AMBON, Siwalimanews – Mantan bendahara Balai Latihan Kerja (BLK) Ambon, Leuwaradja Hendrik Marthin Ferdinandus dihukum majelis hakim Pengadilan Tipikor de­ngan pidana 8 tahun penjara.

Terdakwa juga dibebankan membayar denda Rp500.000. 000, subsider 6 bulan kuru­ngan serta uang pengganti se­besar Rp.2.030.873.555 de­ngan ketentuan, jika dalam waktu satu bulan tidak diganti sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh ke­kuatan hukum tetap, maka har­ta benda terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti ter­sebut, dan jikalau harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk menutupi uang peng­ganti dimaksud, maka diganti de­ngan pidana kurungan selama 2 tahun penjara.

Hakim menyatakan, terdak­wa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melaku­kan tindak pidana korupsi, se­bagaimana diatur dan dian­cam pi­dana dalam pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberan­ta­san Tin­dak Pidana Korupsi seba­gaimana diubah dengan Undang-Undang No­mor 20 Tahun 2001 tentang Peru­ba­han Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberan­ta­san Tindak Pidana Korupsi seba­gaimana dalam dakwaan primair.

Vonis tersebut dibacakan majelis hakim dalam persidangan yang di gelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (16/10) dipimpin Rahmat Se­lang sebagai hakim ketua, didam­pingi dua hakim anggota, Antonius Sampe Samine dan Agus Hairullah.

Menurut hakim dalam fakta hu­kum yang diperoleh dan didukung oleh alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, kete­rangan terdakwa, alat bukti surat dan barang bukti dari total angga­ran sebesar Rp27,840,050.000 dengan rincian enam pembelan­jaan yang diduga fiktif.

Baca Juga: Ada Mark Up & Nota Fiktif

Alhasilnya negara mengalami kerugian pada kegiatan rutin BLK Ambon Tahun Anggaran 2021, di­mana atas kerugian keuangan negara tersebut terdakwa telah mem­perkaya diri atau orang lain sebesar Rp2.030.873.555,00 seba­gai­mana laporan hasil audit penghi­tungan kerugian keuangan negara atas perkara dugaan tindak pidana korupsi anggaran rutin pada BLK nomor PE.03.03/R/SP-1032/PW25/5/2023 tanggal 31 Mei 2023 sehing­ga terdakwa harus mem­per­tang­gungjawabkan perbuatannya.

Hakim juga turut mempertim­bangkan hal-hal yang memberat­kan yakni, perbuatan terdakwa ber­tentangan dengan program peme­rintah untuk pemberantasan Tin­dak Pidana Korupsi. Bahwa akibat tindakan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain mengaki­batkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp2.030.873.555.

Sedangkan hal-hal yang meri­n­gankan, terdakwa berlaku sopan da­lam persidangan, terdakwa me­nye­sali perbuatannya dan merasa ber­salah. Terdakwa belum pernah di­hu­kum dalam suatu per­kara pida­na, terdakwa memiliki tanggu­ngan ke­luarga yaitu memi­liki istri dan anak-anak, serta ter­dakwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki dirinya.

Usai mendengarkan vonis ha­kim, baik jaksa maupun terdak­wa menyatakan pikir-pikir.

Dituntut 7,6 Tahun

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Kejari Ambon menuntut ter­dakwa dengan pidana 7,6 tahun pen­jara. Tuntutan JPU Endang Ana­koda dan Novie Temmar itu disam­pai­­kan dalam persidangan di Peng­a­­dilan Tipikor Ambon, Kamis (14/9).

Selain pidana badan, terdakwa ju­ga dituntut JPU membayar denda se­besar Rp300.000.000 subsider 6 bu­lan kurungan serta membayar uang pe­ngganti sebesar Rp2.030. 873.555,-

“Dengan ketentuan dalam waktu 1 bulan jika terdakwa tidak me­ng­ganti sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dile­lang untuk menutupi uang peng­ganti tersebut, dan jikalau harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk menutupi uang pengganti dimaksud maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 tahun penjara,” Tandas JPU.

Diketahui, pada Tahun 2021 BLK Ambon menerima anggaran rutin dari Kementerian Ketenagakerjaan yang masuk dalam DIPA BLK Ambon sesuai revisi terakhir Nomor: 026.13.2.219228/2021 tanggal 28 Desember 2021 sebesar Rp. 27,840,050.000. Namun sesuai realisasi belanja pada BLK Ambon Tahun Anggaran 2021 adalah sebesar Rp27.593.662.761.

Dalam perjalanannya ditemukan fakta hukum bahwa perbuatan ter­dakwa membuat sendiri dan me­mal­sukan bukti-bukti pengeluaran, tidak melampirkan bukti pertang­gu­ng­jawaban yang sah dan membuat bukti-bukti pengeluaran dengan me­naikan harga pembe­lanjaan tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Terdakwa yang diangkat sebagai bendahara pengeluaran pada  BLK Ambon sesuai dengan Surat Ke­putusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 378 Tahun 2020 Tentang Pe­ngangkatan Pejabat Perbenda­ha­raan Negara Selaku Bendahara Penerimaan, Bendahara Penge­luaran dan Pelaksana Pengelolaan Barang Milik Negara DIPA Bidang Ketenagakerjaan pada Kantor Upt-Pusat Kementerian Ketenaga­kerjaan Tahun 2021.

Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa yakni, pembelanjaan fiktif sebesar Rp123.459.400 dimana terhadap pembelajaran fiktif ini, terdakwa membuat sendiri dan memalsu­kan bukti-bukti pengeluaran ter­hadap 40 transaksi belanja de­ngan total belanja pengeluaran sebesar Rp123.459.400, untuk dimasukkan dalam pertanggung­ja­waban belanja bahan yang dapat didapat dari transaksi belanja bahan pada beberapa penyedia.

Selain itu, tanpa bukti atau tidak ada dokumen pertanggungjawa­ban di­mana terdapat 140 transaksi be­lanja sebesar Rp.564.581 855.00 yang tak dapat diperta­nggung­ja­wab­kan, atau tak ada bukti-bukti pe­nge­luarannya oleh terdakwa ada juga pertang­gungjawaban melebihi har­ga yang sebenarnya alias mark up.

Hal ini terbukti, di mana terdapat tran­saksi belanja bahan pada pe­nyedia dengan total sebanyak 462 transaksi dengan nilai total belanja sebesar Rp8.032.762.800 dimana atas transaksi pembelanjaan terse­but terdakwa selaku bendahara pe­ngeluaran secara sengaja mem­buat sendiri atau memalsukan bukti-bukti pengeluaran, sehingga belan­janya tidak sesuai dengan belanja yang sebenarnya dan berdasarkan pemeriksaan bukti pertanggungja­waban belanja yang ada dan kete­rangan diperoleh nilai pembayaran belanja yang sebenarnya dengan to­tal belanja sebesar Rp6 689. 930.500. (S-26)