Saat ini dunia dihadapkan pada dua krisis besar, yaitu krisis pangan dan krisis energi. Krisis pangan dipicu oleh adanya fenomena pemanasan global dan tidak meratanya distribusi pangan. Sedangkan krisis energi dipicu oleh kian menipisnya cadangan energi yang berasal dari bahan bakar fosil (Louhenapessy, 2018).

Pangan merupakan kebutuhan dasar mas­yarakat yang harus terpenuhi sehingga merupakan hak asasi bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh pangan. Peningkatan jumlah penduduk dan kualitas hidup masyarakat menyebabkan permintaan akan pangan akan terus meningkat. Robert Maltus (dalam Abdu­rachim, 1973 dan Hafsah, 2006) menjelaskan bahwa pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan pertumbuhan pangan dunia, dimana bahan makanan akan bertambah sesuai deret hitung dan penduduk akan bertambah sesuai deret ukur, menyebabkan langkanya bahan makanan dunia. Oleh karena itu, kebutuhan pangan bagi seluruh masyarakat Indonesia harus menjadi salah satu prioritas dalam pem­bangunan nasional.

Tersedianya pangan yang cukup secara makro dan mikro merupakan persyaratan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan.Ketahanan pangan (food security) merupakan sebuah konsep kebijakan yang muncul pada tahun 1971 saat konferensi pa­ngan dunia (Sage, 2002). Definisi tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia tahun 1971 hingga dekade 90-an terus mengalami perubahan mulai dari level global, nasional, skala rumah tangga dan individu yang dilihat dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan indikator-indikator objektif ke persepsi subjektif (Maxwell dan Frankenberger, 1992).

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pembangunan ketahanan pangan sesuai amanat UUD 1945 pasal 27. Pertimbangan terhadap komitmen tersebut men­dasari lahirnya UU Nomor 7 tahun 1996, tentang Pangan yang mengamanatkan agar pemerintah ber­sama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bentuk keseriusan Indonesia terkait dengan ketahanan pangan juga terlihat dengan diterbitkannya PP Nomor 68 tahun 2002. Menurut UU dan PP ter­sebut, ketahanan pangan adalah kondisi terpenu­hinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Baca Juga: Politik Cair Menyejukkan

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk besar dan wilayah yang sangat luas sehingga masalah ketahanan pangan merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi. Data menunjukkan bahwa kondisi ketahanan pangan di Indonesia saat ini masih lemah.

Hal tersebut dapat dilihat kondisi berikut: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi kurang dari 90 persen dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi kurang dari 70 persen dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Khomsan, 2003).

Data Susenas (2010) juga menunjukkan tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia tahun 2009 mencapai urutan tertinggi didunia, yaitu sebesar 102,2 kilogram/kapita/tahun atau hampir dua kali lipat rata-rata konsumsi beras penduduk dunia yang hanya 60 kilogram/kapita/tahun. Jika melihat dari data ter­sebut, maka upaya-upaya untuk mewujudkan keta­hanan pangan di Indonesia harus segera dilakukan.

Di Indonesia, pangan sangat identik dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Berdasarkan penelusuran penulis, data menunjukkan bahwa beras telah menjadi bahan pangan pokok bagi lebih dari 95 persen penduduk di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pola konsumsi mereka sangat didominasi oleh komoditas beras. Oleh karena itu, pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan terutama untuk komoditi beras. Hal tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah yang  terkait dengan pangan masih terfokus pada komoditas beras. Selain itu, pemerintah juga selalu melakukan pengawasan ketat terhadap ketersediaan komoditas beras dan bahkan tidak segan untuk melakukan impor beras.

Ketergantungan konsumsi masyarakat Indonesia pada beras harus segera diatasi untuk meningkatkan ketahanan pangan. Oleh karena itu, sumber pangan alternatif, dalam hal ini pangan lokal dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ketahanan pangan di Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman jenis pangan seperti sagu, jagung dan berbaga jenis umbi-umbian lainnya yang dapat menjadi sumber bahan makanan bagi mas­yarakat. Pangan selain beras tersebut memiliki akar historis dan budaya lokal sehingga mayoritas pendu­duk Indonesia, khususnya wilayah Indonesia Timur, telah terbiasa mengkonsumsi pangan lokal berupa umbi-umbian, jagung dan sagu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya sumber pangan alternatif menjadi alternatif konsumsi bagi masyarakat di wilayah Indonesia timur dan beras dapat difokuskan untuk wilayah Jawa.

