Provinsi Maluku yang lebih dikenal sebagai propinsi kepulauan, adalah  sebuah propinsi yang cukup luas dengan wilayah perairan lebih besar dari­pada daratan. Perairan, perikanan, perkapalan adalah sebuah pemandangan sehari hari yang tak pernah lekang oleh waktu dari kehidupan orang Maluku. Terdapat banyak kearifan lokal dari masyarakat Maluku yang masih tertata rapi dalam sebuah tatanan kehidupan orang Maluku. Berikut rincian ungkapan kata kata bijak orang Maluku:

  1. Potong di kuku rasa di daging. Artinya, salah satu anggota keluarga menderita, seluruh keluarga besar merasakannya.
  2. Sagu selempeng patah jadi dua. Satu anggota keluarga menderita / bahagia, semua anggota kelaurga merasakan hal yang sama.
  3. Ale rasa beta rasa. Artinya : sama sama merasa­kan kesusahan, ditanggung secara bersama sama. Tidak ada seorang diri yang menanggung beban semua orang.
  4. Lawamena Haulala. Artinya: maju terus pantang mundur.

Peribahasa peribahasa tersebut bukanlah hanya sederetan kata kata bijak belaka tetapi merupakan “urat nadi” kehidupan orang Maluku. Persaudaraan dan kekerabatan yang sangat kental tak luntur oleh pengaruh kuat perubahan jaman maupun karena dampak kerusuhan Januari l999. Suasana penuh toleransi keagamaan dapat dilihat dan dirasakan di propinsi kepulauan ini.

Dari generasi ke generasi diturunkan kearifan lokal budaya orang Maluku. Generasi muda Maluku juga berperan mewariskannya kepada anak cucu mereka, termasuk melestarikannya. Kehidupan orang basu­dara sangatlah dirasakan kental dalam kehidupan di dalam rumah, di sekitar lingkungan tetangga, sekolah, kampus maupun tempat bekerja dan tempat umum lainnya. Kehidupan persaudaraan nampak terukir indah ketika umat muslim Maluku merayakan Lebaran, maka umat Kristen Maluku yang berhubungan darah atau tidak berkunjung datang mengucapkan selamat Lebaran, saling bermaaf maafan.

Demikian pula ketika natal tiba, umat muslim bertandang mengucapkan selamat natal di rumah kerabat mereka yang merayakannya. Bahkan ketika terjadi kedukaan, musibah, bencana alam mereka saling tolong menolong, membantu semampu mereka, tanpa memandang perbedaan agama, budaya dan status sosial.

Lebih lanjut, mari kita berbicara tentang  kehidupan para kawula muda / generasi muda Maluku. Mayoritas generasi ini tertampung dalam wadah AMGPM. Se­sudah mereka dinyatakan selesai menempuh masa se­bagai remaja III-SMTPI, maka mereka harus berpindah ke dalam wadah organisasi yang lebih diatas yaitu AMGPM. Suatu wadah organisasi yang lebih mandiri, dibawah pengawasan bukahlah penga­suh tetapi disebut dengan Pembina.

Baca Juga: Komunitas Literasi Maluku: Antara Aksi dan Regulasi

Mereka dapat belajar tentang struktur organisasi secara matang. Seperti misalnya memimpin rapat, mencatat notulen, mengambil keputusan secara mufakat, memimpin berdoa, mengemukakan penda­pat, berargumentasi, bahkan sampai menyampaikan renungan singkat, dsb.

Pembentukan karakter yang mumpuni.

Meliputi membentuk mentalitas, paradigma, watak, semua­nya. Suatu proses yang terus menerus dilakukan, mengalir secara datar, tanpa pernah diadakan eva­luasi yang menyeluruh. Bahkan sampai sepuluh ta­hun terakhir belum pernah dilakukan evaluasi dan penelitian tentang kepemimpinan dalam wadah AM-GPM.

