Kina (Bukan) Hanya Untuk Malaria
BEBERAPA hari lalu, tiba-tiba saya mendapatkan surat elektronik dari seseorang yang tinggal di Amerika Serikat. Dia punya latar belakang farmakologi dan saat ini fokus bekerja dengan neuropeptida. Isi emailnya menantang saya untuk berbuat sesuatu, ikut membantu mengatasi masalah pandemi covid-19 oleh virus SARCov-2 yang sedang menghebohkan dunia.
Pada April 2020 tersiar kabar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa klorokuin dan hidroksiklorokuin berhasil menyembuhkan pasien yang terinfeksi SARS-Cov2. Keduanya adalah obat kuno, yang sudah lebih dari 50 tahun digunakan mengatasi malaria. Hal ini memberikan harapan yang besar, sehingga kabarnya Pemerintah Indonesia segera membeli obat tersebut dari Tiongkok. Pada Februari, terbit suatu artikel ilmiah di Bioscience Trends (Gao dkk. 2020), yang melaporkan bahwa klorokuin fosfat, telah dibuktikan efektif dan aman untuk melawan covid-19 dengan problem pneumonia. Obat tersebut telah direkomendasikan untuk digunakan dalam pencegahan dan pengobatan pneumonia akibat covid-19, oleh Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok. Di pasaran lokal Indonesia, pil kina mendadak habis dibeli orang. Pada Mei, WHO menyerukan penghentian obat tersebut untuk covid-19 karena diketahui efek sampingnya lebih berbahaya, antara lain menimbulkan cardiac toxicity pada sebagian pasien. Indonesia dan kina dunia Indonesia sudah sejak zaman kolonialisme Belanda telah memproduksi pil kina dalam skala industri, dan menjadi pemasok dunia. Kala itu, kina diberikan kepada para serdadu dan pekerja di tanah-tanah jajahan di kawasan Asia dan Afrika. Menurut sejarahnya, penyembuhan demam akibat berbagai penyakit infeksi telah menggunakan bahan tanaman cinchona (tanaman kina) sejak abad ke 17, berdasarkan pengalaman penduduk asli Amerika Selatan, tempat asal tanaman kina. Pada abad 19, berdiri sejumlah pabrik di Eropa dan Amerika Utara dengan 90% pasokan kulit batang kina dari Jawa (1890-1940). Pada saat itu, kina hanya dikenal sebagai obat malaria (Goss 2013). Untuk mengantisipasi kelangkaan pohon kina karena pemanenan yang merusak tanaman, dibuatlah senyawa sintetik klorokuin dan hidroksiklorokuin. Klorokuin kemudian ditinggalkan sebagai obat malaria karena menyebabkan resistensi pada Plasmodium falciparum penyebab malaria.
Maka pengobatan kembali ke bahan aslinya, yaitu kuinin. Di zaman kemerdekaan, kebun kina dikelola oleh PTP (kini PT Perkebunan Nusantara/PTPN) dan industri manufakturnya oleh Kimia Farma. Walaupun malaria masih ada di nusantara, namun prevalensinya cenderung menurun, demikian pula di dunia secara umum, dengan upaya dari WHO. Karena itu, perkebunan kina milik negara dan milik rakyat makin terabaikan karena komoditas tidak menarik lagi.
Pada 2013, PTPN VIII bersama dengan PT Kimia Farma mendirikan pabrik pengolahan kina, yang menjadi satu-satunya di Indonesia (Solihat 2013), dengan bahan baku sebagian besar diimpor dari Afrika. Ironis memang. Pasar kina berangsur menanjak. Bagian terbesar produknya, kuinin sulfat dan kuinidin sulfat, diekspor. Industri farmasetikal dan kimia lain menyerap 40%, dan 60% nya digunakan dalam industri minuman ringan. Tiongkok mendatangkan 50% kebutuhan kinanya dari Indonesia. Pil kina Kandungan pil kina adalah kuinin sulfat. Kita sebut saja kuinin. Selain dikenal sebagai obat malaria, kuinin juga bermanfaat mengendalikan aritmia jantung ringan bersama dengan kuinidin, mengatasi keram otot kaki dan inflamasi. Kuinin bersifat anti-bakteria dan anti-virus pula.
