AMBON, Siwalimanews – Praktisi Hukum, Hendrik Lusikoy menegaskan, usulan penerbitan circular letter bagi seluruh pemegang saham Bank Maluku Malut untuk me­nyetujui pemberian remune­rasi kepada jajaran direksi dan komisaris tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham adalah sebuah ben­tuk tindak pidana.

Pasalnya, Circular Letter tidak bisa berlaku surut atas sebuah kebijakan yang sudah terjadi sejak tahun 2021 hingga 2023, sehingga kondisi tersebut dinilai sebagai sebuah pelanggaran aturan hukum yang dilakukan pihak direksi Bank Maluku Malut.

“Jika dengan circular letter yang diterbitkan direksi coba mengelabui pemegang sa­ham dengan pembuatan per­setujuan terhadap perbuatan yang dilakukan di tahun se­belum, maka masuk per­buatan pidana yang fatal,” jelasnya saat diwawancarai Siwalima melalui telepon seluler­nya, Sabtu (9/9).

Lusikoy mengapresiasi sikap Kejati Maluku mengusut perkara pembayaran remunerasi yang diduga bermasalah.

Karena itu, dirinya meminta Kejati Maluku memeriksa Otoritas Jasa Keuangan, membongkar kasus pembayaran remunerasi yang dilakukan direksi dan komi­saris PT Bank Maluku-Malut.

Baca Juga: Putusan Inkrah, Gugat Dati Sopiamaluang Keliru

Menurutnya, jika benar-benar kasus remunerasi disidik Kejati maka diharapkan Kejaksaan Ti­nggi lebih transparan kepada masya­rakat, sebab bank tersebut milik orang Maluku dan Maluku Utara.

“Kalau kejaksaan benar-benar mau menyidik persoalan ini maka hal pertama yang harus diminta­kan keterangan adalah OJK,” ujar Lusikoy.

Alasan Kejati harus fokus mintai keterangan OJK kata Lusikoy, karena persoalan pembayaran remunerasi ditemukan saat OJK melakukan pengawasan terhadap Bank Maluku-Malut.

Hasil pemeriksaan OJK kata dia, barulah menjadikan dasar bagi Kejaksaan Tinggi untuk mema­nggil pihak-pihak yang menge­luarkan kebijakan pembayaran remunerasi.

Terkait dengan solusi untuk menerbitkan circular letter yang menjadi persoalan, Lusikooy ma­salah ini, harus dilihat apakah ada aturan yang memberikan ruang bagi OJK untuk diberikan kepada bank yang bermasalah. Jika dalam aturan tidak mengatur, maka dalam perkara ini OJK menyarankan sesuatu yang merupakan tindak pidana sehingga OJK juga diduga terlibat.

“OJK menemukan pelanggaran yang dilakukan Bank Maluku itu sejak kapan, kalau tahun 2023 maka circular hanya berlaku sejak ditandatangani kedepan bukan berlaku surut kebelakang,” tegasnya.

Lanjutnya, jika dengan circular letter yang diterbitkan direksi coba mengelabui pemegang saham dengan pembuatan persetujuan terhadap perbuatan yang dila­kukan di tahun sebelum, maka masuk perbuatan pidana yang fatal.

“Jangan coba-coba bikin tanggal mundur karena OJK menemukan di tahun 2023, jadi sebelum kebijakan yang dilakukan sebelum penandatanganan circular itu, perbuatan pidana berupa perbu­atan melawan hukum penyalah­gunaan kewenangan,” cetusnya.

Sesalkan

Terpisah, aktivis Laskar Anti Korupsi Ronny Aipassa menga­takan, semua bentuk tindakan yang dilakukan di dunia perbankan wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Artinya, penetapan besaran remunerasi harus dilakukan me­lalui mekanisme RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan terbatas.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan telah masuk dalam ka­tegori perbuatan melawan hukum yang berujung korupsi, sebab dilakukan tanpa sepengetahuan pemegang saham.

“Ini sudah korupsi karena pe­megang saham tidak tahu tapi diam-diam dibayarkan artinya unsur memperkaya diri itu ada,” tegasnya..

Aipassa pun meminta Kejak­saan Tinggi Maluku untuk meme­riksa semua pihak termasuk OJK terkait dengan kebijakan pener­bitan circular letter yang menjadi penyebab persoalan ini muncul.

Terindikasi Korupsi

Pemberian remunerasi oleh jajaran direksi dan komisaris dinilai melanggar aturan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.

Pemberian remunerasi tersebut tidak melalui RUPS dan usulkan OJK untuk dilaksanakan Circular letter bertentangan dengan aturan, dimana Circular letter tidak berlaku surut.

Advokat, Anthony Hatane men­desak Kejati Maluku membongkar borok pemberian remunerasi yang salahi aturan itu, karena terindikasi korupsi.

Kepada Siwalima di Pengadilan Negeri Ambon, Sebut Tindakan yang dilakukan oleh direksi Bank Maluku Malut bertentangan dengan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Menurut Hatane, harus ada persetujuan RUPS dalam hal ini seluruh Bupati/Walikota Se-Maluku dan Malut termasuk Pemerintah Provinsi sebagai pemilik saham terbesar.

“Untuk pembayaran remunerasi harus didasari keputusan RUPS, untuk persetujuan lain misalnya yang diusulkan OJK yakni circular letter itu bisa jika keadaan men­desak namun jika tidak, maka disini kita akan ketemu yang namanya indikasi korupsi karena hal ini berkaitan dengan uang negara dimana ada unsur tang­gung gugatnya disitu, serta melanggar UU no 40 Tahun 2007 tentang PT”. Kata Hatane

Kata dia, segala keputusan dalam bentuk apapun baik itu saham maupun pembayaran remunerasi mestinya diputuskan dan disetujui dalam RUPS, tidak bisa diputuskan secara pribadi tanpa diketahui pemegang saham, karena hal itu berkaitan langsung dengan pemegang saham.

“Pemegang saham itu seluruh bupati/walikota yang ada di Maluku. Tentunya gubernur sebagai mayoritas pemegang saham tersebut, sehingga pembayaran remunerasi ini harus disetujui mereka,” Tandas Hatane.

Lebih jauh Hatane meminta aparat penegak hukum agar bisa menindaklanjuti dan melihat kasus ini secara komprehensif dengan maksud, penanganan terhadap kasus Korupsi ini tidak boleh tebang pilih karena berkaitan dengan uang negara.

“Fungsi kejaksaan kan ada beberapa, salah satunya mengawasi. Untuk diketahui sekarang terkait dugaan korupsi yang paling diutamakan adalah pencegahannya. Dari pada uang itu dikeluarkan yang berujung tindak pidana korupsi, dimana ketika terjadi korupsi orang atau tersangka korupsi akan susah untuk melakukan pengembalian,” tuturnya.

Dia berharap dan meminta Kejati Maluku untuk dapat melihat kasus ini secara serius. Selain itu, Pemerintah Provinsi Maluku juga akan ikut bertanggung jawab sebagai pemegang saham tertinggi jika terjadi persoalan.

“Pemegang saham mestinya ada tindakan pencegahan, bukan malah membiarkan persoalan remunerasi ini terus berlanjut, mestinya ada persetujuan 2/3 pemilik saham walaupun pemegang saham pengendali adalah gubernur,” tuturnya.

Misalnya saja terkait remunerasi, untuk satu direksi menerima 100 juta dimana tidak sesuai dengan pekerjaan dan sepengetahuan, maka sudah pasti ada unsur kerugian yang terindikasi korupsi. (S-20)