Penelitian yang dapat mengemukakan fakta organisasi secara realistis, obyektif, dan analitik untuk menjabarkan sampai dimana keefektifan, keajegan organisasi, sepak terjang sampai sumbangsih wa­dah ini untuk kepentingan masyarakat Kristen Maluku secara khusus maupun non Kristen secara umum.

Puncak perjalanan kehidupan rohani seorang remaja Kristen adalah terlibat dalam upacara sidi baru. Tentunya semua ini dapat berlangsung setelah yang bersangkutan mengikuti katekisasi selama lebih kurang 7–8 bulan. Kemudian dinyatakan/diijinkan melaksanakan acara sidi. Dibalik acara ini, terutama selama katekisasi, apakah remaja kita sudah benar benar paham tentang doktrin keselamatan atas hidup mereka kelak ? Seberapa banyak dari antara mereka yang mengikuti pelajaran katekisasi sambil bermain gadget / handphone.

Sedangkan Bpk/Ibu pembimbing memberikan renungan / pembekalan katekisasi dengan teratur dan bersungguh sungguh. Seberapa banyak dari orang tua mereka yang menghimbau putra putrinya untuk membaca buku buku rohani untuk lebih mengerti ten­tang doktrin keselamatan (Soteriologi), doktrin Alkitab (Bibliologi), doktrin Allah, dan Kristologi serta buku buku rohani lainnya.

Fakta fakta miris ini sangat memprihatinkan kita semua. Kebanyakan dari kita, hanya disibukkan untuk urusan menjahit pakaian kebaya pikul, baju baniang termasuk belanja besar untuk acara ibadah syukur setelah upacara sidi baru.

Semua anggota keluarga bahkan sampai keluarga besar hanya disibukkan dengan urusan belanja, memasak dan semua persiapan untuk acara ibadah syukur. Lebih menyedihkan lagi ketika acara syukur Sidi Baru, lagu lagu yang di alunkan adalah lagu dunia percintaan bukahlah lagu rohani. Ditambah lagi acara berlanjut sampai subuh dini hari diselingi dengan acara minum sopi bersama sampai mabuk berat. Bahkan kadang kadang terjadi perselisihan, percekcokan yang ujung ujungnya adalah perkelahian di antara individu individu yang terpicu oleh miras.

Semua hal ini sudah “terbiasa’ dan menjadi pemandangan yang lumrah untuk dimaklumi. Apakah sukacita sidi baru harus berpesta pora bahkan dengan minuman yang memabukkan. Timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik saya. Sidi Baru adalah sebuah puncak acara rohani, mengapa harus dirayakan dengan gaya pesta pora yang sangat bersifat duniawi ? Mungkin sebagian kita yang lahir dan besar di kota ini, tidak merasakan sebagai suatu “kegerahan batiniah” karena sudah terlanjur biasa, umum bahkan dianggap sebagai suatu kewajaran ?

Dampak miras lainnya adalah ketika para pria / suami ini pulang ke rumah, karena sudah terpe­ngaruh oleh alkohol yang berkadar tinggi, maka jika terdapat sedikit ketidak nyamanan suasana di rumah (urusan makan, bahkan sampai “tempat tidur”), maka serta merta keluar caci maki, perkelahian bahkan sampai pemukulan / KDRT). Bagi mereka yang masih bujang / single, gaya hidup sex bebas / free sex adalah sebagai salah satu pilihan yang semakin trendy.  Tak masalah dengan free sex, itu sudah biasa di antara kalangan anak muda !!! Begitu selo- roh salah seorang anak muda.

Tentunya, kita tidak menutup mata dengan gaya hidup anak muda dijaman now, free sex, hamil di luar nikah, narkoba, hedonistik, narsistik. Bahkan dari sepuluh pasang muda mudi yang menikah, mungkin 8 pasang adalah pasangan yang hamil di luar nikah termasuk free sex. Kondisi ini sudah terjadi bukan hanya di Maluku, bahkan di seluruh Indonesia.