Percobaan in-vitro telah membuktikan aktivitas kuinin sebagai anti-virus penyebab demam berdarah, herpes-simpleks, dan influensa A. Pada 2018, terbit suatu laporan penelitian di jurnal Virus Research (Malakar dkk. 2018), bahwa kuinin sulfat menunjukkan aktivitas anti-DENV, yaitu virus penyebab demam berdarah. Sebuah tim peneliti Thailand menguji empat jenis obat yang telah disetujui US-FDA sebagai obat, yaitu asam aminolevulat, asam azelaat, miksoxantron hidroklorida, dan kuinin sulfat. Hasilnya, kuinin mampu menghambat multiplikasi empat serotipe DENV sebesar 80% dibandingkan dengan kontrol, sedangkan senyawa obat lainnya hanya menunjukkan 50% penghambatan. Percobaan dilakukan pada tiga galur sel yang berbeda asal manusia.
Baca Juga: UU Ciptaker, Kembalinya Muruah Hukum SipilPenghambatan replikasi DENV diduga karena kuinin mereduksi sintesis RNA dan protein virus Dengue, tergantung pada dosis yang digunakan. Di samping itu, kuinin mampu meningkatkan ekspresi gen yang terkait dengan respons imunitas alami, atau dengan kata lain kuinin efektif menstimulasi gen antivirus pada tubuh manusia yang terinfeksi (pasien) sehingga replikasi DENV menjadi terhambat. Kina dan covid-19 Sifat anti-virus kuinin dibuktikan oleh cukup banyak tim peneliti virologi dan medis. Kuinin yang bersifat anti-koagulan dan autofagi diharapkan dapat mengatasi masalah pneumonia akut pada pasien covid-19. Sebuah tim peneliti dari beberapa institut di bidang virologi medis, epidemiologi penyakit virus, serta virologi molekuler di Jerman (Grosse dkk. 2020) melakukan penelitian secara in-vitro untuk berkontribusi dalam pengendalian SARS-Cov2. Sejumlah kandidat obat diuji, dan klorokuin, hidroksiklorokuin, dan kuinin secara khusus dilaporkan. Hasilnya, kuinin menunjukkan aktivitas anti-virus SARS-Cov2 lebih tinggi daripada klorokuin dan hidroksiklorokuin. Pada konsentrasi 10 µM kuinin dapat memblokir hampir 90% replikasi virus ini, sedangkan klorokuin hanya 40% dan hidroksiklorokuin 50%.
Lebih lanjut penelitian tersebut menunjukkan pada konsentrasi 10 – 100 µM, kuinin tidak berdampak menurunkan viabilitas (kebugaran) sel yang diinfeksi SARS-Cov2. Klorokuin dan hidroksiklorokuin, pada konsentrasi 50 µM sudah mengakibatkan 50% penurunan viabilitas sel. Percobaan ini dilakukan pada sel Caco-2 (coloncarcinoma-derived epithelial cells) asal manusia. US-FDA menentukan kandungan maksimum kuinin 85 ppm dalam minuman tonik, atau 85 mg per liter. Regulasi Uni Eropa menentukan izin sampai 100 mg/kg dalam pangan, dan 85 mg/L dalam minuman. Dengan demikian, konsumsi kuinin di dalam makanan atau minuman tertentu boleh jadi sudah dapat berperan mengatasi covid-19. Namun, pada orang-orang tertentu yang sensitif terhadap kuinin, atau kelebihan dosis, akan timbul rasa mual sampai muntah-muntah, pening, telinga berdenging, pandangan mata kabur, diare, hingga hipoglikemia. Problem tersebut akan menghilang setelah konsumsi kuinin dihentikan.
Tidak ada obat yang mampu menyembuhkan semua orang. Tidak ada obat yang aman bagi semua orang. Jadi mengapa kita tidak fokus mencoba memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di alam di mana kita hidup? (Diah Ratnadewi, Penulis adalah Guru Besar Biologi Tumbuhan, IPB University)
Tinggalkan Balasan