijakan untuk mempertim­bangkan sisi positif dan negatif dalam memberikan izin bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit khususnya di pulau seram. Masih terdapat sumber energi alternatif lain sebagai energi terbarukan yang bisa dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan keberlangsu­ngan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Salam Lestari. Oleh: Henny Pariama Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Manajemen Hutan Universitas Pattimura Ambon.