KPK Banding Putusan Mantan Walikota Ambon, Hukuman Tambah Berat
AMBON, Siwalimanews – Lazimnya, vonis pada upaya banding dalam kasus tindak pidana korupsi, selalu bertambah berat, alias hukumannya bertambah.
Upaya banding yang dilakukan, baik oleh terdakwa maupun jaksa, selalu hukumannya tambah berat. Demikian dikatakan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Diba Wadjo, menanggapi upaya banding yang ditempuh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhadap putusan 5 tahun penjara mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy.
Kepada Siwalima, Rabu (15/2), Wadjo mengungkapkan, masing-masing pihak baik jaksa KPK maupun terdakwa RL, sapaan akrab Richard Louhenapessy memiliki kewenangan untuk mengajukan banding jika putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama dirasa tidak sesuai dengan fakta persidangan.
Jika KPK melakukan upaya banding, lanjutnya, maka mereka pasti memiliki bukti-bukti bahwa putusan 5 tahun hakim itu terlalu kecil dibanding dengan tuntutannya 8,6 tahun penjara.
Untuk membuktikan apakah hakim pada Pengadilan Tinggi Ambon akan memutuskan yang sama dengan pengadilan Tipikor Ambon ataukah sebaliknya hukuman 5 tahun itu bertambah, kata Wadjo, juga tergantung dari pembuktian yang diajukan oleh KPK.
Baca Juga: Praktisi: Tindakan KPK TepatWalau demikian, lanjutnya, mayoritas kasus dugaan korupsi yang dilakukan upaya-upaya hukum apakah banding dan kasasi rata-rata divonis bertambah.
“Rata-rata kasus dugaan korupsi yang dilakukan upaya banding itu hukumannya bertambah, baik itu diajukan oleh terdakwa atau jaksa., hukumannya bertambah,” ujar Wadjo melalui telepon selulernya, Rabu (15/2).
Kendati begitu, dia enggan berkomentar lebih jauh soal putusan hakim PT Ambon nantinya karena hal itu merupakan kewenangan hakim dan pembuktian dari masing-masing pihak, namun yang pasti rata-rata putusan kasus dugaan korupsi pada tingkat banding itu tinggi dari putusan hakim pada pengadilan Tipikor Ambon.
Hukuman Bertambah
Terpisah, praktisi Hukum Fredy Ulemlem juga mengungkapkan, mayoritas vonis dari hakim Pengadilan Tinggi lebih berat dari vonis pada pengadilan tingkat pertama.
“Mayoritasnya tinggi yang saya lihat apalagi pasal 12 itu hukuman maksimalnya 12 tahun penjara, karena itu kemungkinan bisa bertambah atau berkurang itu tergantung keputusan hakim,” ujar UIemlem kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (15/2).
Sesuai dengan pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka hukuman maksimal 12 tahun, namun itu juga tergantung putusan hakim .
Bunyi pasal 12 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebut penerima gratifikasi dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Menurut Ulemlem, keputusan tersebut ada ditangan hakim PT Ambon dan selanjutnya pembuktian dari KPK, namun kemungkinan hukuman bertambah, lanjut dia, bisa saja terjadi.
Hal ini karena mayoritas kasus dugaan korupsi yang dilanjutkan upaya hukumnya pada tingkat banding atau kasasi selalu tinggi.
Dia berpendapat, KPK sampai mengajukan banding itu berarti KPK menilai putusan hakim terhadap RL tidak sesuai dengan fakta persidangan, dan karena itu diupayakan banding.
“Sampai KPK banding itu berarti KPK memiliki bukti yang kuat untuk ajukan banding, dan KPK merasa putusan hakim itu tidak sesuai fakta persidangan, atau jauh dari tuntutan Jaksa KPK, sehingga KPK ajukan banding,” tuturnya.
Ulemlem tidak ingin masuk pada apakah putusan hakim PT Ambon akan bertambah kepada RL ataukah menguatkan putusan 5 tahun.
“Itu semua kewenangan hakim memutusakan, apakah naik ataukah tidak tetapi mayoritas banding itu naik,’ tuturnya.
KPK Banding
Selerti dineritakan, hanya berselang lima hari dari vonis hakim, KPK langsung menyatakan banding terhadap putusan 5 tahun RL.
Tentu KPK tidak begitu saja menerima putusan yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tipikor Ambon terhadap mantan Walikota Ambon itu.
Bagi lembaga anti rasuah tersebut, putusan 5 tahun kepada RL, sapaan akrab Richard Louhenapessy, belum memenuhi rasa keadilan, sehingga KPK secara resmi telah menyatakan banding.
Demikian diungkapkan, Juru Bicara KPK, Ali Fikri kepada Siwalima melalui pesan whatsappnya, Selasa (14/2).
Kata Jubir, Kepala Satuan Tugas Penuntutan KPK, Taufik Ibnugroho, telah menyatakan upaya hukum banding melalui penitera muda Tipikor pada pengadilan Negeri Ambon, untuk perkara terdakwa Richard Louhenapessy dan kawan-kawan.
“Hari ini (14/2) Kasatgas Penuntutan Taufik Ibnugroho telah menyatakan upaya hukum banding melalui Panmud Tipikor pada PN Ambon untuk perkara Terdakwa Richard Louhenapessy dkk,” jelas jubir.
Pernyataan banding tersebut, lanjut Jubir, masih dalam kurun waktu yang disyaratkan oleh Undang Undang. “Pernyataan banding ini masih dalam kurun waktu yang ditentukan oleh UU,” katanya.
Dijelaskan, alasan pihak KPK menyatakan banding terhadap putusan hakim RL, karena dirasa vonis yang dijatuhkan, belum memenuhi rasa keadilan.
“Adapun alasan banding oleh tim jaksa antara lain terkait dengan amar pidana penjara yang belum memenuhi rasa keadilan sebagaimana dalam surat tuntutan,” ujarnya.
Selanjutnya, KPK berharap majelis hakim pada PT Ambon dapat mengabulkan seluruh isi permohonan banding dari tim jaksa.
Oleh majelis hakim PT Ambon, mantan penguasa Kota Ambon itu divonis 5 tahun penjara, lebih ringan 3,6 tahun, dari tuntutan jaksa KPK yang menuntutnya 8,6 tahun penjara.
Dukungan MAKI
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, (MAKI) Boyamin Saiman, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan banding terhadap vonis ringan mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy.
Saiman menilai, vonis 5 tahun penjara kepada RL, sapaan akrab Richard Louhenapessy, ringan jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa KPK 8,.6 tahun penjara.
“Atas putusan 5 tahun dari tuntutan 8,6 tahun penjara, saya rasa masih terlalu ringan, meskipun saya tetap menghormati keputusan hakim dan untuk itu, saya meminta dari jaksa KPK untuk mengajukan banding, karena sebenarnya kita berharap keputusan-keputusan Tipikor itu vonisnya tinggi,” ungkap Saiman kepada Siwalima melalui pesan suaranya di whatsapp, Senin (13/2).
Saiman mendorong, KPK mengajukan banding karena hukuman yang diberikan kepada mantan orang nomor satu di Maluku itu terlalu rendah.
“Mestinya diatas 10 tahun semua dan Kejaksaan Agung biasa menuntut seumur hidup, bahkan pernah menghukum hukuman masih dibawah 10, saya berharap dalam kasus-kasus suap itu saya berharap hukuman 10 sampai 20 tahun. Nah kalau korupsi antara 20 sampai seumur hidup. Karena ini masih sangat rendah 5 tahun, maka saya mendorong jaksa KPK untuk mengajukan banding,” pintanya.
Fakta Persidangan
Dalam amar putusan majelis hakim yang diketuai Wilson Shiver, mantan Ketua DPRD Maluku itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersama melakukan tindak pidana berupa suap dan gratifikasi, sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain pidana badan, RL juga divonis membayar denda sebesar 500 juta rupiah, subside satu tahun penjara.
RL juga divonis membayar uang pengganti sebesar Rp.8.045.910.000 dengan ketentuan jika tidak mampu membayar diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Hakim berpendapat hal yang memberatkan, RL tidak peka terhadap program pemerintah tentang pemberantasan korupsi, selain itu selaku Walikota, RL tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat serta telah menerima gratifikasi sebesar Rp.8.045.910.000 dan tidak melaporkan.
Sementara hal yang meringankan, RL tidak pernah dihukum sebelumnya.
Selain RL, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa juga divonis bersalah. Orang kepercayaan RL ini divonis 2.6 tahun penjara, denda Rp.200 juta subsider 3 bulan penjara.
Vonis hakim ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa KPK, yang menuntut RL dengan pidana 8,6 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 1 tahun penjara, serta membayar uang pengganti sebesar Rp8.045.000.000 dengan ketentuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Terima Aliran Dana
RL didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil negara dan sejumlah pengusaha.
Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Gedung KPK di Jakarta.
Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, penerbitan izin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gratifikasi.
Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.
Tim JPU KPK yang diketuai Taufiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.
JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada tahun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan.
JPU menyebutkan, terdakwa menerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11. 259.960.000 yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
Aliran dana dengan jumlah fantastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.
Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang langsung berjumlah Rp8.222.250.000.
Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian menerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrico Matitaputy sebesar Rp150.000.000.
Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy sebesar Rp240.000.000, Kepala Badan Pengeluaran dan Aset Daerah, Roberth Silooy Rp50.200.000, Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Walikota Ambon, terdakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000.000.
Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.
Selanjutnya dari Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.
Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.
Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740.000. 000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pical Rp250. 000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.
RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.000. 000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.
Selain penerimaan langsung terdakwa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466. 250.000 dan rekanan sebesar Rp1. 216.250.000.
Terdakwa juga menerima dari Karen Dias Rp811.460.000, kemudian melalui Hervianto Rp75.000.000 dan Imanuel Arnold Noya Rp150.000. 000.
Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini, RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.
JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia bermaksud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangunannya diperluka beberapa perijinan diantarannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.
Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan perijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.
Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.000. 000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.
JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan dengan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses penerbitan izin.
Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nandang Wibowo terkait kelancaran administrasi.
Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permohonan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal persetujuan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.
Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL menerbitkan persetujuan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.
Setelah izin prinsip terbit, terdakwa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui terdakwa Andrew Erin. (S-05)
Tinggalkan Balasan