“GAK takut gue anak orang mati.” Begitu kalimat yang disampaikan seorang anak muda setelah melakukan penganiayaan yang videonya beredar di media sosial (medsos). Ada nada kuasa dalam kalimat tersebut. Pelaku penganiayaan menyadari bahwa dia menganiaya seseorang yang memiliki orangtua, tetapi pelaku tetap melakukan tindakan keji itu. Tindakan dan kalimat yang diucapkan tersebut memicu pertanyaan, mengapa dia dengan mudah menggunakan kekerasan? Di mana rasa kemanusiaannya? Di waktu hampir bersamaan dengan terjadinya kasus di atas, saya membaca sebuah artikel yang ditulis seorang pencinta sejarah dan budaya. Dalam artikel tersebut penulis menyampaikan nostalgia masa kecil ketika guru-guru beliau kadang memukul siswa dengan kayu penggaris.

Beliau menganggap kejadian itu wajar. Bahkan, menurut beliau, kebanyakan siswa berterima kasih atas cara didikan tersebut. Sebaliknya, beliau heran dengan situasi saat ini yang menganggap tindak kekerasan sekecil apa pun yang dilakukan guru di sekolah adalah sesuatu yang dilarang. Lebih lanjut, beliau menganggap transformasi pandangan tersebut merupakan agenda dunia Barat untuk menghancurkan budaya lokal non-Barat atas nama hak asasi manusia. Dua peristiwa di atas membuat saya merenung dan bertanya, sampai kapan kekerasan akan tetap dianggap sebagai kewajaran dan bahkan dijadikan pilihan dalam merespons masalah?   Memahami kekerasan World Health Organisation (WHO, 2002) mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan, dalam bentuk ancaman atau sudah dilakukan, terhadap diri sendiri, orang lain, maupun kelompok, yang mengakibatkan atau memiliki kemungkinan besar pada terjadinya cedera, kematian, kerusakan psikologis, gangguan perkembangan, atau kekurangan.

Kekerasan tidak hanya dalam bentuk tindakan langsung, tetapi juga bisa dalam bentuk tindakan yang tidak langsung tapi mampu membuat seseorang atau kelompok mengalami penderitaan. Johan Galtung (1969), akademisi studi perdamaian, menyatakan tindak kekerasan adalah aktualisasi yang dipilih seseorang ketika merespons suatu masalah. Tindak kekerasan bukanlah keniscayaan, melainkan pilihan. Jadi, seseorang sebenarnya memiliki kesempatan untuk memilih menggunakan tindak kekerasan atau tidak ketika menghadapi masalah.

Potensi pemilihan tindak kekerasan menjadi lebih besar pada mereka yang memiliki kuasa lebih besar dan ingin mempertahankan status quo atau tidak ingin kehilangan privilese. Tindak kekerasan juga dipilih mereka yang ingin mendapatkan hasil cepat tanpa berpikir mengenai dampak jangka panjangnya. Kita harus sadar bahwa dalam kehidupan tidak terjadi kesetaraan. Akan selalu ada pihak yang memiliki atau merasa memiliki kuasa lebih besar dari yang lain. Ujian terbesar bagi mereka yang memiliki kuasa lebih besar ialah, apakah mereka akan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk kebaikan bersama atau menggunakannya hanya untuk melindungi kenyamanan yang mereka miliki. Kembali ke dua kasus di awal.

Dalam kasus pertama kita melihat anak muda pelaku penganiayaan merasa tidak takut untuk menghi­lang­kan nyawa orang lain. Ayah pe­laku adalah pejabat di pemerintahan. Besar kemungkinan perasaan memiliki kuasa karena ayahnya adalah pejabat ikut memengaruhi pilihan dia menggunakan kekerasan. Dia tidak khawatir untuk dilaporkan ke pihak berwajib karena merasa punya kuasa dan akan aman. Di kasus kedua, cerita pencinta sejarah dan budaya mengenai guru-gurunya yang meng­gunakan kekerasan sebenarnya menunjukkan relasi kuasa yang tidak imbang antara guru dan siswa.

