MANTAN Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Maluku, dokter Hendrita Tuanakotta, diduga merugikan negara sebesar 800 juta rupiah dalam kasus korupsi pembayaran jasa medical check up calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah pada Pilkada 2016 hingga 2020 di RS Haulussy Ambon.

Peran Tuanakotta ini mulai dibeberkan Jaksa Penuntut Umum Kejati Maluku dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Orpha Marthina, di Pengadilan Tipikor ambon, Selasa (30/5).

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum menjelaskan, berdasar­kan Surat Keputusan Ikatan Dokter Indonesia Nomor 02452/PB/A.4/09/2018 masa bakti tahun 2018-2021 yang mengelola anggaran serta mengatur jalannya proses medical check up calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten/kota dan Provinsi Maluku Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2020.

Ia didakwa melakukan penyimpangan dengan tujuan mengun­tungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.829.299.698. Terdakwa diduga telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sebagai Ketua IDI Wilayah Maluku dalam melakukan kegiatan pengelolahan anggaran MCU calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten/kota dan Provinsi Maluku pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2020.

Selain itu, terdapat kegiatan penggunaan keuangan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sehingga mengakibatkan kerugian keuangan atau perekonomian negara sejumlah Rp.829.299.698.

Hal ini berdasarkan laporan hasil audit Perhitungan Kerugian Ke­ua­ngan Negara atas perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Pemba­yaran Jasa Medical Check Up Pemilihan Calan Kepala Daerah dan Wakil Ke­pala Daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi Maluku Tahun 2016 s/d 2020 Nomor: PE.03.02/R/SP1915/PW25/5/2022 tanggal 24 Oktober 2022.  JPU mendakwa terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Subsider sebagaimana diatur dan diancam pidana pada pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang no 31 tahun 1999.

Diketahui, pada tahun 2017 tercatat dilaksanakan tiga Pilkada, yang proses MCU dilaksanakan di RS Haulussy yakni, Kota Ambon dan KKT. Selanjutnya pada tahun 2018 lalu, dilaksanakan kegiatan serupa untuk Pilkada Kota Tual, Maluku Tenggara dan Pilgub Maluku.

Kemudian pada tahun 2020, tercatat empat kabupaten yang melaksanakan Pilkada, dimana seluruhnya melakukan medical check up di RS Haulussy, yaitu Kabupaten Buru Selatan, Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya dan Seram Bagian Timur.

Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Tuanakotta karena telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sebagai Ketua IDI Wilayah Maluku. Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.

Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, be­ralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan. Makin besar ke­­kuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan korupsi.

Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai kekuasaan pribadi. Karena itu dapat dipakai untuk kepen­tingan pribadi. Akibatnya, pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntukkan baginya secara bebas.

Dengan demikian, kasus tindak pidana korupsi dengan modus penyalah­gunaan wewenang jabatan bersifat multidimensi dan kompleks. Sekalipun tindak pidana korupsi bersifat multidimensi dan kompleks, akan tetapi ada satu hal yang merupakan penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi khususnya dalam birokrasi, yaitu kesempatan dan jabatan  atau kekuasaan. Seseorang akan cenderung menyalahgunakan jabatan atau kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, apabila mempunyai kesempatan. (*)