MASOHI, Siwalimanews – Kejaksaan Negeri Maluku Tengah diminta tidak melindungi Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie dalam kasus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai Kecamatan Seram.

Salah satu tersangka yang dijerat jaksa, Fence Purimahua adalah eks anak buah Sadli Ie. Saat masih bertugas di Dinas Kehutanan Maluku, dia menjadi orang kepercayaan Sadli. Diduga dia ditugaskan untuk mengamankan PT Kalisan Emas dalam kasus  illegal logging di Dusun Solea.

“Kami mendesak dan mengingatkan Kejaksaan Negeri Malteng untuk tidak melindungi Kadis Kehutanan Maluku. Dari lima terdakwa yang ada saat ini, satu diantaranya adalah Fence Purimahua adalah mantan staf Dinas Kehutanan. Artinya bisa jadi Kadis ikut terlibat dan karenanya jaksa tidak boleh meloloskan,” tegas Aktivis LSM Pusat Kajian Strategis dan Pengembangan Sumber Daya Maluku (Pukat Seram), Rian Idris kepada Siwalima, Kamis (14/5).

Idris menegaskan, proses hukum harus tegak dan tidak boleh diintervensi untuk melindungi siapapun.

“Kami paham benar, penyidik bekerja sesuai protab dan prosedur hukum. Namun jika ada indikasi yang mengarah kepada seseorang atua koorporasi tertentu dalam suatu kasus adalah wajib bagi penyidik untuk mengungkapnya,” tandasnya.

Baca Juga: BPKP Belum Audit Dugaan Korupsi Proyek Irigasi  Sariputih

Keterlibatan Fence Purimahua yang adalah salah satu pejabat di Dinas Kehutanan Maluku adalah indikator adanya pihak lain yang paling bertanggung jawab dalam urusan kehutanan di Maluku.

“Dengan demikian kadis yang adalah pimpinan dinas sudah barang tentu memiliki keterkaitan dengan kasus ini, indikatornya adalah keterlibatan salah satu anak buahnya itu. Mesti penyidik mengejarnya dan mengungkapkan,” ujarnya.

Idris menambahkan, kabar adanya rekaman percakapan telepon antara Fence dan Sadli Ie harus diungkap oleh jaksa.

“Kami tidak tahu ada atau tidak rekaman percakapan telepon antara Fence dengan Kadis. Namun jika itu ada, maka dapat dijadikan langkah awal pengembangan penyidikan untuk mengungkap keterlibatan Kadis Kehutanan Maluku. Tetapi yang paling penting, penyidik harus komitmen dan tidak boleh melindungi siapapun,” tandasnya.

Sementara Kepala Kejari Malteng, Juli Isnur yang dihubungi melalui telepon selulernya, mengatakan belum bisa memberikan keterangan,  dengan alasan lagi bersepeda. “Maaf tadi saya lagi sepedahan, besok kita ketemu di kantor,” ujarnya.

Jaksa Loloskan

Seperti diberitakan, lima tersangka kasus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah diseret jaksa ke pengadilan.

Lalu bagaimana dengan Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie? Ternyata dugaan keterlibatannya tak ditindaklanjuti oleh Kejari Maluku Tengah.  Padahal Korps Adhyaksa sudah mengantongi rekaman percakapan antara Sadli dengan Fence Purimahua.

Nama Sadli Ie juga disebut saat tersangka Fence Purimahua diperiksa jaksa. Aktivitas illegal logging yang dilakukan PT Kalisan Emas sudah diketahui oleh Sadli Ie sebagai Kepala Dinas Kehutanan Maluku. Namun diduga sengaja didiamkan.

“Diduga ada arahan dari Kadis Kehutanan kepada Fence untuk memback up PT Kalisan Emas,” ujar sumber di Dinas Kehutanan Maluku, kepada Siwalima, Senin (2/3).

Dituntut 2 Tahun Penjara

Jaksa penuntut umum Kejari Malteng menuntut tiga terdakwa kasus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai, Kecamatan Seram Utara dua tahun penjara, dan denda Rp 500 juta.

Ketiga terdakwa masing-masing; Direktur PT Kalisan Emas Freud Riky Apituley, eks Pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Fence Purimahua, dan pemodal dari Surabaya Abdullah.

Tuntutan dibacakan tim JPU Vector Mailoa, William Mairuhu dan Siti Martono dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi, Selasa (12/5), yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Agus Hardianto, didamping hakim Rifai Tukuboya dan Mawardi Rifai.

Menurut JPU, ketiga terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

Meski begitu, penerapan pasal terhadap ketiga terdakwa berbeda. Fence Purimahua dan Freud Riky Apituley dituntut melanggar pasal 98 ayat 1 jo pasal 19 huruf b. Sedangkan Abdullah melanggar pasal 87 ayat 1 huruf a jo pasal 12 huruf K  UU Nomor 18 tahun 2013.

“Menghukum terdakwa dengan pidana di penjara selama 2 tahun serta membayar denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan,” tandas JPU Vector Mailoa.

Usai pembacaan tuntutan JPU, hakim menunda sidang hingga Kamis (14/5), dengan agenda pembelaan dari penasehat hukum ketiga terdakwa.  Fence Purimahua didampingi penasehat hukum Rony Samloy, sedangkan Riky Apituley didampingi Oni Letelay bersama dua rekannya. Sementara Abdullah, menjadi satu-satunya terdakwa tanpa penasihat hukum.

Divonis Ringan

Sebelumnya hakim Pengadilan Negeri Masohi memvonis ringan dua terdakwa dalam kasus ini, yaitu Juanda Pacina, pemilik somel Imaji di Wahai, dan operator sensor, Hasanuddin.

Pacina dihukum 3 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan. Sementara Hasannudin 1 tahun 6 bulan penjara, denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan.

Vonis dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Agus Hardianto, didampingi dua hakim anggota Rifai R Tukuboya dan Mawardi Rifai dalam sidang, Selasa (28/4).

Humas Pengadilan Negeri Masohi, Rifai R Tukuboya yang dikonfirmasi mengatakan, putusan majelis hakim sudah sesuai dengan peran dan perbuatan kedua terdakwa.

“Sebetulnya tidak ringan sebab sudah sesuai dengan peran mereka dalam kasus ini. Hasanuddin dalam kasus ini bertindak sebagai operator penebang kayu di lokasi HPH yang dalam tuntutan JPU adalah 2 tahun,” kata Tukuboya, kepada Siwalima, Rabu (29/4).

Sementara untuk terdakwa Juanda Pacina, majelis tidak sependapat dengan JPU yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan tuntutan 9 tahun penjara atas dugaan pelanggaran Pasal 94 ayat 1 junto pasal 19 huruf A UU Nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan.

Majelis hakim menilai, terdakwa Juanda Pacina melangar  pasal 87 ayat 1 huruf A junto pasal 12 huruf K UU. Sebab, terdakwa hanya berperan sebagai pihak yang menerima dan menjual kayu dari pemilik HPH. “Jadi bukan mengatur proses penebangan mulai dari merencanakan dan menyediakan operator penebangan serta lain sebagainya,” urai Tukuboya.

Pertimbangan majelis Hakim terhadap peran terdakwa didasarkan atas pemeriksaan saksi dan proses persidangan, sehingga hakim menilai Pacina melanggar pasal 87 ayat 1 huruf A junto pasal 12 huruf K UU 18 tahun 2013.

Sementara JPU Kejari Malteng, Vector Mailoa yang dikonfirmasi mengatakan, pihaknya akan meminta petunjuk Kejati Maluku untuk menentukan sikap terhadap putusan majelis hakim. “Langkah yang dilakukan saat ini adalah meminta petunjuk kejaksaan tinggi dulu. Jadi nanti petunjuk Kejati seperti apa baru diambil langkah selanjutnya,” ujar Mailoa yang dihubungi melalui telepon selulernya. (S-39)