BERITA tentang bebasnya 23 narapidana (napi) korupsi ditanggapi serius berbagai pihak. Seolah para napi itu tidak berhak untuk bertobat atau menghirup udara bebas, sedangkan kebebasan mereka sungguh-sungguh didasarkan pada hukum yang sah dan berlaku.

Konvensi internasional tentang HAM dan the standard minimum of the treatment of prisoners 1955 (SMR) telah menegaskan bahwa negara tidak berhak memperlakukan seorang narapidana melebihi ketentuan UU yang berlaku. Selain itu, setiap orang tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang tanpa pembatasan yang diatur dalam UU.

Ketentuan tersebut menegaskan segala sesuatu pernyataan ataupun sikap masyarakat hanya dibolehkan sebatas yang diperkenankan berdasarkan UU yang berlaku. Di luar itu termasuk overcriminalization atau overpenalization atau miscarriage of justice. Dalam bahasa sehari-hari berarti bertindak zalim, mereka termasuk kaum yang dizalimi. Dalam agama apa pun yang dianut di Indonesia bagi kaum beragama, Tuhan membuka pintu seluas-luasnya kepada umat-Nya yang bertobat, kecuali sakramatul maut menjemputnya.

Prihatin melihat reaksi masyarakat yang menolak kebebasan 23 napi korupsi yang demi hukum harus dibebaskan berdasarkan UU yang sah dan berlaku di Indonesia. Masa lalu memang tidak dapat dilupakan, tetapi juga tidak dapat dimaafkan dan dipermainkan. Jika kita hitung rata-rata lamanya hukuman napi korupsi lebih dari empat tahun dikelilingi jumlah hari menjalani di dalam lembaga pemasyarakatan, mungkin di antara kita tidak akan ada yang mampu dan sanggup menjalaninya dengan baik. Sekalipun itu konsekuensi dari perbuatan mereka.

Menteri Hukum dan HAM telah lama menyampaikan masalah over beban hunian LP, antara 17 ribu dan 20 ribu narapidana. Biaya makan narapidana per hari sebesar Rp71 ribu. Dengan begitu total biaya yang diperlukan untuk sejumlah napi tersebut Rp1,207 miliar per hari. Jika koruptor dihukum empat tahun, negara menanggung beban anggaran sebesar (4 x 12) x Rp2.550.000.000 = Rp122.400.000.000. Dengan merujuk perhitungan anggaran negara yang harus dikeluarkan tersebut untuk biaya makan napi selama menjalani hukuman, sangat naif jika kelompok masyarakat tertentu masih menuntut atau meminta pemerintah menghapuskan revisi, asimilasi, atau bebas bersyarat.

Baca Juga: SBY dan Pemilu Curang

Keadaan lain yang harus menjadi perhatian ialah, baik SMR maupun ICCPR memiliki karakteristik kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila. Di dalam surah Al-Maidah ayat 2 telah dikatakan, ‘Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan sikapmu menjadi tidak adil’.

Reaksi negatif orang per orang atau kelompok tertentu dalam masyarakat terhadap para napi korupsi itu menampakkann kebencian yang tidak terkira. Sudah sebaiknya dihentikan. Pemeo sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya, memang, benar untuk suatu hal. Akan tetapi, hal itu tidak selamanya benar untuk lain hal, terutama terhadap keputusan hukum/hakim. Ayat suci surah Al-Maidah dan Pancasila sejalan dengan dua ketentuan konvensi internasional PBB tersebut.

SMR telah diakui sejumlah negara merupakan parameter perlakuan minimum bagi narapidana selama menjalani hukuman mereka, dengan anggapan napi masih memiliki hak-hak asasi termasuk perlindungan hak untuk memperoleh perlakuan yang bermartabat selama menjalani masa hukuman mereka. Perkembangan terkini mengenai perlakuan terhadap napi, SMR justru merupakan cermin dari peradaban umat manusia abad ke-20-ke-21 yang telah dimulai dengan ICCPR dan telah diberlakukan dengan UU Nomor 12 Tahun 2005.

Pemidanaan terhadap napi hanya terjadi setelah mereka menjalani proses kriminalisasi sebagai tersangka dan terdakwa selama 480 hari sejak tahap penyidikan sampai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itu dengan segala risikonya bagi tersangka/terdakwa. Tampak luar dari perlakuan negara dengan hak remisi, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, dan lepas bersyarat merupakan perlakuan ‘istimewa’ terhadap napi yang diperoleh secara mudah seolah tanpa persyaratan tertentu. Sementara itu, di balik hal tersebut terkandung ‘penderitaan/penjeraan’ dalam setiap menit/detik kehidupan napi menjalani hukuman mereka.

Atas kondisi itu, kiranya pengamat baik awam maupun ahli/pemerhati hukum seyogianya dengan bijak dan dasar perikemanusiaan perlu merenung. Lebih sering mengunjungi LP dan berdialog dengan napi sebelum secara bebas dan lepas melontarkan cemoohan. Jargon yang diusung ketika awal reformasi tentang pemberantasan korupsi, zero tolerance to corruption tidak relevan.

Bahkan bukan saatnya lagi untuk dikembangkan. Itu disebabkan baik dari aspek finansial negara maupun aspek tujuan penjeraan selama 70 tahun merdeka tidak pernah tercapai dan sukses. Alih-alih berhasil, sebaliknya negara mengalami beban keuangan yang signifikan melebihi hasil pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi. Bahkan telah terjadi kemerosotan moral dalam kehidupan napi. Sementara itu, kontribusi pemasyarakatan kepada negara tidak memberikan efek jera dalam kehidupan napi dan tak memberikan andil nyata termasuk pemasukan keuangan negara.

Arah politik hukum pidana, khususnya politik pemidanaan, tidak lagi semata-mata penjeraan-keadilan retributif saat ini, tetapi pemulihan status harkat martabat narapidana-keadilan restoratif yang berbasis Pancasila. Perkembangan terkini mengenai perlindungan hak asasi telah diakomodasi di dalam naskah RUU KUHP/2019-2020 dengan maksud agar sistem hukum pidana telah mengalami perubahan mendasar mengenai pemidanaan dan hak asasi tersangka/terdakwa dan terpidana. Selain itu, ada perlakuan yang sama di muka hukum dengan tujuan mencegah kriminalisasi dan penalization yang telah merugikan harkat dan martabat kemanusiaan sesama warga masyarakat. Oleh: Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (*)