Nainggolan (2004) menjelaskan bahwa kebijakan pelaksanaan ketahanan pangan dengan meman­faatkan pangan lokal merupakan suatu langkah yang tepat, karena ketersediaan pangan lokal disetiap daerah sangat mudah untuk dikembangkan. Sebagai contoh, masyarakat Papua dan Maluku dapat meng­konsumsi ubi jalar sebagai makanan pokok peng­ganti beras. Di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara sebagai penghasil utama tanaman jagung dapat mengkonsumsi jagung sebahai bahan makanan pokok pengganti beras. Komoditas lain yang berpeluang sangat besar sebagai pengganti beras sebagai bahan makanan pokok adalah sagu yang banyak tersedia di wilayah Indonesia Timur dan Pulau Sumatera.

Maluku merupakan salah satu provinsi di wilayah Indonesia Timur yang memiliki keragaman pangan lokal. Di Provinsi Maluku, ada sekitar 52.000 ha hutan sagu dan berpotensi mampu menghasilkan karbo­hidrat lebih dari 268 kg per kapita per tahun untuk 1,55 juta penduduk Maluku. Bustaman dan Susanto (2007) menjelaskan bahwa pertanian sagu di Provinsi Maluku dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan telah terbukti dapat menjadi solusi atas permasalahan pangan lokal di wilayah ini.

Masyarakat setempat di Provinsi Maluku pada umumnya telah mengkonsumsi sagu dan makanan lokal lainnya sebagai sumber makanan pokok sejak dahulu. Menurut Louhenapessy (2007), pada tahun 1980-an, sebanyak 33% masyarakat di Provinsi Maluku masih menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok, 50% menggunakan sagu dan umbi-umbian dan hanya 17% menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok. Namun, Girsang (2014) menyebutkan bahwa konsumsi sagu dan makanan lokal lainnya di Provinsi Maluku mulai berkurang sementara konsumsi beras telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir.

Data Susenas (2009) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat di Provinsi Maluku yang tadinya mengkonsumsi pangan lokal beralih ke kearah beras, dimana pada Tahun 2005 jumlah konsum beras sebesar 68,52 kg/kap/tahun dan terus meningkat pada Tahun 2009 menjadi 85% kg/kap/tahun. Sehingga, menjadi menarik untuk diteliti, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran tersebut sehingga pola konsumsi masyarakat di Provinsi Maluku kembali kepada pangan lokal dan berpotensi menjadi referensi bagi wilayah lain maupun wilayah perbatasan dalam upaya memaksimalkan pemanfaatan pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan di suatu wilayah adalah ketersediaan komoditas pangan lokal. Ketersediaan pangan lokal ini menjadi faktor yang penting karena merupakan salah satu dari tiga pilar utama ketahanan pangan. Ketersediaan pangan terkait dengan pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, dan keama­nannya. Faktor distribusi berfungsi untuk mewujud­kan sistem distribusi yang efektif dan efisien demi menjamin agar masyarakat dapat memperoleh pangan dalam jumlah, kualitas dan keberlanjutan yang cukup dengan harga yang terjangkau. Faktor konsumsi berfungsi agar pola pe­manfaatan pangan secara nasio­nal memenuhi kaidah mutu, kera­gaman, kandungan gizi, keama­nan dan kehalalannya (Rossi Prabowo, 2010).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap ketersediaan pangan  dan juga mempengaruhi pola kon­sumsi pangan  adalah pendapa­tan. Secara umum dengan adanya kenaikan pendapatan akan mem­berikan peluang bagi masing-masing rumah tangga untuk me­lakukan peningkatan pola kon­sumsi, meningkatkan kualitas bahan pangan pokok dalam upaya meningkatkan gizi rumah tangga masyarakat.

Bagi rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah, maka seba­gian besar pendapatan akan di­alokasikan untuk membeli barang-barang kebutuhan primer. Pola kon­sumsi pada rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok yang berbasis potensi lokal dan variasi pangan kurang mendapat perhatian sehingga pemenuhan gizinya masih perlu dipertanyakan.

Berbeda dengan rumah tangga yang berpendapatan tinggi, mereka cenderung untuk mengkonsumsi pangan yang bervariasi dan meni­ng­katkan kualitas pangannya dengan cara membeli bahan pa­ngan yang nilai gizinya lebih tinggi.

Hal tersebut dijelaskan pada hukum Engel bahwa rumah tangga berpendapatan rendah akan me­ngeluarkan sebagian besar pen­dapatannya untuk membeli kebu­tuhan pokok dan sebaliknya rumah tangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan seba­gian kecil saja dari total penge­luaran untuk kebutuhan pokok (Suyastiri, 2008).

Beberapa penelitian sebelum­nya juga mengkaji pengaruh pendapatan terhadap pola kon­sumsi. Penelitian Rinawati, Yantu dan Rustam (2014) menemukan bahwa tingkat pendapatan akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat.

Studi terbaru oleh Khan dan Ahmad (2014) menemukan bahwa faktor pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap kon­sumsi.

Harga juga menjadi faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Teori permintaan yang menyebutkan bahwa jika harga sebuah barang meningkat maka permintaan akan barang tersebut cenderung menurun. Selain harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait juga mempengaruhi permintaan konsu­men. Pada hubungan subtitusi, jika terjadi peningkatan harga pada salah satu barang maka akan memicu kenaikan jumlah permin­taan barang lainnya. Pada pene­litian ini, jika terjadi peningkatan harga beras akan menyebabkan menurunnya tingkat konsumsi beras sehingga dapat berpenga­ruh terhadap peningkatan konsum­si pangan lokal dan sebaliknya. Penelitian sebelumnya oleh Andre­yeva, Long dan Brownell telah mengkonfirmasi pengaruh harga terhadap pola konsumsi.

Faktor berikutnya yang mem­pengaruhi pola konsumsi adalah jumlah anggota rumah tangga.. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka kebutuhan pangan yang dikonsumsikan akan semakin bervariasi karena ma­sing-masing anggota rumah tangga mempunyai selera yang belum tentu sama (Riyadi, 2003). Hasil studi Adiana dan Karmini (2012) menemukan pengaruh positif dan signifikan antara jumlah anggota keluarga terhadap pola konsumsi rumah tangga.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga maka akan mempengaruhi jenis konsumsi dalam rumah tangga tersebut.

Berdasarkan seluruh penjela­san diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

– Harga pangan Non Beras berpengaruh langsung terhadap Ketersediaan Pangan Rumah Ta­ngga di Maluku. Peningkatan harga Pangan Non Beras selalu diikuti dengan peningkatan angka keter­sediaan pangan rumah tangga. Selain itu harga pangan Non Beras berpengaruh langsung terhadap Pola Konsumsi pangan non beras rumah tangga. Peningkatan harga non beras di Maluku diikuti dengan naiknya tingkat pola konsumsi pangan non beras rumah tangga.

– Harga beras berpengaruh langsung terhadap ketersediaan pangan rumah tangga di Provinsi Maluku. Peningkatan harga beras di Provinsi Maluku juga di ikuti de­ngan peningkatan angka keterse­diaan pangan rumah tangga. Selain itu, harga beras berpe­ngaruh langsung terhadap pola konsumsi pangan non beras rumah tangga. Peningkatan harga beras di Provinsi Maluku di ikuti dengan naiknya tingkat pola konsumsi pangan non beras rumah tangga.

– Pendapatan rumah tangga berpengaruh langsung terhadap ketersediaan pangan rumah ta­ngga di Provinsi Maluku. Pening­katan pendapatan rumah tangga di provinsi maluku juga di ikuti de­ngan peningkatan angka keterse­diaan pangan rumah tangga. Se­lain itu, pendapatan rumah tangga berpengaruh langsung terhadap pola konsumsi pangan non beras rumah tangga. Peningkatan pen­dapatan rumah tangga di Provinsi Maluku di ikuti dengan naiknya tingkat pola konsumsi pangan non beras rumah tangga.

– Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh langsung terhadap ketersediaan pangan rumah tangga di Provinsi Maluku. Jika jumlah ang­gota rumah tangga bertambah maka selalu diikuti dengan peningkatan angka ketersediaan pangan rumah tangga. Selain itu, jumlah anggota rumah tangga berpengaruh lang­sung terhadap pola konsumsi pa­ngan non beras rumah tangga. Jika jumlah anggota rumah tangga ber­tambah maka akan diikuti dengan naiknya tingkat pola konsumsi pa­ngan non beras rumah tangga. Oleh: Dr. William Louhenapessy, SE., M.Si. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura. (*)