AMBON, Siwalimanews – Sidang lanjutan praperadilan pe­ngusaha Ferry Tanaya terhadap Kejati Maluku kembali digelar, Jumat (18/9) di Pengadilan Negeri Ambon.

Dalam sidang dengan agenda replik terhadap jawaban Kejati Ma­luku atas permohonan praperadilan itu, Herman Koedoeboen selaku ketua kuasa hukum Ferry Tanaya menegaskan, jawaban jaksa yang  me­muat semua materi keterangan saksi dan ahli bersifat perdata. Jaksa tak menunjukan bahwa lahan Ferry Tanaya yang dibeli PLN adalah aset negara.

“Termohon harusnya dapat mem­bedakan pemeriksaan yang bersifat perdata. Harusnya termohon menun­jukan bukti buku aset negara dan neraca barang milik negara,” tandas Koedoeboen.

Koedoeboen membantah semua jawaban dari pihak Kejati Maluku selaku termohon dalam praperadilan ini. “Pemohon menolak dengan te­gas seluruh dalil-dalil jawaban ter­mohon,” tegasnya.

Koedoeboen juga mengungkap­kan, penyidikan kasus ini catat secara hukum. Sebab, faktanya, ti­dak didahului dengan adanya surat perintah penyidikan (SPDP). Namun setelah diterbitkannya Surat Perin­tah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Nomor: Print-02/Q.1/Fd1/05/2020 tertanggal 26 Mei 2020, barulah diterbitkan SPDP yang disampaikan kepada Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK).

Baca Juga: Eks Sekda Buru Tuding Dakwaan Jaksa Kabur

“Sehingga surat itu tidak memiliki kualitas pertanggungiawaban seca­ra hukum dan dipandang sebagai tindakan administratif yang tidak pernah ada,” tandasnya.

Klaim Punya Bukti

Sebelumnya Kejati Maluku meng­klaim memiliki bukti yang cukup un­tuk menetapkan Ferry Tanaya seba­gai tersangka dugaan korupsi pro­yek pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea, Kabupaten Buru.

“Sudah sesuai aturan dan SOP penyidikan serta dibarengi dengan alat bukti sebagaimana pasal 184 KUHAP,” tandas jaksa M. Rudy dan Oceng Almahdaly memakili Kejati Maluku sebagai termohon dalam sidang lanjutan permohonan prape­ra­dilan Ferry Tanaya, di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (17/9).

Jaksa menepis anggapan tim pe­ngacara yang menyatakan peneta­pan Ferry Tanaya tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup.

“Seluruh dalil dan alasan pemo­hon bahwa penetapan tersangka tidak didasarkan pada bukti minimal yang cukup yang diperoleh dari penyidikan, bahkan sama sekali be­lum terdapat bukti dalam menetap­kan pemohon sebagai tersangka ada­lah tidak benar,” tegas Jaksa M. Rudy.

Penetapan Ferry Tanaya sebagai ter­sangka, kata jaksa, berdasarkan surat perintah penyelidikan Kajati Maluku Nomor 02/Q.1/Fd.1/ 05/2020 tanggal 26 Mei 2020 serta surat pe­rintah penyelidikan  Kajati Maluku Nomor 01/S.1/Fd.1/04/2019 tanggal 30 April 2019.

“Kemudian, setelah proses penye­lidikan berjalan, tim jaksa penyeli­dikan menemukan fakta-fakta hukum atas terjadi peristiwa tindak pidana dalam pembelian lahan pembangu­nan tersebut,” jelas jaksa M. Rudy.

Lanjutnya, surat perintah penyi­dikan dicantumkan dalam surat pe­manggilan tersangka, dan peneta­pan Ferry sebagai tersangka sah.

“Surat perintah penyidikan dican­tumkan dalam surat pemanggilan ter­sangka atas penetapan sebagai ter­sangka karena bukti permulaan yang cukup.  Tidak berdasarkan ba­rang bukti adalah tidak benar,” ujar M. Rudy.

Soal dalil tim pengacara bahwa dalam penetapan tersangka tidak pro­porsional dan tidak sesuai de­ngan KUHAP, Peraturan Jaksa Agung serta melanggar HAM, M jaksa menyatakan, pihaknya telah mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Selain itu, jaksa menegaskan lahan pembangunan PLTG Namlea  adalah milik negara. Jaksa membantah, objek lahan adalah tanah milik Ferry sejak tahun 1985 berdasarkan akta jual beli Nomor 14/PPAT/1985 yang ditandatangani oleh pejabat PPAT Namlea Drs. U. Rada.

