Lagi, Unpatti Kukuhkan Dua Guru Besar
AMBON, Siwalimanews – Setelah sebelumnya pada bulan Februari 2023 lalu kukuhkan empat guru besar, kembali, Senin (11/9) Universitas Pattimura tambah dua guru besar.
Pengukuhan dilakukan Rektor Universitas Pattimura, Prof. Dr. M J Sapteno, dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Unpatti yang berlangsung di lantai II Aula Gedung Rektorat Unpatti, Senin (11/9).
Dua guru besar yang dikukuhkan yaitu, Prof. Dr. Charlotha Irenny Tupan, S.Pi.M.Si.
Guru Besar dalam bidang ilmu Sumber Daya Perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Prof. Dr. Drs. Jusuf Madubun, M.Si. Guru Besar dalam bidang ilmu Administrasi Publik pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura Ambon.
Dalam pengukuhan itu, Prof Tupan dalam karya ilmiahnya mengangkat judul tentang ‘Sumber Daya Lamun, Potensi dan Kontribusi terhadap Lingkungan dan Manusia serta Keterancamannya juga pengelolaannya’.
Baca Juga: Pempus Bantu Bangun Ruang Kelas Baru di MBDSementara Prof Madubun dengan karya ilmiahnya tentang ‘Tata Kelola Pelayanan Publik Daerah Kepulauan: Perspektif Ekologi Administrasi”.
Dalam pidatonya, Prof. Dr. Charlotha Irenny Tupan, S.Pi.M.Si menuturkan khusus untuk Lamun atau Aigres, yang mana ini salah satu sumber daya dan ekosistem penting di perairan, khusus perairan pesisir dan laut, tetapi kurang menjadi perhatian bahkan merupakan salah satu ekosistem yang terpinggirkan.
Padahal, Lamun memiliki banyak manfaat dan kontribusi yang cukup besar terhadap lingkungan maupun manusia.
“Untuk itu, karena Lamun ini tidak mendapat perhatian padahal meski dia hanya tanaman kecil, namun dia punya kontribusi yang cukup besar dan itu perlu diangkat untuk bisa menjadi perhatian,”katanya.
Dan karena kini, Laman mulai terkikis atau terdegradasi, sehingga perlu dilestarikan karena Lamun punya kontribusi besar terhadap perikanan, yang mana Lamun menjadi daerah pemijahan, kemudian daerah pencari makan kemudian daerah asuhan bagi sebagian besar biota di laut. dan ketika ini hilang, maka produksi perikanan akan menurun. Karena ikan-ikan yang biasanya menggunakannya sebagai daerah pencari makan dan sebagainya, tadi, sudah tidak ada lagi sehingga produksi perikanan menurun.
Untuk mencegah pencemaran dan kebutuhan penelitiannya tentang pencemaran logam berat. Dimana Lamun ini sanggup menyerap bahan pencemar dalam perairan itu dimana seluruh tubuhnya, baik akar, daun, batang dan lainnya, sehingga buat perairan itu bersih dan ekosistem yang terpinggirkan ini bisa jadi perhatian dari masyarakat dan juga pemerintah,
Dengan demikian, harus ada upaya pengelolaannya dan itu melalui konservasi dilindungi dan kalau rusak harus direhabilitasi atau ditanam kembali.
Tingkatkan Pelayanan Publik
Sementara Prof Madubun dalam karya ilmiahnya menuturkan, salah satu tujuan pemberlakuan desentralisasi pemerintahan, adalah untuk meningkatkan pelayanan publik.
Namun demikian, penerapan desentralisasi di Indonesia saat ini, belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Kondisi tersebut disebabkan minimal dua hal. Pertama; pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam memberlakukan desentralisasi, akibat pengalaman buruk praktik desentralisasi di awal era reformasi
Kata Madubun, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999. UU ini memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah yang pada akhirnya kontraproduktif, seperti adanya disharmoni hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, ketegangan hubungan provinsi dan kabupaten kota, konflik horizontal di berbagai daerah, fanatisme kedaerahan dan etnosentrisme berlebihan yang menjurus kepada disintegrasi nasional.
Kedua; model keseragaman pemberlakuan desentralisasi di seluruh daerah, sejak masa orde baru ketika diberlakukan UU No. 5 Tahun 1974, masih dipertahankan sampai saat ini, padahal secara realitas daerah-daerah di Indonesia memiliki tingkat keragaman yang tinggi dari berbagai aspek, termasuk dari aspek fisik geografis.
“Ditinjau dari aspek geografis, daerah-daerah di Indonesia memiliki dua karakter, yaitu daerah dengan ciri daratan, dan daerah dengan ciri kepulauan. Dengan latar fisik geografis kepulauan, warga mengalami kesulitan untuk mendapatkan layanan publik yang optimal,”ujarnya.
Hal ini karena, Pertama; terkonsentrasinya pusat-pusat layanan publik utama di ibukota kabupaten/kota sebagai konsekuensi penyeragaman praktik desentralisasi yang menitikberatkan kewenangan hanya sampai di tingkat kabupaten dan kota, sehingga desain sistem penyelenggaraan pemerintahan tingkat kecamatan yang ada tidak memadai untuk dibebani tanggung jawab pelayanan publik.
Kedua; keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi, dan ketergantungan kepada situasi dan kondisi alam dan cuaca. Dimana problematik ini membutuhkan solusi dari sisi penerapan desentralisasi yang mampu mengatasi berbagai perbedaan karakteristik dimaksud. Konsepsi desentralisasi yang demikian dikenal dengan desentralisasi asimetris.
“Di Indonesia, pelayanan publik diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU tersebut, dikatakan bahwa “Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik,”katanya.
Dia menambahkan, salah satu problematika pemerintahan kecamatan saat ini adalah uniformitas organisasi di tengah pluralitas masalah dan karakteristik demografis wilayah, yang diakibatkan karena filosofis keseragaman yang dianut dalam penyusunan desain organisasi kecamatan. (S-25)
Tinggalkan Balasan