Baca Juga: Refleksi dan Identitas Guru

Guru yang tahu bahwa mereka memiliki kuasa lebih besar memilih penggunaan tindak kekerasan terhadap siswa. Itu karena dia ingin mendapat hasil yang cepat tanpa pernah berpikir dampak jangka panjang atas tindak kekerasan yang dipilihnya. Tidak semua siswa memiliki ketang­guhan seperti penulis di kasus kedua, yang mengatakan bahwa beliau tidak memiliki dendam dan malah berterima kasih kepada guru-gurunya.   Menumbuhkan damai Kita sudah memahami bahwa cara kekerasan adalah pilihan, bukan keniscayaan. Karena itu, hal paling utama yang harus kita lakukan untuk memutus kekerasan ialah melatih individu memilih cara-cara damai ketika menghadapi masalah. Selain itu, yang tidak bisa dilepaskan dan menjadi satu kesatuan ialah menumbuhkan nilai-nilai damai, termasuk nilai penghormatan atas makhluk hidup lain, terutama manusia. Selain keluarga–yang memiliki tanggung jawab terbesar dalam pendidikan anak–dan masyarakat, institusi pendidikan (terutama institusi formal) dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi juga memegang peran penting dalam memutus kekerasan.

Institusi pendidikan formal harus selalu mengedepankan penanaman nilai-nilai damai pada pembelajar. Karakter pembelajar yang damai bukanlah tujuan sampingan, tetapi harus menjadi fokus utama. Untuk memastikan terwujudnya hal tersebut, tentu­nya kita menuntut para pendidik, baik guru maupun dosen, untuk menginternalisasi nilai-nilai damai terlebih dahulu sehingga mereka akan menjadi panutan insan yang damai bagi pembelajar. Se­lanjutnya, keterampilan penye­lesaian masalah tanpa kekerasan sudah seharusnya juga diajarkan. Keterampilan penyelesaian masalah, seperti musyawarah, mencari solusi alternatif, dan mediasi, seharusnya bukan hanya dikenalkan sebagai istilah dan pengetahuan semata.

Pembelajar harus memiliki kesempatan untuk memprak­tikkannya. Ini adalah keteram­pilan-keterampilan hidup yang fundamental dan seharusnya dimiliki pembelajar karena keterampilan-keterampilan tersebut akan digunakan sepanjang hidupnya, apa pun bidang ilmu dan kerja yang mereka geluti. Terakhir, institusi pendidikan formal secara kelembagaan harus memiliki sistem, kebijakan, dan budaya yang bersumber pada perdamai­an.

Institusi pendidikan formal tidak bisa dan tidak boleh lepas tangan ketika ada pembelajar melakukan tindak kekerasan. Mengutuk tindak kekerasan maupun mem­beri sanksi kepada pembelajar pelaku tindak kekerasan bukan satu-satunya tindakan yang harus diam­bil. Lebih jauh, institusi pendidikan wajib mengevaluasi diri untuk meli­hat apakah mereka sudah menjadi tempat yang mampu memberikan pendidikan yang utuh, yakni pendi­dikan yang tidak hanya memberi­kan pengeta­huan dan keterampilan sesuai bi­dang keilmuan, tetapi juga me­mastikan pembelajarnya memiliki akhlak mulia yang tidak akan mem­bawa kemudaratan bagi diri sendiri, orang lain, dan makhluk hidup lainnya.

Terlalu banyak masalah di negeri ini yang bersumber pada pe­nyalahgunaan kuasa dan berujung pada pemilihan tindak kekerasan. Mereka yang me­miliki kuasa lebih besar tidak pernah dididik untuk menggunakan kekuasaannya dengan baik dan, lebih parah lagi, tidak diajari cara menyelesaikan masalah tanpa tindak kekerasan. Kita tidak boleh main-main dengan pendi­dikan karena hanya melalui pendidikan kita bisa memutus kekerasan.Oleh: Dody Wibowo Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma Dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada.