AMBON, Siwalimanews – Lagi-lagi kebijakan Penjabat Bupati Seram Bagian Barat Andri Chandra As’aduddin dikecam para pemimpin umat di Maluku.

Jika sebelumnya, Uskup Diosis Amboina, Mgr Seno Ngutra ber­sama para pemimpin umat mela­porkan ke Mendagri melalui Gu­bernur Maluku, kali ini kebijakan dan tindakan mantan Kepala BIN Sulteng yang dinilai mencederai toleransi di Maluku, dikeluhkan para pemimpin umat yang terdiri dari, Ketua MUI Maluku, Abdu­llah Latuapo, Ketua Walubi (Perwakilan Umat Budha Indonesia) Provinsi Maluku, Wilhelmus Jauwerissa dan Kepala Kantor Wilayah Agama Maluku H Yamin.

Mereka melaporkan kelakuan karteker bupati yang tak lazim tersebut ke DPRD Maluku, Selasa (20/9).

Saat mendatangi Baileo Rakyat, Karang Panjang, mereka melapor­kan kebijakan dan tindakan As’aduddin yang dinilai intoleransi di Kabupaten Saka Mese Nusa itu.

Kedatangan pemimpin umat itu ditemui langsung Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury serta pimpinan dan anggota Komisi IV yang diketuai Samson Atapary, di ruang Ketua DPRD Maluku.

Baca Juga: Tiga Komisioner Bawaslu Maluku Ditetapkan

Ketua Komisi IV DPRD Maluku, Samson Atapary usai pertemuan tersebut mengungkapkan, para pemimpin umat ini menyampaikan berbagai persoalan yang terkait dengan kebijakan penjabat Bupati SBB yang berpotensi menciptakan ketidakharmonisan umat keagamaan di Kabupaten SBB.

“Mereka menyampaikan berbagai persoalan yang dinilai tidak kon­dusif terkait dengan kebijakan pen­jabat Bupati SBB yang berpotensi menciptakan ketidakharmonisan umat keagamaan, kata mereka intoleransi kebijakan yang dilakukan oleh Penjabat Bupati,” ungkap Atapary.

Dikatakan, beberapa hal yang diadukan pimpinan umat beragama, kata Atapary diantaranya, terkait dengan penataan aset yang berhubungan dengan 12 tahun lalu Pemda SBB memberikan pinjam pakai mobil operasional.

Pimpinan umat beragama  tidak keberatan jika mobil operasional ditarik oleh pemda dalam kaitan dengan penataan aset, tetapi cara yang dilakukan oleh seorang penjabat bupati sangat tidak etis.

“Misalnya mobil pastor itu mereka ambil lalu dorong lalu beberapa di Ketua Klasis termasuk MUI, memerintahkan Satpol PP menarik tanpa suatu komunikasi dan koor­dinasi yang baik padahal mereka ini pimpinan lembaga keagamaan,” jelas Atapary.

Menurutnya, mobil operasional tersebut tidak dimintakan oleh tu pemimpin umat beragama tetapi atas inisiatif dari Pemkab SBB dibawah kepemimpinan Bupati Jacobus Putileihalat saat itu.

Bahkan, Ketua MUI dan Wakil Pastor di Kabupaten Seram Bagian Barat yang hendak koordinasi dengan penjabat bupati tetapi tidak dilayani secara baik oleh Penjabat Bupati.

“Mereka tunggu dari pagi sampai malam padahal ini koordinasi untuk kepentingan Pesparani di Tual yang merupakan event resmi, mestinya Penjabat harus paham itu,” tegas Atapary.

Selain itu, Kepala Kantor Wilayah Agama, H Yamin juga mengeluhkan pengelolaan haji yang agak berbeda dengan kabupaten lain, padahal dana hibah dari Pemda ditujukan kepada kantor agama sebagai penyelenggara haji.

Mestinya, dana hibah yang diberikan oleh pemkab tersebut diserahkan dan dikelola secara maksimal oleh panitia haji.

“Masa ini sampai ada pejabat kesra yang datang dan minta tas jamaah haji, artinya mekanismenya tidak sesuai dengan apa yang diharapakan,” bebernya.

Tak hanya itu, untuk acara MPP AMGPM yang sedianya akan digelar di Kaibobu dan dimintakan Penjabat Bupati memfasilitasi akses jalan, tetapi tidak ditanggapi oleh Penjabat Bupati sehingga disampaikan kepada gubernur dan diatasi.

Kebijakan As’aduddin ini telah menciptakan anomali dan meng­akibatkan benturan di akar rumput, karena sudah kaitan dengan lem­baga agama padahal tugas bupati melakukan pembinaan kepada umat beragama, termasuk melalui lembaga keagamaan.

“Kalau sudah terjadi seperti ini, maka bagaimana membangun SBB yang merupakan bagian dari umat keagamaan, mestinya beliau tahu jabatan bupati ini jabatan sipil maka harus menyesuaikan dengan karak­ter masyarakat disana,” ucapnya.

Atapary menegaskan, penjabat bupati harus mengetahui kondisi sosial di Maluku termasuk di SBB, bahwa dalam kaitan dengan pemba­ngunan tidak bisa diserahkan kepa­da Pemkab saja, tetapi sinergitas dengan lembaga informal baik keagamaan, kemasyarakatan mau­pun adat menjadi penting.

“Mestinya bupati yang latar belakang intelijen harus memahami untuk bagaimana cara memimpin dengan berbagai komponen, agar orang merasa terwakili untuk saling membangun SBB yang masih tertinggal jauh dari berbagai aspek,” cetusnya.

Sementara itu para pemimpin umat yang ditemui wartawan untuk mewancarai menolak berkomentar karena sudah melaporkan ke DPRD Maluku. “Nanti dengan DPRD saja,” ujar mereka.

Pahami Kultur

Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku Amir Rumra mengingatkan As’aduddin untuk memahami kultur masyarakat dalam pengambilan setiap kebijakan.

Menurutnya, sebagai laborato­rium kerukanan umat beragama, maka setiap momentum kegiatan keagamaan baik MTQ, Pesparani maupun Pesparawi biasanya men­dapatkan dukungan penuh dari pemerintah daerah dalam bentuk pendanaan.

Kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Jumat (16/9) lalu, Rumra menyayangkan, kebijakan menarik sejumlah fasilitas yang diberikan kepada pemuka agama yang dilakukan oleh penjabat bupati dengan alasan apapun.

Menurutnya, sebagai unsur yang menjaga kerukunan dan kedamaian, mestinya para tokoh agama difasi­litasi dan dijaga dengan baik, sebab Maluku aman hingga saat ini salah satunya berasal dari kontribusi tokoh lintas agama.

Fasilitas yang diberikan kepada pemuka agama kata Rumra, bukan digunakan untuk kepentingan pribadi tetapi sering digunakan un­tuk menyelesaikan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti konflik sosial untuk men­ciptakan situasi kamtibmas yang kondusif.

Dengan adanya polemik ini, Rumra pun mengingatkan Mendagri untuk lebih teliti dalam penempatan setiap penjabat pada daerah-daerah yang memiliki kultur seperti di Maluku, sebab jika salah penem­patan penjabat, maka akan meng­gangu kenyamanan masyarakat.

Diminta Copot

Diberitakan sebelumnya, Tinda­kan yang dilakukan karteker Bupati Seram Bagian Barat Andri Chandra As’aduddin yang dinilai mencederai tolerasi di Maluku, membuat sejum­lah kalangan mengecamnya.

Desakan pencopotan Karteker Bupati Seram Bagian Barat yang dinilai menciderai toleransi ber­agama di Maluku, ramai disuarakan berbagai komponen masyarakat.

Mereka bahkan meminta mendagri segera mencopot mantan Kepala BIN Sulteng ini dari jabatannya sebagai Karteker SBB.

As’aduddin yang baru menjabat lima bulan sejak dilantik Gubernur Maluku, pada 24 Mei lalu, dinilai tidak memahami kultur dan budaya masyarakat Maluku dan mencederai toleransi beragama di Kabupaten Berjuluk Saka Mese Nusa tersebut.

Presidium hubungan masyarakat katolik demisioner PMKRI Cabang Ambon, Leonardo Balia mengung­kapkan, PMKRI Cabang Ambon tidak setuju dengan tindakan dan kebijakan penjabat Bupati SBB yang menarik alat transportasi dari tokoh agama dan jadwal pertemuan tokoh agama.

PMKRI dalam rilisnya kepada Siwalima meminta, Gubernur Malu­ku, Mendagri dan Presiden menco­pot penjabat Bupati SBB karena dinilai melakukan pelanggaran berat.

Juga Desak Copot

Ketua GMKI Cabang Ambon, Josias Tiven mengungkapkan, Maluku dikenal sebagai provinsi yang toleran. Keharmonisan dan kehidupan orang sudara itu tercer­min lewat sikap saling menerima antar sesama agama yang ada.

Dalam rilisnya kepada Siwalima, Rabu (14/9) dikatakan, pemerintah sebagai pelayan umat mestinya menyadari tugasnya dalam menun­jang  hal-hal positif yang telah membudaya dalam kehidupan antar umat beragama. Partisipasi peme­rintah meresponi dan mendukung suksesnya kegiatan-kegiatan keaga­maan itu merupakan hal wajib dan prinsipil.

Tokoh agama, kata dia, simbol representatif dari agama-agama yang ada di Maluku, sehingga perlu mendapatkan penghargaan dari pemerintah, bukan sebaliknya.

GMKI menilai, sikap yang dilaku­kan oleh Penjabat Bupati SBB merupakan suatu tindakan yang telah mencederai hakekat kehidupan orang basudara dalam bingkai keagamaan di Maluku. Tindakan ini harus diberikan teguran keras kalau perlu dicopot saja dari jabatannya. Agar jangan memberikan dampak buruk dalam kehidupan beragama di Maluku yang telah dibangun di atas dasar persaudaraan.

Lapor Mendagri

Diberitakan sebelumnya, pemim­pin umat beragama di Maluku meng­ambil langkah tegas, dengan menyu­rati Menteri Dalam Negeri Tito Kar­navian, menolak As’aduddin untuk terus menjadi penjabat di SBB.

Mereka menganggap As’aduddin bertidak over acting dan mencederai toleransi umat beragama di kabu­paten berjuluk Saka Mese Nusa itu.

As’aduddin yang baru bertugas enam bulan di Kabupaten SBB, sejak dilantik Gubernur Maluku, Murad Ismail 24 Mei 2022 lalu, dinilai telah mencederai toleransi umat beragama di Maluku dengan tindakan dan kebijakannya.

Demikian diungkapkan, Uskup Diosis Amboina Mgr Seno Ngutra, kepada wartawan di ruang kerjan­nya, Selasa (13/9) pagi.

Kata Uskup, langkah tegas ini diambil pemimpin umat beragama di Maluku, meliputi agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha karena ada beberapa fakta yang dilakukan oleh penjabat Bupati SBB.

Selain menyurati Mendagri, tembusan surat penolakan terhadap Penjabat Bupati SBB itu juga tembusannya disampaikan kepada Presiden Joko Widodo serta Menteri Sekretaris Negara.

Uskup menegaskan, para pemim­pin umat juga sudah bertemu langsung dengan Gubernur Maluku, Murad Ismail dan menyampaikan berbagai keluhan terkait dengan tindakan yang dilakukan penjabat Bupati SBB yang dinilai mencederai toleransi di Maluku.

Adapun sejumlah fakta diungkap­kan Uskup yaitu, pertama, pihak GPM mengajukan permohonan untuk pembukaan jalan di Desa Kaibobu, menjelang kegiatan AM­GPM di sana, tetapi penjabat bupati menolak itu.

Akhirnya melalui Ketua Sinode menyampaikan ke gubernur dan direspon sehingga jalan tersebut bisa dibangun.

Kedua, saat para pimpinan agama di SBB ingin bertemu penjabat bupati, tak diberi ruang dan waktu untuk bertemu. Pimpinan umat ini menunggu dari pukul 08.00 WIT hingga pukul 19.00 WIT, namun penjabat bupati tidak juga menemui mereka.

Ketiga, yang paling meresahkan yakni penjabat bupati memperta­nyakan keabsahan lembaga Pespa­rani.

Walaupun anggarannya telah dicairkan kata Uskup, yang mem­buat dirinya marah yakni seorang penjabat bupati mempertanyakan keabsahan Pesparani, padahal itu merupakan kegiatan keagamaan yang sesuai dengan Permenag.

Karenanya kata Uskup, seorang pejabat siapapun tidak bisa menga­takan bahwa ini tidak sah, apalagi penjabat mempermasalahkan SK yang diberikan oleh almarhum mantan Bupati Yasin Payapo kepada lembaga itu, bahwa SK itu tidak berlaku lagi, sebab mantan bupati telah meninggal dunia.

Berdasarkan kejadian-kejadian ini, jelas Uskup, maka kelima pemim­pin agama di Maluku telah menye­pakati akan menempuh cara-cara yang legal untuk menyatakan keresahan umat terhadap Penjabat Bupati SBB kepada Mendagri deng­an menulis surat mosi tidak percaya atau penolakan terhadap penjabat Bupati SBB kepada Mendagri dan tembusannya akan disampaikan ke Presiden dan Mensesneg.

Lagi kata Uskup, tindakan ini diambil para pemimpin umat di Maluku, sebab kerjasama antara pemerintah dan para pemimpin agama di Maluku yang selama ini sudah sangat bagus terjalin, maka tidak ingin seorang penjabat men­cidrai modernasi dan toleransi antar umat beragama yang sudah terbina dengan baik.

Berikutnya lanjut Uskup,  penjabat bupati juga telah menarik semua mobil operasional dari para pemim­pin umat beragama di Kabupaten SBB, yang diberikan oleh para bupati terlebih dahulu dengan alas­an ada penataan aset serta penerti­ban dari KPK.

Katanya, cara penarikan mobil operasional tersebut dinilai tidak beretika, dimana penjabat mengirim­kan petugas Satpol PP dengan seragam lengkap turun ke Kantor MUI, Klasis dan Pastor dengan membawa berbagai surat, kemudian diperintahkan untuk ditandatangani dan setelah itu kenderaaan opera­sional tersebut ditarik Satpol PP ke Kantor Bupati.

Ditambahkan, para pemimpin umat bersepakat tidak tergantung dari kenderaan-kenderaan itu tetapi tin­dakan dan kebijakan yang dilakukan penjabat Bupati SBB ini sama saja dengan tidak menghargai para pemimpin umat khususnya di SBB.

Bantahan

Penjabat Bupati SBB, Andri Chandra As’aduddin yang dikonfir­masi Siwalima membantah adanya tindakan dan kebijakan yang men­cederai toleransi di Maluku.

Melalui pesan Whatsapp kepada Siwalima, Selasa (13/9) malam, As’aduddin mengungkapkan, pihaknya mendukung penyeleng­garaan Pesparani dengan anggaran sebesar Rp200 juta.

Kata penjabat, dirinya memperta­nyakan mengapa hanya dianggar­kan 200 juta di APBD, sedangkan proposal yang diajukan Rp650 juta.

Pencairan anggaran Rp200 juta itu, lanjut dia, bukan karena dipre­sure, tetapi sudah mendapatkan jawaban bahwa Pesparani sama dengan organisasi masyarakat yang lain, dimana kegiatan mereka bisa berjalan tanpa bantuan pemda.  Dimana bantuan pemda itu hanya bersifat memudahkan atau meri­ngan­kan dan bukan menanggung penuh.

“Pesparani didukung 200 juta, beta terus tanya kenapa hanya dianggarkan 200 juta di APBD, sedangkan proposal yg diajukan ada 650 juta. Cairnya dana 200 juta bukan karena dipresure, tapi beta sudah dapat jawaban bahwa Pes­parani sama dengan ormas yang lain, kegiatan mereka seharusnya bisa berjalan tanpa bantuan pemda, bantuan dari Pemda bersifat memu­dahkan atau meringankan, bukan menanggung full 100% seluruh kebutuhan Pesparani. Makanya di APBD hanya di anggarkan 200 juta di APBD 2022, penetapan ini dite­tapkan oleh mantan  bupati,” jelad penjabat.

Menyangkut SK mantan Bupati Yasin Payapo tentang terbentuknya lembaga Pesparani, bukan mengikuti setiap event Perparani, sehingga SK itu seharusnya dievaluasi sesuai dengan kondisi yang berkembang.

Terkait dengan mobil operasional yang dipakai pemimpin beragama, ungkap penjabat, tidak ada doku­men yang menunjukkan bahwa ada mobil operasional keagamaan, bahkan berita acara pinjam pakai saja tidak ada. pajak kenderaanpun tidak dibayar oleh pemakai.

Dirinya menertibkan itu karena tidak ada lagi temuan terkait dengan tata kelola aset mesin pemda.

Sedangkan untuk pihak ketiga yang ingin pinjam pakai pasca penertiban administrasi, lanjutnya, bisa meng­ajukan permohonan pinjam pakai sesuai prosedur biro­krasi dan itu bukan sewenang-wenang.

Terkait dengan masalah jalan Kai­bobi-Waisar dibangun dengan kons­truksi hotmix, tetapi nyatanya diba­ngun dengan lapen, sehingga tidak tepat jika dirinya persoalkan hal itu.

Selanjutnya menyangkut dengan menerima tamu hingga pukul 21.00 WIT, dirinya membantah hal ini karena tidak pernah ada tamu yang ditunggu yang dimulai pukul 09.00 WIT.

Dia menambahkan, sama sekali tidak merasa mencederai toleransi beragama, karena setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan salam pem­bukaan sambutan selalu diungkap­kan. (S-20)