“Soal tanah itu adalah tanah erf­pacht yang tidak bisa dijual beli se­cara bebas. Tanah negara. Ferry tidak pernah memiliki tanah tersebut,” tandas M. Rudy.

Ia juga menyebut, tanah tersebut bu­kan atas nama Ferry Tanaya me­lainkan Abdul Rauf Tuanany. Tanah tersebut tetap dikuasai oleh negara.

Menurutnya, apabila tanah tidak dikonversikan sesuai prinsip-prin­sip dalam UU Nomor 5 tahun 1960 ten­tang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria maka tanah itu bukan miliknya. “Barang siapa tidak men­daftarkan tanah itu maka dikuasai negara,” kata M.Rudy.

Jaksa menambahkan, pihak PLN tidak tahu menahu soal tanah itu. Pasalnya, PLN bekerjasama dengan pertanahan.

Penetapan Tersangka Cacat

Dalam sidang perdana Rabu (16/9), tim pengacara mengungkap bukti-bukti penetapan Tanaya seba­gai tersangka oleh Kejati Maluku tidak sah.

Ketua Tim Pengacara Tanaya, Her­man Koedoeboen mengungkap­kan tiga alasan mendasar yang mem­buat pihaknya mengajukan prape­radilan.

Pertama, penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka tidak sah. Alat bukti yang digunakan penyidik tidak cukup. Pasahal sesuai KUHAP, un­tuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti.

“Kita menganggap dua bukti per­mulaan yang cukup itu tidak terpe­nuhi dalam penetapan Ferry sebagai tersangka,” ujar Koedoeboen.

Kedua, tanah yang dibeli UIP PLN Maluku untuk pembangunan PLTG Namlea adalah tanah milik Ferry Tanaya sejak tahun 1985 berdasar­kan akta jual beli Nomor 14/PPAT/1985 yang ditandatangani oleh pejabat PPAT Namlea Drs. U. Rada. Selain itu, tanah pembangunan bu­kanlah milik negara.

Pernyataan jaksa tidak benar. Hal tersebut telah dikualitisir sebagai persengketaan hak milik atau hak ke­kuasaan yang dilepaskan, sehingga menimbulkan kesimpulan hukum yang dipakai penyidik untuk men­jerat Ferry.

Alasan ketiga, penetapan Ferry sebagai tersangka dilakukan tanpa mengeluarkan surat perintah penyi­dikan. Seharusnya, surat itu menjadi dasar penetapan seseorang sebagai tersangka.

“Surat penyidikan itu sebagai sarana sebagai bukti, lalu ditemukan tersangka. Tapi ini malah sebaliknya. Pertanyaannya alat bukti apa yang dijadikan untuk menjadikan sese­orang sebagai tersangka. Kalau pun ada alat bukti, alat bukti tersebut diperoleh secara hukum dengan  media apa?,” tandas Koedoeboen.

Selain itu, surat perintah penyidi­kan juga tidak disebutkan dalam surat pemanggilan. Pihak­nya baru mengetahui surat tersebut telah diterbitkan sejak 30 April 2019, saat pemeriksaan dilakukan pada 31 Agustus lalu.

“Kenapa tidak disebutkan dalam pemanggilan? Suratnya hanya disebutkan saat pemeriksaan. Berarti ini ada kejanggalan administrasi penyelidikan. Pasalnya, penyidik butuh waktu yang cukup panjang untuk penetapan tersangka,” tandas Koedoeboen lagi.

Tiga hal tersebut pun menjadi alasan praperadilan diajukan. Proses selanjutnya, diserahkan pada pe­nga­­dilan untuk menetapkan sah atau tidaknya proses penetapan tersangka, penyitaan bukti maupun penahanan Ferry.

Sidang praperadilan itu dipimpin hakim Muhammad Selang. Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Herman Koedoeboen, Henry Lusikooy, dan Firel Sahetapy. Sedangkan, pihak Kejati Maluku selaku termohon dihadiri Y. E. Oceng Almahdaly, M. Rudi, Novita Tatipikalawan. (Cr-1)