Semakin miris bukan kehidupan para generasi muda kita. Tiga generasi di atas kita tentunya, hanya bisa geleng geleng kepala mengamati situasi dan kondisi kemerosotan moral yang semakin tak terben­dung.

Muncul sebuah pertanyaan lagi, apakah gaya hidup seorang anak muda harus ditandai dengan adanya sebuah kebebasan/freedom pada berbagai sisi. Dari kebebasan dalam pergaulan termasuk free sex, menentukan dan memilih arah serta tujuan masa depannya, sampai terdapat sebuah slogan, ini hidup gue ini cara gue  !!!

Orang tua, keluarga apalagi guru tidak berhak turut campur !!!

Fakta yang lebih menyedihkan, hal ini juga menerpa kaum muda gereja. Anak muda gereja tidak berbeda dengan kaum muda pada umumnya. Belum terjadi proses garam dan terang yang menerangi “dunia yang gelap”. Seperti salah satu satu bait syair lagu Mars AMGPM. Yaitu menjadi garam dan terang bagi dunia. Bagaimana bersedia menjadi garam dan terang jika gaya hidup anak muda dunia tidak berbeda dengan anak muda gereja??

Kehidupan sehari hari menunjukkan bahwa kaum muda dunia identik dengan free sex, miras, narkoba, dsb, maka anak muda gereja juga melakukan hal yang sama.

Apakah fakta miris ini sudah menjadi bahan pere­nungan bagi para pemimpin gereja termasuk para pendeta ??  Ataukah kembali menjadi suatu hal yang biasa, lumrah serta umum?? Notabene, tidak ada lagi aspek kesucian dalam pernikahan kristen, bahkan rumah tangga Kristen.

Jadi mau dibawa kemana generasi muda Maluku? Padahal kita semua menyadari, masa depan bangsa, negara, dan gereja berada di pundak mereka semua. Bagaimana memimpin bangsa dan gereja jika tidak dimulai de­ngan aspek kehidupan yang suci, kudus, dan takut akan Tuhan !!! Banyak pihak yang harus berperan dalam membina generasi ini.

Memang benar, pendidikan mo­ral dan karakter dimulai dari ke­luarga. Tetapi apakah setiap ke­luarga menjalankan hal tsb de­ngan sungguh sungguh ? Para ayah / suami menyerahkan mandat tsb kepada para ibu / istri. Karena ke­banyakan para pria ini berpenda­pat bahwa mereka sudah cukup sibuk dengan urusan pekerjaan dan mencari nafkah. Jika para istri bekerja, maka pendidikan moral dan karakter didapat dari Sekolah Minggu / Gereja. Yang hanya ber­langsung lX dalam seminggu.

Ada sebagian para orang tua yang menyerahkan proses pendi­dikan moral dan karakter ini kepada para guru di sekolah. Lalu, apakah semua ini sudah cukup memenuhi “porsi” pendidikan moral dan ka­rakter untuk anak anak kita ?

Padahal, idealnya pembentukan karakter dan moral haruslah dimulai dari keluarga / para orang tua, yang tinggal bersama para anak anak ini hampir sekitar l6 –l7 jam per harinya.

Pembentukan karakter dan moral ini dimulai dari proses keteladan para  orang tua itu sendiri. Ketela­dan dalam ucapan / tutur kata, sikap, perilaku sehari hari dari para orang tua masing masing kita, akan menjadi suri teladan yang se­cara otomatis akan ditiru / dicontoh oleh para anak cucu kita.

Ketika para opa dan oma rajin datang beribadah, para orang tua rajin membaca Alkitab dan beriba­dah maka anak anak kita ketika di suruh pergi ke gereja, mereka me­lakukannya. Tetapi jika kita jarang bahkan tidak pernah beribadah maka anak anak kita ketika diminta untuk beribadah maka jawaban mereka: lho papa dan mama seng pernah pi greja kenapa suruh ka­tong pi beribadah !!!

Sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang sederhana, rea­listis dan sangat mengena / meng­kri­tik perilaku kita sehari hari kita. Perilaku yang berhubungan de­ngan keteladanan. Karena sikap keteladanan itu berasal dari atas ke bawah artinya dari generasi di­atas kita (opa & oma, para orang tua) ke generasi di bawah kita (para anak dan cucu kita.

Bukan se­baliknya dari dari bawah ke atas, artinya dari para anak muda untuk menjadi teladan bagi para orang tua, opa dan oma. Sangatlah tidak mungkin terjadi terbalik.

Mirisnya, hal itulah yang terjadi dari tahun ke tahun. Ketika para pe­muda pemudi sudah menjalani sidi baru. Berapa persen dari mereka yang sudah mengikuti sidi baru dalam minggu dan bulan berikut­nya, masih tetap aktif menghadiri peribadahan di hari minggu sam­pai dalam wadah AM-GPM bahkan ibadah unit dan kunci usbu.

Sebuah paradigma yang terben­tuk setelah upacara sidi baru ber­arti saya sudah menerima anuge­rah keselamatan dan diselamat­kan. Tanpa perlu menghiraukan ke­hadiran dalam peribadahan hari minggu maupun hari lainnya seba­gai bentuk lain pembinaan kehidu­pan rohaniah selanjutnya yang berlandaskan firman Tuhan.

Fakta menunjukkan kehadiran di gereja dalam peribadahan minggu, karena di minta oleh para orang tua, para pemuda pemudi ini pergi kegereja dengan membawa hand­phone di saku celana atau di dalam tas mereka. Jadi pergi ke gereja karena sebuah kewajiban belaka bukan karena mereka sendiri (motivasi internal) yang ingin pergi beribadah berjumpa de­ngan Tuhan Yesus sang pencipta mereka.

Menyembah, berdoa, me­muji Tuhan, mendengarkan firman Tu­han. Semua aspek dalam suatu peribadahan dijalani bukan karena terpaksa/di suruh oleh para orang tua tetapi karena timbilnya kesa­daran dari diri sendiri. Hal inilah yang rindu untuk terjadi dalam ke­hidupan setiap pemuda pemudi setelah mengiktui upacara sidi baru.

Jadi sebenarnya mau di bawa kemana arah generasi muda Ma­luku ? Mengikuti arus dunia, sama dengan gaya hidup para anak muda kebanyakan. Ataukah para generasi muda maluku berani untuk berbeda ?

Ketika berani untuk berbeda, berarti siap menanggung semua resiko / konsekuensi atas tindakan tersebut. Walau akan dicibir seba­gai individu yang sok suci, kuno, tidak gaul, dsb. Mampukah mereka bertahan dalam kebera­daan se­bagai pribadi yang melawan arus deras globalisasi yang tidak ter­bendung lagi? Mampukah para orang tua tetap bertahan menjadi suri teladan bagi para generasi muda maluku?

Tidak perlu kita bertanya pada rumput yang bergoyang ? Tetapi marilah ktia betanya pada hati nurani kita masing masing ? Bagaimana saya sudah menjadi teladan yang terbaik bagi anak dan cucu kita ? Sampai dimana pengaruh kita selaku para orang tua, oma dan opa menjadi suri teladan bagi para generasi muda Maluku ?

Kiranya tulisan kecil ini dapat menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Semoga !!!

Berikut terdapat deretan kata kata bijak dalam bahasa Inggris yang dapat kita renungkan ber­sama sama :

A man without ambition is like a bird without wing.

A great man is someone who can appreciate justice, policy, and humanity.

Every man dies but not every man lives (Brave heart).

The brave man not only the man can fight his enemies, but also the man can fight his desire.

A wise man is strong and a knowledge man is brawny, they are defeatless.Oleh: Debora Harsono Loppies S.Pd. M.Pd. Dosen FAKES—UKIM. (Alumni Univ. Negeri Malang dan Univ. Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogya) (*)